Suku-suku yang ada di Indonesia punya sejumlah tradisi yang masih bertahan hingga saat ini. Salah satunya tradisi sipet atau sumpit suku Dayak. Tradisi ini merupakan senjata yang digunakan untuk berburu hewan liar atau hewan untuk di makan.
Berdasarkan cerita turun temurun, Sipet itu menjadi senjata khas Dayak saat terjadinya pertempuran selain tombak (Lunju) dan Mandau.
Konon saat terjadi perperangan antara Suku Dayak dengan penjajah di Kalimantan, Sipet menjadi senjata andalan, meskipun tentara penjajah kala itu bersenjatakan senapan praktis dan canggih.
Untuk melumpuhkan target, sipet atau damek (dalam bahasa suku Dayak) dilumuri getah pohon ipuh atau pohon iren sebagai racun.
Sipet ini tergolong senjata senyap atau senjata tradisional jarak jauh untuk melumpuhkan sasaran. Disebut senyap, karena senjata ini memang tak mengeluarkan suara berisik
Bagi suku dayak, manyipet atau menyumpit merupakan kebanggaan karena dulu para lelaki bisa mendapatkan lauk bagi keluarga dari berburu hewan di hutan. Namun saat ini manyipet masih dilakukan para lelaki dan sebagian perempuan, tetapi hanya untuk sambilan ketika pergi ke ladang.
Mengutip kompas.com, asal muasal penggunaan sumpit, buku Sumpitan Koleksi Museum Kalteng menyebutkan beberapa versi, antara lain seorang pandai besi mendapati bambu (puputan) yang dipakai meniup api tersumbat. Ia kemudian meniupnya sekuat tenaga sehingga sumbatannya terlempar keluar.
Ada juga kisah peniup seruling (serunai) yang lubangnya tersumbat dan kemudian dia meniupnya. Ada yang menuturkan sumpit hasil kreasi pemburu saat melihat buaya menyemprotkan air ke monyet. Dari mana pun asal dan bagaimana muasal penggunaannya, sumpit sudah sangat lama menjadi senjata Dayak.
Untuk kepentingan berburu, ujung anak sumpit (damek) yang lancip itu biasa direndam dalam racun dari getah tumbuhan ipu atau siren yang sangat mematikan. Binatang buruan yang tertancap di ujung damek dipastikan akan mati dalam waktu 30 detik hingga 3 menit. Bagian daging di sekitar damek menancap akan berwarna biru dan harus dibuang karena berbahaya jika dimakan.
Karena begitu mematikannya anak sumpit beracun itu, di masyarakat Dayak terdapat juga pantangan menggunakan damek beracun untuk menyumpit manusia. Sekali damek mengenai manusia, dikatakan bahwa damek yang tersisa akan kehilangan ”kesaktiannya”. Itulah kearifan lokal agar manusia tak saling bunuh.
Kearifan lokal juga tecermin dari filosofi pembuatan sumpit yang butuh ketelatenan dan kesabaran untuk mengebor (membuat lubang berdiameter sekitar 1 sentimeter dengan panjang 1,2-2 meter di dalam batang kayu ulin yang keras itu selama berbulan-bulan.
”Berpikir harus lurus,” kata budayawan Dayak, Syaer Sua U Rangka yang pernah menjadi pelatih menyumpit di Kostrad pada 2001.
Karena ini menjadi tradisi suku Dayak, untuk melestarikannya, pemerintah setempat kerap menggelar lomba menyimpet atau menyumpit.