Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tengah menyusun sejumlah indikator untuk desa ramah perempuan.

Indikator-indikator itu nantinya dituangkan dalam peraturan desa (Perdes) atau surat keputusan (SK) Kepala Desa (Kades).

“Perdes itu untuk mendukung pemberdayaan perempuan minimal 30 persen dan menjamin perempuan memperoleh hak-haknya,” kata Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar dalam siaran persnya akhir pekan lalu.

Hak-hak perempuan yang dimaksud meliputi akses pelayanan, informasi, pendidikan terkait keluarga berencana (KB), dan kesehatan reproduksi.

“Persentase jumlah perempuan di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perangkat desa minimal harus 30 persen,” katanya.

Selain representasi perempuan, Halim juga menyoroti prevalensi kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Menurutnya, kekerasan terhadap anak perempuan di desa harus 0 persen. Pelayanan komprehensif juga harus diberikan kepada para perempuan korban kekerasan.

Baca juga: Alasan Kementerian Desa Membuat Desa Ramah Perempuan

Indikator penting lain adalah perihal median usia kawin perempuan (pendewasaan usia kawin pertama).

“Angka prevalensinya harus di atas 18. Sedangkan angka kelahiran pada remaja usia 15-19 tahun age specific fertility rate (ASFR) harus dapat 0 persen,” ujarnya.

Sementara untuk unmet need (wanita sudah menikah yang tidak ingin punya anak lagi) KB dipatok mencapai 0 persen. Pasangan Usia Subur (PUS) memahami metode kontrasepsi modern minimal ada 4 jenis.

Menurut Halim, seruan pembangunan desa ramah perempuan ini sangat penting terutama untuk mengurangi ketimpangan gender dalam masyarakat.

Gus Menteri mengatakan, kebijakan ini untuk meningkatkan arah partisipasi perempuan, melindungi perempuan, dan meningkatkan akses perempuan dalam ranah publik.

“Di sini peran perempuan sangat penting untuk menentukan arah pembangunan desa,” katanya.

Desa ramah perempuan merupakan salah satu segmen dari Sustainable Development Goals (SDGs) desa yang telah ditetapkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). SDGs ini ditetapkan untuk jangka waktu hingga 2030.

SDGs adalah pembangunan komprehensif desa. Pembangunan ini harus bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat desa tanpa terkecuali.

Pembangunan desa yang dicanangkan Kemendes PDTT ini didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Menurut Halim, saat ini kasus ketimpangan gender masih tinggi dan holistik di berbagai bidang.

Contohnya, dalam dunia kerja, proporsi jabatan manajer untuk perempuan cenderung lebih sedikit ketimbang laki-laki.

Baca juga: Desa, Kunci Masa Depan Indonesia

Ini bisa diartikan ada peningkatan posisi pekerjaan di kelas menengah bagi perempuan, namun jumlahnya masih tertinggal jauh dibanding laki-laki.

“Tidak adanya kesetaraan gender di ruang publik bisa dilihat dari sedikitnya perempuan duduk di kursi parlemen. Jabatan mereka pun biasanya lebih rendah,” ujar Halim.

Rendahnya representasi perempuan di parlemen ini, kata dia, sangat menyulitkan mereka untuk ikut aktif berkontribusi dalam penentuan arah pembangunan di ruang publik.

Sementara untuk kekerasan seksual di desa, menurut Halim, tipikalnya berbeda dengan di kota. Di desa kekerasan seksual lebih pada tindak pemerkosaan. Sedangkan di kota pada pelecehan.

Karenanya, Halim menyerukan adanya kebijakan represif bagi para pelaku kekerasan seksual dan kebijakan rehabilitatif untuk menolong para korban.

Baca juga: Matabondu, Desa yang Tak Pernah Mendapat Dana Desa dari Pemerintah

Ketimpangan gender lainnya adalah proporsi perempuan dalam menggunakan telepon genggam.

“Presentase perempuan yang menggunakan telepon genggam cenderung lebih rendah dari laki-laki,” katanya.

Hal ini bisa diartikan, perempuan kesulitan menerima komunikasi dan peluang untuk mencapai taraf hidup dan kesempatan hidup yang lebih baik.

Tidak hanya memaparkan data dan fakta mengenai ketimpangan gender yang terjadi di Indonesia, Halim juga mengungkapkan beberapa program pemberdayaan perempuan yang bisa dilaksanakan.

Contohnya, pemberdayaan ekonomi perempuan berbasis rumah tangga, bantuan permodalan dan pelatihan kewirausahaan mandiri, dan pembentukan serta pelatihan bagi kader desa tentang gender.