Keterlibatan perempuan menjadi syarat mutlak dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkeadilan. Negara tidak mungkin sejahtera jika para perempuannya dibiarkan tertinggal, tersisihkan dan tertindas.
Negara dan bangsa yang tidak menghormati kaum perempuannya tidak akan pernah menjadi besar, baik di saat ini maupun di masa depan. Sehingga pembangunan yang utuh dan menyeluruh dari suatu negara menuntut peranan penuh dari kaum perempuan dalam segala bidang kehidupan.
Peran perempuan juga telah diakomodir oleh segenap peraturan pembangunan nasional, seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Undang-Undang itu disebutkan keterlibatan perempuan sangat diperlukan bagi keberhasilan pembangunan desa.
"Perempuan termasuk menentukan arah pembangunan bangsa," kata Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Halim Iskandar dalam pernyataan pers virtual, Rabu (11/11/2020).
Perempuan, kata Halim, merupakan salah satu segmen dalam SDG's yang disusun kementeriannya dalam wujud Desa Ramah Perempuan. SGD's Desa adalah pembangunan total atas desa yang mengarah pada 18 tujuan pembangunan berkelanjutan di desa. SDG's Desa merupakan implementasi dari SDG's global yang telah dilokalkan. SDG's Desa itu disusun dengan merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
SDG's Desa ini akan menjadi patokan dalam menetapkan arah pembangunan desa hingga tahun 2030. Melalui SDG's desa ini seluruh aspek pembangunan harus dirasakan manfaatnya oleh warga desa tanpa ada yang terlewat (no one left behind) yang mengarah pada 18 tujuan pembangunan berkelanjutan.
Saat ini, keterlibatan perempuan dalam segala aspek memang masih timpang. Karena itu dibutuhkan kebijakan yang memihak perempuan. Ketimpangan itu memang bersifat struktural. Karena itu, “arah kebijakan ini untuk meningkatkan partisipasi perempuan, melindungi perempuan dan meningkatkan akses dalam ranah publik.”
Ketimpangan
Hali menyajikan sejumlah fakta. Misalnya, proporsi perempuan yang biasa menggunakan telepon genggam cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Fakta ini berarti, jaringan komunikasi dan peluang perempuan memperoleh pengetahuan secara mandiri lebih rendah daripada laki-laki.
Pun proporsi jabatan. Proporsi perempuan yang menjabat manager untuk perempuan cenderung jauh lebih rendah daripada laki-laki. Artinya, memang ada peningkatan posisi pekerjaan kelas menengah bagi perempuan, namun proporsinya masih jauh lebih rendah daripada laki-laki. Ini menandakan belum terwujud kesetaraan gender untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Hal lain, kekerasan seksual yang dialami perempuan di kota lebih tinggi daripada di desa. Namun, kekerasan di desa cenderung pada pemerkosaan (seksual kontak) sementara di kota cenderung pada pelecehan (tanpa kontak seksual).
"Desa Ramah Perempuan dalam SDG's Desa harus diwujudkan. Untuk bisa mengukur, kami pun menyusun sejumlah indikator-indikator untuk menilai Desa Ramah Perempuan," kata Halim.
Gus Menteri menyampaikan, Kemendes PDTT telah menyusun beberapa indikator terkait pembangunan Desa Ramah Perempuan.
“Indikator yang dimaksud adalah peraturan desa (Perdes) atau surat keputusan (SK) Kades," kata Halim.
Perdes dan SK Kades itu mendukung pemberdayaan perempuan minimal 30 persen dan menjamin perempuan untuk mendapatkan pelayanan, informasi, serta pendidikan terkait keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi. Indikator selanjutnya, lanjut Gus Menteri, angka partisipasi kasar (APK) Sekolah Menengah Atas (SMA) Sederajat perempuan mencapai 100 persen.
Persentase jumlah perempuan di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perangkat desa minimal 30 persen dan persentase jumlah perempuan yang menghadiri musdes dan berpartisipasi dalam pembangunan desa minimal 30 persen.
Prevalensi kasus kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 0 persen dan kasus kekerasan terhadap perempuan yang mendapat layanan komprehensif mencapai 100 persen.
Tak kalah penting, kata Gus Menteri, adalah median usia kawin pertama perempuan (pendewasaan usia kawin pertama) harus di atas 18 tahun. Adapun untuk angka kelahiran pada remaja usia 15-19 tahun age specific fertility rate (ASFR) mencapai 0 persen.
“Sedangkan unmet need KB mencapai 0 persen, dan Pasangan Usia Subur (PUS) memahami metode kontrasepsi modern minimal ada 4 jenis,” ujar Halim. Unmet need KB adalah wanita menikah yang tidak ingin punya anak lagi.
Untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan, Gus Menteri mencontohkan beberapa program yang bisa jadi masukkan. Di antaranya pemberdayaan ekonomi perempuan berbasis rumah tangga, bantuan permodalan dan pelatihan kewirausahaan mandiri, dan pembentukan serta pelatihan bagi kader desa tentang gender.
“Sedangkan untuk meningkatkan kebijakan desa yang responsif gender, bisa dilakukan dengan menyusun Perdes atau SK Kades tentang pemberdayaan perempuan,” kaya Halim.
Keterlibatan perempuan dalam perencanaan desa juga harus meningkat. Caranya dengan memberikan ruang partisipasi perempuan dalam pemerintahan desa dan BPD. “Berikan kuota untuk perempuan terlibat dalam musdes, penguatan lembaga perempuan dan pelatihan kepemimpinan perempuan," katanya.
Halim pun turut mengajak berbagai pihak mendirikan lembaga atau pos pengaduan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Ini untuk meningkatkan pelayanan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan.