Pernah mendegar kata KIM? Rasa-rasanya kata ini masih asing bagi sebagian besar kita. Sebutan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) ini masih kalah populer dengan Kelompencapir(kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) yang dibentuk di era Orde Baru.
Kelompencapir merupakan kegiatan dialog interaktif atau media komunikasi antara pemimpin dan masyarakatnya. Melalui kegiatan itu, pemimpin dan masyarakat saling berbagi tentang pengetahun dan praktik yang dilakoninya, terutama untuk para petani dan nelayan.
Sementara KIM dibentuk atas amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Publik.
Baca juga: Kepala desa bakal diberi sanksi
Berdasar amanat itu, pada 2010 Menteri Komunikasi dan Informatika menerbitkan Peraturan Nomor 08/PER/M.KOMINFO/6/2010. Peraturan ini berisi tentang pedoman pengembangan dan pemberdayaan komunikasi sosial.
Sebenarnya, tujuan pembentukan KIM dan Kelompencapir hampir sama, yakni wadah komunikasi dan berbagi.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kominfo itu disebutkan, Lembaga Komunikasi Sosial adalah Lembaga Komunikasi Perdesaan, Lembaga Media Tradisional, Lembaga Pemantau Media dan Lembaga Komunikasi Organisasi Profesi.
Ayat (2) pasal yang sama menjelaskan, Lembaga Komunikasi Perdesaan adalah Kelompok Informasi Masyarakat atau kelompok
sejenis lainnya, selanjutnya disingkat KIM, yang dibentuk oleh masyarakat, dari masyarakat dan untuk masyarakat secara mandiri dan kreatif yang aktivitasnya melakukan kegiatan pengelolaan informasi dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan nilai tambah.
Singkat kata, KIM adalah sekumpulan individu yang berinteraksi dengan tujuan memecahkan masalah kehidupan dengan mengakses, mengolah dan memanfaatkan informasi yang diperoleh dari media massa dan berbagai sumber informasi serta mendesiminasikan kepada sesama anggota kelompok dan kepada masyarakat. Sebuah tujuan yang mulia.
Baca juga: Cara memutakhirkan data
Namun entah kenapa, meski sudah terbentuk 10 tahun lalu, kiprah wadah ini kurang populer. Bahkan aksi nyatanya juga sunyi. Padahal, sebagai wadah yang mengelola informasi di tingkat desa, mestinya jejak kerja mereka bisa dirasakan masyarakat.
Desa yang memiliki KIM, semestinya bisa mengelola segala informasi yang ada untuk masyarakat. Tak hanya mengelola informasi sebagai sumber daya ekonomi, sosial, budaya, tapi juga soal ketahanan masyarakat. Melalui KIM ini masyarakat mestinya mampu memecahkan persoalan-persoalan yang muncul di wilayah mereka. KIM juga bisa mempromosikan potensi-potensi yang ada di desanya.
Di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini, KIM mestinya juga bisa menjadi sarana untuk menyampaikan deseminasi informasi dari pusat ke pelosok. Di saat hoaks tentang COVID-19 dan vaksin merebak, KIM mestinya juga bisa menjadi wadah yang mampu menyaring informasi itu sehingga masyarakat tidak tersesat.
Namun apa daya, KIM sepertinya belum melakukan tugas-tugas mulia itu. Entah sampai kapan.