Hari itu kami sangat beruntung. Hujan lebat yang mengguyur Kampung Langgo dalam beberapa hari ini, hari itu agak bersahabat.
Niat kami untuk merayakan peringatan hari pers pada Selasa (9/2/2021) bersama warga Kampung Langgo di tengah hutan bisa terlaksana.
Setelah memanaskan lidah dengan kopi, kami bersiap berangkat menggunakan sepeda motor menjelajah kampung itu. Kami menyusuri ruas jalan Trans Flores. Tiba di Kantor Desa Wae Lolos sejumlah warga dan perangkat desa tampak menyambut kami. Mereka memang mengetahui, kami bakal merayakan hari pers di kampung itu.
Muasal Kampung Langgo
Kampung Langgo adalah Kampung pertama yang kita jumpai ketika memasuki wilayah Kecamatan Sano Nggoang dari kota Labuan Bajo. Kampung ini merupakan salah satu Kampung tua dengan segala kisahnya. Memang belum dipastikan, entah sejak abad berapa kampung ini berdiri.
Kampung berdiri anggun di sebuah puncak bukit. Puluhan rumah warga berjejer di puncak bukit ini. Selebihnya berada di kaki bukit. Kawasan hutan ulayat "Puar Langgo" dan kontur pegunungan serta lahan perkebunan membentang hijau di sekelilingnya.
Di pintu masuk kampung, kita bisa melihat deretan kubur yang tertata rapi. Keluarga mereka yang telah meninggal baik yang beragama Katolik maupun Islam dikuburkan di Tempat Pekuburan Umum (TPU) Langgo. Dari tata letak kuburan tersebut bisa diketahui warga di kampung ini sangat menghargai kamajemukan dan keberagaman.
Toleransi antarumat beragama juga dipertegas dengan letak tempat ibadah (masjid dan kapela) berdiri saling berhadapan sekitar ratusan meter. Dari penelusuran kisah yang berkembang, mereka ini rupanya masih satu garis keturunan Suku Mawu.
Leluhur orang Langgo berasal dari Mawu, Ndoso. Leluhur pertama mereka bernama "Empat Telo". Jejak sejarah tentangnya masih ada, yakni kuburan yang berada di tanah ulayat di Lingko Rebong yang terletak antara Kampung Tembel dan Kampung Ndengo. Dua Kampung ini merupakan anak Kampung pemekaran dari Kampung Langgo.
Di bagian utara tampak sebuah rumah adat berdiri menjulang tinggi. Di depan rumah adat itu sebuah Compang adat (tempat sesajian saat menggelar ritual adat) terbuat dari batu-batu alam tertata rapi. Kampung ini diapit tiga anak sungai, Wae Langgo di bagian timur, Wae Reha, dan Wae Lolos di bagian barat. Terdapat pula sejumlah sumber mata air di kawasan hutan ulayat mereka yang terbentang hijau tidak jauh dari Kampung itu.
Selain ketiga anak sungai tersebut, masih banyak lagi anak sungai yang terbentang meliuk-liuk sepanjang wilayah desa ini hingga bertemu dengan anak sungai lainnya dari wilayah desa tetangga.
Sejumlah spot wisata air terjun berada di tiga sungai tersebut. Ketiga anak sungai ini bermuara di dataran ibu kota Kecamatan Sano Nggoang hingga mengalir ke laut Nangalili, Kecamatan Lembor Selatan.
Sekilas tentang Desa Wae Lolos
Nama Desa ini diadopsi langsung dari nama sebuah sungai, Wae Lolos yang ada di wilayah desa ini. Desa ini merupakan pemekaran dari Desa Induk Desa Cunca Lolos yang kini masuk wilayah administrasi Kecamatan Mbeliling.
Saat pemekaran wilayah Desa Cunca Lolos sekitar tahun 1997, desa itu diberi nama Wae Lolos. Nama Desa Cunca Lolos sebagai desa induk diadopsi dari nama air terjun Cunca Lolos. Secara fisik air terjun Cunca Lolos itu berada di wilayah Desa Wae Lolos. Secara administrasi, Desa ini berada di wilayah Kecamatan Sano Nggoang.
Sedangkan Desa Cunca Lolos masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Mbeliling (Kecamatan Mbeliling merupakan pemekaran dari Kecamatan Sano Nggoang sekitar tahun 2011).
Kepala Desa Wae Lolos, Gervinus Toni, S.Pd pernah menjelaskan, hampir seluruh warga di desanya berprofesi sebagai petani. Desa wisata Wae Lolos, kata dia, selain memendam potensi ekowisata menjanjikan juga penghasil komoditi cengkeh, kemiri, kakao, dan vanili.
Selain potensi tersebut, wilayah desa ini memiliki kawasan hutan ulayat masyarakat adat yang lebat didukung topografinya yang berbukit-bukit, lembah dan lereng. Desa ini ditopang oleh enam anak kampung, yakni Langgo, Mbuhet, Wae Reha, Rangat, Tembel dan Ndengo.
Jarak antara kampung cukup jauh hingga berkilo-kilo meter. Desa ini dihuni 400 Kepala Keluarga atau 700 jiwa penduduk tersebar di 4 dusun: Langgo, Rangat, Tembel dan Ndengo.
Desa ini berbatasan dengan Desa Cunca Lolos dan Desa Waktu Galang (Kecamatan Mbeliling), bagian timur dan utara. Di bagian barat dan selatan berbatasan dengan Desa Golo Ndaring dan Desa Golo Kondeng, Kecamatan Sano Nggoang.
Ruas jalan Kabupaten menuju Werang ibu kota Kecamatan Sano Nggoang hingga Danau Sano Nggoang terbentang meliuk-liuk di wilayah desa ini. Lalu lintas jalan itu nyaris tak pernah sepi, baik lalu lalang warga maupun para wisatawan domestik dan mancanegara.
Sebelum pandemi Covid-19, kata Gervinus, para wisatawan datang mengunjungi sejumlah destinasi wisata alam yang ada di Kecamatan Sano Nggoang. Seperti Danau Sano Nggoang di Desa Wae Sano, air terjun Cunca Rami di Desa Golo Ndaring, juga spot wisata alam yang ada di Desa Wae Lolos.
Desa Wae Lolos merupakan pintu gerbang dari Labuan Bajo menuju Kecamatan Sano Nggoang. Terletak di km 32 dari Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat Nomor: 27/KEP/HK/2020 tentang Perubahan Keputusan Bupati Manggarai Barat, Drs. Agustinus Ch.Dula Nomor: 90/KEP/HK/2019 tentang Penetapan Desa Wisata di Kabupaten Manggarai Barat, tanggal 23 Januari 2020, desa ini juga menjadi salah satu dari 68 desa wisata di Kabupaten Manggarai Barat atau satu dari enam desa wisata yang ada di Kecamatan Sano Nggoang.
Selain itu, Desa Wae Lolos juga merupakan salah satu dari 16 Desa yang ditetapkan oleh Burung Indonesia menjadi Desa penopang kawasan Bentang Alam Mbeliling.
Sekretaris Desa Wae Lolos, Donatus Jehadu menjelaskan, desanya memiliki banyak destinasi wisata unik dan indah yang perlu dieksplorasi. Selain wisata alam air terjun, juga ada wisata budaya dan tempat wisata rohani.
Tempat Dukun Memandikan Pasien
Sasaran pertama yang kami bidik adalah air terjun Cunca Plias. Dalam Bahasa Manggarai, Cunca bermakna air terjun. Menuju Cunca Plias, kami berjalan kaki sejauh satu kilometer. Menyusuri jalan lingkar luar Kampung Langgo yang telah digusur setahun lalu.
Kami menuju arah timur kawasan hutan ulayat masyarakat setempat yang membentang hijau di sekitar Kampung Langgo. Kami tiba di Cunca Plias sekitar pukul 11.48 WITA.
Cunca Plias berada di Sungai Wae Langgo Letaknya tidak jauh dari Cunca (muara Sungai Wae Langgo dan Wae Tiku Langgo) yang bersumber dari mata air pegunungan. Airnya jernih dan sejuk. Debit airnya melimpah di musim hujan namun surut di musim kemarau.
Tinggi cunca ini sekira 15 meter. Kolamnya mungil diapit batu-batu alam dan rimbunan pepohonan. Di sisi kanan air terjun ini tampak gua batu berlumut hijau. Gemercik air limpasannya akan menggoda setiap pengunjung yang datang.
Keunikan lain, Cunca ini memiliki kisah historis yang langsung bertalian dengan leluhur orang Langgo. Konon, leluhur mereka memiliki keahlian menyembuhkan orang sakit. Semacam tabib/dukun atau dalam bahasa setempat disebut "ata mbeko".
Syahdan, dahulu kala sebelum ada rumah sakit atau petugas medis, warga Manggarai umumnya sangat percaya dukun atau orang/tokoh yang memiliki ilmu sakti/keahlian khusus untuk menyembuhkan orang sakit. Entah sakit yang disebabkan karena penyakit maupun sakit karena diguna-guna (rasung).
Safarudin, tokoh adat setempat bercerita, dulu di Kampung Langgo ada nama-nama dukun beken (Mbeko) yang memiliki kesaktian mumpuni dalam hal menyembuhkan sakit atau penyakit yang diderita warga di Kampung tersebut. Ia menyebut nama "Kraeng Nepa" (ayah dari bapak Wensislaus Bahari) dan "Kraeng Ematung" dan "Kraeng Emsemar."
Dia jelaskan, dulu jika ada warga di Kampung Langgo yang menderita sakit karena penyakit, Dukun Kraeng Nepa, Kraeng Ematung dan Kraeng Ensemar itulah yang merawat atau mengobatinya. Jika pasiennya sembuh, dukun melakukan ritual yang disebut "plias" (mandi buang sakit/penyakit).
Plias, kata Safarudin artinya menyingkirkan/meleburkan/membersihkan/membuang penyakit atau sakit yang diderita pasien ke aliran sungai.
Anak Kraeng Nepa, Wensislaus Bahari mengamini kisah yang dituturkan Safarudin. Ritual plias, kata dia, tidak sembarang orang bisa melakukannya. Ritual Plias juga tidak dilakukan di sembarang tempat. Waktunya pun tertentu. Biasanya hari Selasa Kliwon dan Jumat kliwon. Ritual Plias hanya bisa dilakukan di muara sungai.
Bahan sesajian yang dibawa Mbeko dalam ritual Plias ini berupa Saung Kala (daun sirih), ruha mame (telur ayam yang telah direbus) "ruha rato" (telur ayam yang busuk) disertai mantra sang dukun. Sesajian itu akan digunakan sang dukun untuk memandikan pasien yang telah sembuh di muara sungai dekat air terjun tadi.
Jika pasien sudah sembuh tapi tidak dimandikan, penyakit pasien itu bisa kambuh lagi. Jika itu yang terjadi, dukun ogah merawatnya.
Dari kisah itulah warga setempat kemudian memberi nama air terjun itu Cunca Plias. (Robert Perkasa)
Bersambung...