Di desa-desa dari Sabang sampai Merauke, banyak masyarakat sebenarnya sudah mengamalkan prinsip demokrasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Salah satunya bisa kita lihat di kampung adat Sijunjung di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.
Kampung adat Sijunjung dihuni oleh suku-suku asli yang terdiri dari suku induk dan anak-anak suku. Suku-suku ini masih menjalankan dengan baik sistem organisasi sosial yang disebut matrilineal yaitu keturunan dan suku yang terbentuk menurut garis ibu.
Dalam sistem ini setiap orang diharuskan kawin dengan orang dari luar sukunya. Di dalam perkawinan, hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya, dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Masyarakat matrilineal diwujudkan dalam sistem organisasi sosial berjenjang mulai dari keluarga inti, keluarga luas (extended family), suku (clan) dan kaum (lineage). Setiap jenjang memiliki pemimpin adat (penghulu) dan pemimpin keluarga atau niniak-mamak.
Mereka tinggal di rumah-rumah gadang yang merupakan simbol kepemilikan harta pusaka oleh kaum kerabat wanita yang diikat menurut garis keturunan ibu.
Fungsi utama rumah gadang adalah sebagai simbol untuk menjaga dan mempertahankan sistem budaya matrilineal sekaligus penanda dari suatu perkauman dalam kekerabatan. Setiap kaum punya rumah gadang sendiri. Rumah gadang juga menjadi simbol kesetaraan gender yang menjamin martabat kaum perempuan dan keturunannya.
Perempuan akan tetap berada dalam posisi aman apabila terjadi perceraian karena perempuan berada di rumahnya sendiri. Selain itu, keterkaitan rumah gadang dengan lingkungan sekitarnya merupakan simbol keseimbangan ekologis dan pelestarian lingkungan.
Prinsip Musyawarah dalam Adat Sijunjung
Perkampungan adat Nagari Sijunjung berada di Jorong Koto Padang Ranah dan Tanah Bato dan di antara Sungai Batang Sukam dan sungai Batang Kulampi. Dua wilayah yang masih utuh dalam sejarah kerajaan Pagaruyung yang dimulai pada abad ke-14.
Keaslian perkampungan ini tampak dari pola pemukimannya. Semua rumah gadang suku yang dianggap pemukim awal berada di pinggir jalan (labuah). Landscape Kabupaten Sijunjung dilingkupi hutan, perbukitan dan sawah ladang, menampilkan pemandangan hijau yang indah.
Batas kepemilikan lahan ditandai pohon tertentu antara lain pohon pinang. Beberapa rumah gadang juga masih memiliki ukiran asli seperti ukiran buah palo patah, kuciang lalok jo saik galamai, atau aka duo gagang.
Kekhasan rumah gadang yang terletak pada struktur bangunan kayu dan bentuk atap menyerupai tanduk kerbau (atap bagonjong) juga sangat terjaga.
Perkampungan adat nagari Sijunjung sampai saat ini tetap menjalankan aktivitas sebagai masyarakat adat. Mereka memiliki kelompok kerjasama, yaitu kelompok yang berperan dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan pengambilan keputusan penting dari hari ke hari. Khususnya keputusan menyangkut bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Setiap keputusan diambil dengan langkah musyawarah untuk mencapai mufakat sesuai adat berjanjang naik batangga turun yang merupakan penerapan prinsip demokrasi.
Kaum lelaki dalam kelompok kerjasama mempunyai wewenang dan kewajiban bertingkat-tingkat. Semakin tua dan semakin mampu seorang lelaki akan makin besar wewenang yang dimilikinya. Fungsi kelompok kerjasama dalam kehidupan sehari-hari terutama terlihat dalam bidang pertanian.
Berbagai upaya pelestarian adat Minangkabau selalu dilakukan di kampung Sijunjung. Salah satu upaya adalah wirid adat, yaitu suatu kegiatan yang diprakarsai oleh tetua adat untuk mewariskan pengetahuan adat Minangkabau kepada generasi muda.
Acara ini diselenggarakan dalam waktu tertentu di rumah gadang yang sudah disepakati. Selain itu upaya pelestarian juga dilakukan dengan membuat sanksi sosial bagi anggota masyarakat yang melanggar ketentuan adat.
Desa Adat Sijunjung dihuni dihuni oleh enam suku, yaitu suku Chaniago, Piliang, Melayu, Tobo, Panai, dan Melayu Tak Timbago. Kehidupan antar suku berjalan sesuai prinsip demokrasi matrilineal dimana kaum kerabat perempuan yang menghuni rumah adat.
Prosesi pernikahan di Sijunjung menjadi kegiatan adat yang masih utuh seperti di masa lalu. Mulai dari meminang hingga akad nikah. Mulai dari penyerahan Siriah (sirih) sampai Tando (peletakan tanda atau pemberian cincin kawin) yang dihadiri semua warga sebagai wujud persatuan masyarakat.
Kehidupan di desa adat Sijunjung merupakan bukti nyata masyarakat adat yang secara otentik menerapkan nilai-nilai demokrasi dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini sekaligus merupakan wujud pengamalan sila keempat Pancasila sebagai landasan kehidupan sosial mereka.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada