Ferdinandus Watu (34 tahun) ingat betul saat duduk di bangku SMA. Kala itu ia ingin menjadi pastor. Karena itu, selepas SMA dia memutuskan untuk mengambil studi filsafat. Ia membaca banyak karya-karya pemikir besar seperti Immanuel Kant, Decartes, Hegel, dan filsuf-filsuf besar lainnya.

Tak hanya bergelut dengan dunia pemikiran, ia juga terjun ke dunia aktivis. Saat itu ia aktif di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Di sini Nando Watu --begitu ia akrab dikenal-- belajar banyak tentang organisasi. Di organisasi ini pria kelahiran 6 April 1986 ini bertemu dengan banyak orang.

Dari pergaulan itu, pada 2012, ia menjajal bergabung ke media online floresbangkit.com. Dunia jurnalistik. Sebuah dunia baru baginya. Di media ini bapak dari satu anak ini banyak menulis masalah turisme.

Dunia jurnalistik ini membuat ia mengenal dunia internet. Di dunia maya ini ia mencari-cari informasi tentang beasiswa. “Desaku tak ada internet sampai sekarang. Untuk bisa mengakses internet aku harus ke Ende yang jaraknya 30an kilometer,” katanya. Tapi ini tak menjadi halangan bagi Nando.

Saat itu cita-cita Nando menjadi pastor agaknya mulai memudar. Maka selepas kuliah pada 2013, ia terus menekuni dunia kewartawanan sambil aktif menjadi relawan di destination management organization (DMO).

Suatu ketika, saat berselancar ke dunia maya, ia mendapat informasi beasiswa fullbright. Ia mencoba melamar untuk mengambil studi tentang citizen journalism. Salah satu untuk bisa mendapat beasiswa, pelamar diminta menulis esai. Nando menulis esai tentang tourism.

Saat tes wawancara, salah satu profesor penasaran dengan latar belakang Nando. Kuliah filsafat tapi mengambil jurnalistik. “Apa hubungan filsafat dan jurnalistik ini,” tanya profesor itu.  

Pertanyaan itu ia jawab dengan tangkas menggunakan ilmu filsafat. Katanya, “Profesor, filsafat itu akarnya bertanya. Ketika Anda bertanya, Anda sudah berfilsafat.” Kedua, kata Nando, filsafat itu mengarahkan pada kebenaran. “Jurnalistik itu kan mewartakan tentang hal-hal yang mendekatkan pada kebenaran,” katanya terbahak. Jawaban Nando itu membuat sang profesor manggut-manggut.

Namun, rupanya karena Nando banyak meminati masalah tourisme, akhirnya mereka mengarahkan Nando mengambil program tourisme. Nando tak soal. Ia pun dinyatakan lolos mendapat beasiswa fullbright. Namun selepas dari Amerika ia justru memutuskan pulang kampung. Peluang-peluang kerja di kota tak ia hiraukan.

Apa alasan Nando memutuskan berkiprah di desa dan bagaimana ia akhirnya dipilih menjadi Kepala Desa Detusoko Barat? Kepada wartawan Katadesa.id, Sigit Djatmiko dan Fajar WH yang mewawancarainya melalui aplikasi zoom, Kamis (3/9/2020), ia mengungkapkan semuanya. Petikannya.

8 9 2020 Nando3 edit

Apa yang mendorong Anda kembali ke desa setelah lulus dari Amerika itu?
Begini. Waktu SMA itu sebenarnya aku ingin menjadi pastor. Begitu selesai SMA aku ambil kuliah filsafat di Maumere.

Aku dibesarkan dari lokasi pendidikan yang berbeda. Saya SD di Muara Tewe, Kalimantan Tengah. Setelah gempa 1992 itu, keluarga kami ikut transmigrasi ke Kalimantan. Di sana aku kurang lebih 5-6 tahun. Setelah lulus SD, orang tua balik lagi ke kampung. Aku ambil SMP di Detusoko dan SMA di Seminari Matoloko, Ngada, Flores.

Lalu aku ambil studi filsafat. Aku selesai kuliah 2013. Waktu kuliah aku aktif di Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PMKRI).

Pada 2012 aku juga menjadi wartawan di media online floresbangkit.com. Media ini kami dirikan karena kerinduan kami akan lahirnya pemikir-pemikir dari Flores. Dulu pada 1970an banyak pemikir-pemikir lahir dari Flores. Ada Daniel Dhakidae, Franz Seda, dan lainnya.

Namun masuk tahun 1990an, pemikir Flores mulai meredup. Kami ingin agar ada lagi pemikir-pemikir yang lahir dari Flores.

Selain itu aku juga menjadi volunter di lembaga pariwisata namanya destination management organisation (DMO). Kalau sekarang namanya destinasi prioritas.

Pada 2014 aku baru ambil studi ke Amerika. Waktu itu internet masih susah. Dari desa waktu itu aku harus ke kota untuk mencari informasi.

Apa yang menarik sebenarnya di desa itu?
Dengan pendidikan aku ini orang kampung pinginnya aku bukan kembali ke desa. Mereka bilang, "ngapain di desa. Anda masuk jadi anggota DPR saja." (tertawa).

Tapi aku pikir semua harus berangkat dari bawah. Aku yakinkan keluarga dan istri. Mereka setuju aku ada di desa.

Di desa itu tantangannya lebih besar dari dunia politik.

Beasiswa ke Amerika itu atas biaya kepastoran atau besasiswa?
Aku dapat beasiswa dari Fullbright-Aminef. 

Waktu ambil beasiswa itu sebenarnya aku mengambil citizen jurnalism. Waktu itu kan aku di media online floresbangkit.

Waktu melamar beasiswa itu kan harus membuat esai. Esaiku banyak menyingggung tentang tourism.

Waktu itu aku sempat ditanya sama seorang prof yang menguji. "Kamu ini latar belakangnya filsafat lalu kenapa mengambil jurnalistik? Apa hubungan filsafat dengan jurnalistik?"

Aku langsung jawab pakai ilmu filsafat (tertawa). Aku bilang, "Prof, Anda kan bertanya. Nah akar filsafat itu bertanya. Ketika prof bertanya maka prof sudah berfilsafat." (tertawa).

Kedua, filsafat itu kan mengarahkan pada kebenaran. Jadi jurnalistik itu kan mewartakan tentang hal-hal yang mendekatkan pada kebenaran (tertawa lagi).

Prof itu manggut-manggut. "Benar juga Anda," kata profesor itu.

Tapi karena konten esaiku banyak omong tentang tourism akhir mereka mengarahkan aku agar ambil tourism. Akhirnya ini yang aku ambil di Amerika itu.

Program yang aku ambil itu namanya community collage selama setahun. Itu nongelar.

Begitu lulus dari Amerika Anda langsung balik kampung dan mencalonkan menjadi kepala desa?
Enggak. Pemilihan kepala desa itu kan baru 2019 lalu. Sebenarnya sebelum ke Amerika aku sudah membuat Remaja Mandiri Community (RMC).

Setelah selesai kuliah itu kan kita mau memasuki Pilpres 2014. Kebetulan waktu itu Litbang Kompas melakukan survei kepemimpinan untuk Pilpres. Aku diminta menjadi koordinator untuk wilayah NTT.

Nah selesai Pilpres itu, kan teman-teman yang pernah menjadi surveyor itu berkumpul dan menggagas untuk membentuk wadah. Kebetulan waktu itu kan Revolusi Mental yang diusung Jokowi banyak dibicarakan. Kita lalu membentuk wadah namanya RM Community (Remaja Mandiri Community). Mau menggunakan nama Revolusi Mental sebenarnya, tapi kan terlalu terlihat Jokowi banget. (tertawa).

8 9 2020 Nando5 edit

Apa aktivitas komunitas itu?
Waktu itu ada 12 orang anak muda desa di komunitas ini. Awalnya komunitas ini bergerak dalam literasi. Gerakan bagi-bagi buku.

Waktu itu kami juga membuat semacam perpustakaan. Kami terima donasi-donasi buku dari luar. Buku-buku itu kami bagi-bagi ke sekolah.

Lalu sepulang aku dari Amerika sudah berkembang dengan aktivitas-aktivitas lainnya.

Apa yang mendorong Anda membentuk komunitas itu?
Sebenarnya ini ini berangkat dari pengalamanku pribadi. Waktu itu aku kan susah sekali mendapat akses internet. Untuk mencari informasi dan mengapply beasiswa aku harus ke Ende yang jaraknya 33 kilometer.

Komunitas ini lalu Anda gunakan untuk kendaraan mencalonkan diri menjadi kepala desa?
Enggak. Ini ceritanya panjang. Aku terbersit ikut mencalonkan itu baru pada 2019.

Setelah kembali dari Amerika itu aku kan langsung kembali ke desa. Aku bekerja sebagai lokal fasilitator untuk LSM Internasional. Namanya Swiss Contact. Sambil di Swiss Contack aku menangani dua kegiatan proyek: community base tourism (pariwisata berbasis masyarakat) dan solid base management (semacam pengelolaan sampah terpadu untuk destinasi di sekitar Kalimutu).

Itu dari 2016 hingga 2018 aku kerja di LSM. Setelah itu aku resign. Waktu di NGO itu aku banyak belajar tentang desa dan aku banyak memfasilitasi desa-desa itu.

Jadi aku di LSM itu sebenarnya semacam lompatan saja. Sambil bekerja di LSM aku masih masih aktif memberdayakan RMC. Kalau di LSM itu kan kegiatannya selama lima hari kerja. Sabtu dan Minggu aku banyak di komunitas.

Di komunitas itu aku dan teman-teman mengembangkan aneka kegiatan-kegiatan sosial. Kami punya empat program: informal education. Di sini kami membuat gerakan literasi. Anak-anak kami ajak membaca buku, kami yang mempersiapkan perpustakaan. Kalau anak-anak mau pinjam buku mereka wajib membayar sampah. Konsepnya eco library.

Kami juga memberi kursus bahasa Inggris, baca buku, dan menyediakan informasi tentang beasiswa. Sejak 2014 sampai 2020 aku sudah kirim 30an anak ke Bali untuk studi tentang pariwisata. Mereka sudah bekerja di hotel, restoran, dan cafe.

Kedua, pertanian berkelanjutan. Di sini kami menghidupkan kembali aneka jenis pangan lokal. Seperti sorgum, wijen, jewawut. Kenapa? Karena aku bagian dari budaya. Kami di sini suku Lio, salah satu suku terbesar di Ende. Nah ritus kami ini 95 persen menggunakan pangan. Kalau omong tentang pangan berarti kan omong tentang identitas budaya.

Aku melihat dengan arus urbanisasi ini sudah makin banyak varietas-varietas pangan lokal yang hilang seperti wijen, jewawut, dan sorgum.

Pada 2014 aku cukup aktif bersama Mama Loreta (penggagas pertanian sorgum di NTT). Aku menjadi sekretarisnya waktu itu. Kami membentuk petani pangan lokal. Di situ aku bertemu dengan Yayasan Kehati (Keanekaragaman Hayati).

Pada 2015 aku diutus Kehati untuk ikut kegiatan di India untuk konferensi internasional tentang ibu bumi. Di sini banyak cerita tentang pangan.

Waktu itu aku presentasi pangan dari sudut pandang budaya Lio. Masa depan yang kita inginkan adalah cara pandang orang lokal. Dari situ aku melihat masa depan ini ada di desa, ada di kampung sebenarnya.

Setelah resign dari LSM itu aku menjadi anggota Javara Akademi. Di sini kan ditanamkan soal bagaimana petani bisa menjadi pengusaha. Di Javara diajari bagaimana memproduksi hasil-hasil pertanian dengan kemesan premium untuk diekspor.

Waktu itu aku sebagai local champion. Di situ kami membuat program kewirausahaan melalui program seniman pangan. Itu terintegrasi dengan kewirausahaan sosial di desa.

Keempat, eco tourism. Namanya Detusoko Ecotourism. Ini mempromosikan aneka potensi di desa.

Melalui RMC ini ada banyak inisiatif usaha bahkan salah satu anggota kami pada 2017 akhir itu sempat diutus ke Vietnam untuk ikut kegiatan regeneration.

Waktu di RMC aku banyak bertemu dengan banyak orang, misalnya di British Council. Aku sempat ikut kegiatan social entreprise (kewirausahaan sosial). Aku juga sempat ke Vietnam sebagai fasilitator, lalu ke Korea Selatan untuk ikut kegiatan pameran produk.

Hampir selalu isu yang diangkat di tataran nasional dan global isu yang diangkat itu soal kemandirian yang hubungannya dengan masyarakat adat.

Aku juga bertemu dengan banyak orang besar. Nah mereka ini berangkat dari orang lokal dengan membuat gerakan-gerakan semacam itu.

Ketika saya di LSM aku lihat hampir semua gerakan tujuannya ada tiga. Pertama, soal perubahan perilaku masyarakat. Kedua, penguatan dari sisi regulasi. Ketiga, dukungan keuangan tentang sebuah program di desa.

Dari situ Anda kemudian mantab mencalonkan menjadi kepala desa?
Awalnya sebenarnya yang mendorong itu warga. Motivasiku itu dimurnikan dalam proses.

Mungkin mereka melihat apa yang saya dan teman-teman telah lakukan di komunitas itu. Sehingga komunitas ini menjadi fondasi bagi aku untuk diterima masyarakat karena kami sudah banyak berbuat di desa. Dari situ masyarakat mendukung aku maju mencalonkan diri menjadi kepala desa.

Ketika aku kembali ke desa ada banyak persoalan yang aku temukan dan kita butuh masuk ke sana untuk menjembatani persoalan yang ada di desa.

Di NTT ini kan banyak human trafiking. Di sini kan banyak anak-anak petani yang tidak mau lagu meneruskan tradisi orang tuanya. Padahal di NTT ini banyak potensi pangan yang belum dimanfaatkan. Pengelolaan pasca panen ini masih sangat kecil.

Kaum terdidik setelah mendapat pendidikan keluar dari daerahnya.

Nah saya justru sebaliknya. Kenapa kita enggak kembali ke desa dan mencoba menyelesaikan persoalan desa.

Nah belajar dari tiga tujuan LSM itu aku lantas memantabkan niatku untuk memegang sistem. Dari latar belakang studi di filsafat, pengalaman bertemu dengan tokoh-tokoh, dan terlibat gerakan, akhirnya itulah yang menggerakkan aku harus pegang sistem agar perubahan lebih cepat.

Misalnya ketika aku omong soal konsep desa wisata, idealnya desa wisata seperti apa maka kita harus pegang sistem biar lebih cepat terbentuk.

Pengalamanku di desa, ketika kerja sebagai fasilitator, kalau kita berbenturan dengan kepala desanya akan susah.

Jadi itu dasarku mau menjadi kepala desa. Jadi mengubah dari yang kecil.

Berapa biaya yang Anda keluarkan untuk menjadi kepala desa?
Ini modal kepercayaan saja. Aku menjadi kepala desa ini kan tidak serta merta. Investasi yang aku tanam ini kan sudah sejak 2014.

Untuk biaya paling setelah lolos jadi Kades, kami siapkan 1 ekor babi untuk syukuran di kampung. Tak ada transaksi politik apapun. Mungkin mereka memilih karena sudah melihat rekam jejak yang sudah aku rintis. Itu sih paling modalnya.

8 9 2020 Nando6

Setelah menjadi kepala desa, bagaimana dengan RMC tadi?
Anggota RMC ini tidak hanya satu desa tapi ada dari desa lain. Jadi skupnya lebih besar. Dan RMC ini lebih kepada anak-anak muda.

Jadi kami di RMC itu memang sudah jalan. Kami punya bisnis cafe dan produk kopi. Jadi di komunitas itu kewirausahaan sudah berjalan.

Kenapa kopi yang Anda pilih?
Potensi tanaman kopi di sini lumayan. Di sini khusus robusta. Di desa kami itu 40 persen petani kopi. Produk turunan dari kopi itu ada gelang, parfum ruangan. Itu masuk konsep kewirausahaan.

Kami mengkhususkan robusta karena kebanyakan orang bermain di arabika.

Dalam konsep pariwisata kopi itu bagian dari produk pariwisata. Lalu kita ada Detusoko eco tourism.

Di situ juga ada homestay. Aku dulu star homestay dari rumahku. Ada wisawatan datang aku ajak bermalam di rumahku. Lalu aku ajak jalan-jalan. Dan itu akhirnya membekas pada masyarakat.

Dari satu tamu menginap di rumah lalu tiga orang. Lalu ajak tetangga agar mau menampung mereka. Mereka mau.

Akhirnya kita sepakat eco tourisme kita mulai dari satu dusun lalu berkembang menjadi satu desa.

Untuk melakukan sesuatu, aku selalu membiasakan dari rumah dulu baru menular ke luar. Orang kampung ini selalu melihat bukti dulu.

Jadi kita bisa omong kalau kita sudah punya bukti.

Desa juga punya BUMDes. Lalu apa beda unit usaha di BUMDes dan RMC?
BUMDes ini sudah ada sebelum aku menjadi kepala desa. Aku sebelum menjadi kepala desa menjadi direkturnya. Secara regulasi sudah dibentuk pada 2017.

Biasalah di pemerintahan ini kadang kan yang penting membentuk lembaganya dulu. Masalah jalan atau tidak urusan nanti. Lalu regulasi penyertaan modal baru 2018. Realisasi uang Rp 50 juta dari pemerintah desa ke BUMDes itu baru 2019 akhir. Bagaimana mau kerja (tertawa).

Jadi aku baru memanfaatkan dana Rp 50 juta itu pada November 2019. Jadi sekarang ini saya ada dua jabatan sekaligus: kepala desa dan direktur BUMDes. Tapi sebentar lagi mau pergantian untuk yang BUMDes. Kan kepala desa tidak boleh menjabat direktur BUMDes.

Kenapa aku masih merangkap sebagai direktur karena aku ingin mempertanggungjawabkan uang yang Rp 50 juta itu.

Di BUMDes itu ada dua unit usaha: pariwisata dan perdagangan.

Unit usaha pariwisata lebih kepada penguatan kapasitas masyarakat. Sedangkan di RMC lebih kepada menjual potensinya.

Tahun lalu untuk standarisasi homestay, BUMDes menyumbang toilet standar dan bad cover.

Di produk. Di produk ini ada beras hitam, beras merah, gelang, pengharum ruangan itu unit usaha dari BUMDes. Sementara di RMC itu hanya kopi bubuk.

Jadi yang aku dapatkan dari kewirausahaan sosial itu aku terapkan ke BUMDes sehingga lebih mudah.

Karena BUMDes belum ada sekretariat kami coba memasarkannya di cafe.

Jadi RMC dan BUMDes ini saling melengkapi.

Berapa omzet BUMDes saat ini?
Sebenarnya aktivitas kepariwisataan itu kan sudah berjalan sejak 2018 sekalipun penyertaan modal baru 2019. Dari data yang ada hingga saat ini sudah ada 1.120an wisatawan yang pernah menginap di desa. Tarif mereka permalam Rp 150 ribu. Kalau ditotal ada Rp 168 jutaan.

Kita di BUMDes itu juga ada penjualan sayur dan turunan kopi tadi. Untuk sayur dalam 3 bulan terakhir ini perputarannya sekitar Rp 35 jutaan.

Saat ini kami sedang mengembangkan konsep digitalisasi desa. Sekalipun kami internet belum ada, ketika Covid-19 ini kami menginovasi dan menciptakan pasar online.

Kami bekerjasama dengan Keuskupan Agung Ende tanggap Covid-19. Dalam perjalanannya gagasan kami ini ditanggapi positif Kemendes.

Di pasar online ini untuk menjembatani petani dengan konsumen. Ketika Covid ini kan transportasi mandeg, mereka tidak tahu mau menjual kemana. Lalu pasar ditutup.

Nah di situ kami menjembataninya dengan membuat dapurkita. Cakupan jualan kami sudah menjangkau Maumere dan Ende.

Kami berkolaborasi dengan 60an petani, memperkejakan anak-anak muda di desa. Kami juga berkolaborasi dengan pemilik kendaraan ojek. Ojek ini yang bertugas mendistribusikan.

BUMDes kami ini salah satu BUMDes terbaik tingkat nasional. Sebenarnya pada 8 Juli lalu mau ada acara dialog langsung dengan Pak Presiden Jokowi tapi batal.

8 9 2020 Detusoko5 edit

Ada rencana memasarkan produk premium?
Kami menuju ke sana. Produk kami di BUMDes ini kami tujukan untuk segmen wisatawan. Kami ingin menjajagi untuk bisa masuk ke Labuan Bajo. Karena di situ wisatawan premium maka standarisasinya harus premium. Kami berencana berkolaborasi dengan Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo.

Di RMC sendiri kami sedang membuat Detusoko Creative Hub. Ini ruang untuk menjembatani anak-anak muda. Sedangkan BUMDes sedang mencoba menggerakkan kelompok tani agar rumahrumah besar adat punya produk unggulan.

Di sini kan ada rumah-rumah besar. Ini semacam RT/RW kalau di pemerintahan.

Rencana masing-masing rumah besar punya satu produk. Produk ini yang nanti akan kami kembangkan dengan konsep kewirausahaan dengan kemasan premium di Kalimutu dan Labuan Bajo.

Detusoko Creative Hub mungkin akan kami kembangkan dalam 1-2 tahun ke depan.

Di BUMDes sendiri juga sendang menyiapkan destinasi di desa untuk pariwisata desa dan penguatan secara kelembagaan.

Kami di sini juga menyuguhkan atraksi daily life. Keseharian masyarakat lokal ke wisatawan. Di dalam pariwisata itu ada istilahnya yang bisa disentuh seperti transportasi, penginapan, makan, dan yang tak tersentuh seperti pengalaman, emosi, pengetahuan.

Aku membayangkan ketika orang ke sini tak hanya melihat keindahan tapi ada share experience, share pngalaman langsung dengan masyarakat lokal. Misalnya menanam padi, memberi makan babi itu bagaimana. Itu atraksi sosial.

Orang bilang makin ke kampung makin asli, makin dicari, makin original, dan biasanya makin mahal.

Kalau di filsafat itu ada semacam cultural understanding. Ketika ada aktivitas pariwisata maka harus ada pertukaran pemahaman. Ada pertukaran dari sisi ideologi, pedidikan. Jadi interkomunikasi. Ruang kedua semacam ini yang harus diperbanyak.

Kan orang Barat itu konsepnya sangat individual dan pandangan mereka tentang Muslim itu agak terkotakkan. Namun ketika mereka melihat desa mereka mendapat pengalaman berbeda.

Misalnya mereka melihat ada Muslim memelihara anjing. Ketika natalan justru yang menjaga gereja itu kaum Muslim. Jadi ada ada share perspektif lain dari masyarakat lokal ke mereka. Ini kan bagian dari kekayaan kemanusiaan itu. Itu yang ingin kita bagikan.

Dengan begitu, mereka akan banyak mendapat share tentang kearifan-kearifan lokal masyarakat Indonesia.

Misalnya sebelum menanam padi harus ada ritual dulu. Ada konsep mistis/magisnya. Ini yang tak ada di konsep modern khususnya orang Barat.

Di mereka itu padi ya padi. Kalau kita kan enggak. Padi itu tidak sebatas padi. Ada ibunya padi, ada rohnya padi. Mereka harus memberi makan nenek moyang dulu. Jadi ada sisi yang berbeda. Konsep-konsep ini harus kita share.

Pandangan-pandangan filsafat Anda masih kental. Anda lebih nyaman jadi filsuf apa kepala desa?
(Tertawa panjang). Bingung juga ini. Ini belum ada filsuf yang menjadi kepala desa.

Jadi kepala desa ini untuk investasi politik menuju jabatan yang lebih tinggi lagi, bupati atau gubernur misalnya?
(Terawa). Omong tentang bupati, saya baru tadi malam bertemu dengan pak bupati.

Enggaklah. Saya di desa sajalah. Lebih menarik.

Pernah ditanya oleh teman-teman Anda yang menjadi pastor soal aktivitas Anda ini?
Kepada calon pastur saya selalu bilang, aktivitas saya tidak berjubah, biar hati saya saja yang berjubah (tertawa).