Indonesia sangat kaya dengan budaya, tradisi, dan jejak sejarah. Hampir semua tempat di Indonesia terdapat bangunan-bangunan bersejarah, makam para tokoh sejarah, situs-situs bersejarah atau yang dianggap keramat. Tidak sedikit di antaranya yang berlokasi di desa-desa, belum dikenal luas, dan hanya diketahui oleh warga setempat. Lokasi-lokasi seperti ini sebetulnya sangat berpeluang untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata religi.
Apa itu wisata religi?
Wisata religi adalah kegiatan kunjungan wisata ke tempat-tempat yang dianggap bersejarah atau dianggap memiliki makna khusus yang berhubungan dengan keyakinan para pengunjungnya.
Misalnya, ziarah ke makam Wali Songo, para tokoh penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Berkunjung ke masjid Demak yang merupakan masjid agung pertama di pulau Jawa. Mendatangi sumber air tertentu untuk berendam dan meditasi karena air tersebut dianggap memiliki khasiat penyembuhan dan memiliki latar belakang kisah bersejarah, dan sebagainya.
Manfaat wisata religi antara lain adalah meningkatkan keimanan, menambah wawasan keagamaan, hingga menambah wawasan budaya dan sejarah suatu tempat.
Peluang ekonomi bagi desa
Disebutkan di atas, desa-desa di seantero Indonesia berpeluang mengembangkan situs-situs tertentu yang terdapat di desanya sebagai destinasi wisata religi. Jika berhasil dikembangkan, keberadaan destinasi wisata religi itu akan berdampak besar bagi ekonomi dan kesejahteraan warga desa. Misalnya, menjadi sumber pendapatan asli desa (PAD), membuka lapangan kerja, membuka peluang bagi usaha kuliner, usaha kerajinan dan suvenir, penginapan, dan sebagainya.
Tentu saja, tidak mudah mengembangkan potensi destinasi wisata religi ini dari awal. Diperlukan pula biaya untuk mempersiapkan destinasi ini. Namun, jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh, sangat mungkin potensi itu benar-benar dapat diwujudkan.
Lantas, apa saja yang harus dilakukan untuk mengembangkan potensi desa menjadi destinasi wisata religi? Berikut ini beberapa ide mengenai langkah-langkah praktis yang perlu dilakukan.
Langkah-langkah praktis
Pertama, yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi keberadaan dan kelayakan situs religi. Ada atau tidak lokasi yang layak dikembangkan sebagai situs religi, seperti bangunan bersejarah, makam tokoh, lokasi yang menurut budaya dan tradisi dianggap penting dan keramat, dan semacam itu.
Jika ada, pemerintah desa dan warga perlu melakukan riset dan dokumentasi sederhana. Tuliskan sejarahnya, siapa tokoh yang dimakamkan di situ, mengapa tempat itu dianggap penting dan bernilai menurut tradisi dan kepercayaan masyarakat.
Langkah kedua adalah menyiapkan kelayakan kondisi situs. Jika kondisinya kotor atau rusak tentu harus dibersihkan, diperbaiki dan dirapikan sebelum siap dikunjungi, namun tanpa mengubah keaslian situs.
Langkah ketiga berkaitan dengan infrastruktur dan fasilitas pendukung. Apakah tersedia jalan yang layak menuju ke lokasi itu? Bagaimana dengan tempat parkir, toilet umum, tempat makan dan istirahat? Jangan dilupakan pula soal kebersihan sehingga perlu disediakan tempat pembuangan sampah. Fasilitas-fasilitas ini perlu disiapkan.
Keempat, membentuk kelompok kerja yang terdiri dari warga desa. Kelompok kerja inilah yang akan bertanggung jawab mengelola seluruh urusan destinasi wisata religi.
Kelima, sosialisasi dan edukasi kepada warga mengenai apa itu wisata religi, apa pentingnya bagi warga desa. Perlu juga dilakukan kerjasama dengan Dinas Pariwisata untuk melakukan pelatihan bagi warga desa tentang bagaimana menerima para wisatawan, mengelola destinasi wisata, pemasaran destinasi, dll.
Keenam, promosi dan pemasaran. Ini dilakukan oleh tim khusus dalam kelompok kerja. Promosi dapat dilakukan melalui media sosial. Langkah-langkah promosi melalui medsos dapat dibaca di sini. Selain media sosial, perlu juga diadakan festival, perayaan, atau upacara adat yang dilakukan secara rutin yang temanya terkait dengan situs wisata religi tersebut.
Ketujuh, untuk pemeliharaan dan pengembangan fasilitas destinasi wisata, perlu dijajaki kerjasama pendanaan, misalnya melalui program-program CSR perusahaan swasta, bantuan pemerintah, dan kemungkinan memanfaatkan Dana Desa. (SJ)