Nagekeo adalah kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Ngada (2007), Nusa Tenggara Timur, yang kini termasuk dalam salah satu wilayah program prioritas nasional. Bentangan hijau rumput menghampar sepanjang bukit-bukit, lembah dan ngarai sejauh batas cakrawala.

Sejauh mata memandang. Ratusan sapi bergerombol di lembah hijau dan menjadi semacam noktah-noktah coklat dipandang dari ketinggian puncak bukit. Kuda-kuda berlarian bebas di tengah lembah. Alam karunia Sang Pencipta yang sunguh luar biasa. Itulah Nagekeo. Potensi peternakan menjadi salah satu andalan Nagekeo. Potensi pariwisata juga tak kalah besarnya.

Salah satu desa di kawasan bukit-bukit, lembah dan sungai itu adalah Desa Rendulhewa. Dihuni sekitar 270 Kepala Keluarga dan direncanakan sebagai lokasi rencana pembangunan sebuah waduk besar yang sempat memicu konflik antara warga desa dan pemerintah Kabupaten.

Namun, warga desa juga menyadari bahwa waduk yang direncanakan bernama waduk Lambo itu akan menjadi solusi banyak persoalan dalam mengentaskan kemiskinan. Salah satunya adalah untuk pemenuhan kebutuhan listrik yang memang masih belum menjangkau kawasan Rendulhewa.

"Baru ada listrik tenaga surya untuk penerangan rumah penduduk di malam hari. Satu rumah mendapat empat titik lampu dan membayar Rp. 45.000 per bulan. Namun jika cuaca hujan nyala lampu juga menjadi terganggu," jelas Willy, salah seorang warga desa.

Penduduk yang mampu biasanya memiliki diesel untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka. Sebagian besar warga masih mengandalkan listrik tenaga surya yang tersedia. Di Mbai, ibukota kabupaten yang sudah ada bendungan Sutami yang telah beroperasi sejak tahun 1970an namun hanya untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian.

Sebagian besar warga desa Rendulhewa hidup dari pertanian, peternakan dan perkebunan yang didukung oleh alam tempat hidup mereka. Pembangunan waduk Lambo bertujuan menggerakkan roda kemajuan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Prinsipnya, pembangunan program prioritas nasional di daerah manapun harus sesuai dengan kebutuhan warga dan bersifat partisipatif, yaitu melibatkan warga masyarakat dalam prosesnya.

Di sisi lain wargapun harus belajar memahami kepentingan umum yang menjadi tujuan program prioritas nasional. Proses dialogis suatu pembangunan akan meminimalisir dampak negatif yang mungkin terjadi. Masyarakat Rendulhewa mengatakan bahwa mereka pun tidak pernah menolak pembangunan waduk.

Mereka hanya menginginkan alternatif lokasi waduk yang berbeda namun masih di kawasan yang sama. Di sisi lain tentunya pemda pun sudah melakukan kajian dan survey untuk penentuan titik lokasi waduk Lambo.

Ini adalah dinamika dalam sebuah pembangunan partisipatif. Dinamika ini seharusnya bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik antara warga dan pemerintah daerah selama ada niat baik yang sama dan tujuan bersama untuk memajukan masyarakat. (FRG)