Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar meluncurkan program Desa Damai atau Forum Pemuka Masyarakat Cinta Desa (FORPEACE).

Peluncuran dilakukan di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Sabtu (19/9/2020). Banuroja dipilih karena desa yang dihuni beragam etnis dan agama selama ini dikenal hidup rukun dan damai.

Mengunjungi desa ini, kita akan bisa melihat bagaimana bangunan tempat antar umat beragama saling bedekatan. Nuansa kampung Hindu sangat terasa begitu masuk desa ini. Rumah-rumah di sepanjang jalan dari gerbang masuk desa dilengkapi dengan pura kecil keluarga.

Sebuah pura besar berdiri tegak di antara rumah-rumah itu. Nuansa Hindu berakhir di depan bangunan sekolah atau persis di seberang kantor Balai Desa Banuroja. Di salah satu tembok bangunan tertulis: Pondok Pesantren Salafiyah Safi'iyah.

Di salah satu sudut pondok terlihat bangunan masjid berdiri kokoh. Sekitar 100 meter dari masjid berdiri Gereja Protestan Indonesia Gorontalo.

Bangunan tempat ibadah itu merupakan cerminan di desa itu hidup beragam pemeluk agama: Hindu, Islam, dan Nasrani.

Sejarah desa ini terbentuk saat Orde Baru menggencarkan gerakan transmigrasi. Tak hanya berbeda agama, penduduk desa ini juga beragam etnis. Ada yang berasal dari Gorontalo, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Bali.

Berdasarkan data kependudukan desa itu pada 2014, desa ini dihuni oleh sembilan suku: Bali (411 jiwa), Jawa (282 jiwa), Sasak atau Lombok (281 jiwa), Gorontalo (34 jiwa, Minahasa (29 jiwa), Sunda (10 jiwa), Bugis (4 jiwa), Betawi (3 jiwa), dan Batak (2 jiwa).

Dari data desa Banuroja pada 2015 tercatat, mayoritas penduduk desa itu mayoritas memeluk Islam (613 jiwa). Mereka berasal dari masyarakat Jawa, Gorontalo, Sasak (Lombok), Sunda, Bugis, dan Betawi. Pemeluk agama Hindu ada 405 jiwa. Mayoritas mereka berasal dari Bali. Sementara pemeluk Kristen Protestan berjumlah 35 jiwa dan Katolik berjumlah 3 jiwa. Penganut Protestan dan Katolik ini berasal dari Batak dan Minahasa.

Meski dihuni warga dari multientnis dan agama, desa itu tak pernah dilanda konflik. Segala persoalan yang muncul bisa diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan.

Kepala Desa Banuroja Abdul Wahid mengakui hal itu. Menurut dia, kunci menjaga kerukunan di Bonuroja adalah silaturahim (persaudaraan). Jalinan hubungan baik, terutama antara pemuka agama dan tokoh masyarakat di Banuroja harus terus-menerus dijaga. Silaturahmi, menjadi kunci dan jurus ampuh menjaga komunikasi dan mencegah bibit perpecahan atau kecurigaan yang berpotensi menimbulkan konflik.

"Kita perlu rajin mendekati tokoh masyarakat dan pemuka agama, berkomunikasi, berbagi, dan menjalin rasa persaudaraan sehingga timbul kebersamaan," kata Wahid pada pertengahan Agustus 2012.

Agar tidak muncul kecemburuan antar warga, Wahid punya jurus lain. Dia akan meminta kepala urusan dan pamong di Banuroja untuk mengakomodasi etnis yang ada di Banuroja.

Mengelola Perbedaan
Heterogenitas juga tercermin dalam struktur organisasi desa. Sebagai kepala desa, Wahid berasal dari suku Sasak, sementara Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berasal dari Bali. Sekretaris Desa yang dijabat Febri Yahya adalah putra asli Gorontalo. Adapun empat kepala dusun di Banuroja berasal dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Gorontalo.

Bahkan, menurut Wahid, kepala desa sebelumnya dijabat penganut Kristen yang notabene dari kelompok minoritas di desa itu. Tidak ada keharusan bahwa penganut atau etnis mayoritas di desa itu harus tampil sebagai kepala desa. Siapapun kepala desanya, warga dari etnis dan penganut agama lain akan menerimanya.

"Ini juga salah satu cara agar tidak timbul kecemburuan sosial di Banuroja," ujar Wahid.

Jeek Detamor Gandey, Ketua Jemaat Gereja Imanuel Desa Banuroja bercerita, ada tradisi yang sampai kini masih terus terjaga di desa ini. Tradisi yang dimaksud adalah silaturahmi antarpemeluk agama pada hari besar agama masing-masing penganut di desa itu. Jika umat Islam merayakan idulfitri, warga pemeluk Hindu dan Kristen berbondong- bondong meramaikan suasana.
Warga pemeluk Hindu mengirimkan buah-buahan segar dan umat Kristiani menyerahkan aneka macam penganan kepada kaum Muslim.

"Kue yang kami bagikan pada hari raya idulfitri adalah kue yang kami pesan dari orang Muslim agar tidak menimbulkan kecurigaan," katanya.

Sebaliknya jika umat Kristiani atau Hindu merayakan hari besar, umat Muslim akan mengunjungi mereka. Jalinan silaturahim itu tak pernah absen dilakukan saat Natal dan Nyepi. "Biasanya kami bawakan mereka hasil bumi, seperti jagung atau jeruk," kata pengelola Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah

Banuroja dan Sejarah Transmigrasi
Desa ini tergolong baru. Terletak sekitar 250 kilometer dari kota Gorontalo, sebelum menjadi desa, wilayah ini dihuni oleh para transmigran dari berbagai daerah. Ada dari Gorontalo, Bali, Jawa, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka mulai datang saat pemerintah Orde Baru menggalakkan gerakan transmigrasi. Pada 1981, mereka mulai datang dan menetap di unit pemukiman transmigran (UPT) Marisa I Sub B.

Pada 17 Januari 1981, UPT Marisa I Sub A dan UPT Marisa I Sub B dilakukan penyatuan wilayah untuk membentuk sebuah desa bernama Manunggal Karya. Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Safi'iyah, Kiai Haji Abdul Ghofir Nawawi bercerita, pada 1980an untuk mencapai wilayah ini orang harus melalui jalan tanah yang melintasi bukit-bukit terjal.

Menjelang akhir 2003, sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pendidik, tokoh adat dan tokoh pemuda, memprakarsai pembentukan desa. Tujuannya untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

Gayung bersambut. Desa induk, kecamatan dan pemerintah kabupaten menyetujui prakarsa pemekaran desa itu. Desa baru ini mereka beri nama Banuroja. (FJR)