Pemandangan pagi itu terlihat tak biasa. Kantong-kantong plastik berisi sayur mayur digantung di pagar depan kedai kopi yang terletak di persimpangan Kampung Kutu Wates, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Ada kacang panjang, buah kol, sawi, dan tomat.
Beberapa orang yang melintas di jalan itu tak segan mengambil bungkusan itu.
Pemandangan itu sudah terlihat sejak awal April atau sebulan setelah kasus Covid-19 ditemukan pertama di Indonesia.
Adalah Arief Winarko (39 tahun) yang melakukan bagi-bagi sayur itu. Gerakan yang kemudian dinamakan "Sejangkauan Tangan" itu berawal dari keresahan Arif melihat banyaknya warga di desanya yang terdampak pandemi Covid-19. Apalagi di awal-awal pandemi itu banyak kampung yang ditutup termasuk kampung Arief. Kala itu, kata Arief, banyak tetangganya yang kehilangan pekerjaan dan kesulitan memenuhi keperluan rumah tangganya.
Merasa masih beruntung, Arief tergerak untuk berbagi. Ia sisihkan uang hasil penjualan kopinya. Tak banyak memang.
Uang sudah di tangan namun Arief belum menemukan apa bentuk yang akan dibagi. Ia ingin uang yang tak banyak itu bisa dibelikan sesuatu, tepat sasaran, dan bermanfaat.
Setelah berpikir cukup lama, terbersit untuk membagi sayur. Kebetulan juga ia punya kenalan petani sayur yang ada di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ia langsung mengontak kenalannya itu.
Gayung bersambut. Kebetulan, saat itu hasil panen sayur juga melimpah namun harganya anjlok karena pandemi Covid-19 ini. Kenalannya itu langsung mengirimkan sayur mayur yang dipesan Arief.
"Ada lima karung berisi sayur-mayur. Ada sawi, kubis, kembang kol, wortel, kancang panjang, dan jenis sayuran lainnya," ujar Arief.
Bersama keluarga dan teman-temannya, Arief kemudian membungkus sayuran itu ke dalam kantong-kantong plastik. Ada 100 bungkus saat itu. Bungkusan itu lalu digantung di pagar besi depan kedai kopi miliknya.
Tak disangka, masyarakat sekitar banyak yang mengambil sayuran itu. Arief memposting apa yang dilakukan itu ke media sosial. Dukungan mengalir.
Tak disangka, banyak warga di luar kampungnya yang mendukung bahkan ikut melakukan gerakan serupa. Di Yogyakarta gerakan ini akhirnya juga dilakukan di daerah Mojosari, Patangpuluhan, Sidikan, Mlangi, Sawahan, Cokrokusuman, dan Cabean.
Tak hanya di Yogyakarta, gerakan Sejangkauan Tangan juga melebar sampai di Samarinda, Kalimantan Timur; Depok, Jawa Barat; dan DKI Jakarta.
“Ini sungguh sangat luar biasa, di situasi pandemi ada orang-orang hebat peduli kepada sekitar,” kata Zuly, seorang warga asal kampung Cabean, Bantul.
Menurut Arief, pemilihan sayur karena pertimbangan ekonomi dan juga kesehatan. Sayur punya kandungan gizi dan juga harganya terjangkau.
Petani Tertolong
Gerakan Sejangkauan Tangan ini juga disambut antusias petani. Menurut petani Desa Sumber, Untung Pribadi (42 tahun) gerakan Sejangkauan Tangan ini membawa angin segar bagi petani.
"Hasil panen tidak bisa terjual karena banyak daerah dan pasar yang ditutup, pembatasan wilayah," katanya seperti dilansir BBCIndonesia.com.
Kalau pun terjual, kata Untung, harganya jeblok. Kembang kol yang biasanya dijual Rp 2.000 perkilo kini dihargai Rp 500 perkilo. Kini, ketika ada gerakan Sejangkauan Tangan, harga kol itu dihargai Rp 1.000 perkilonya.
Lumayan. Harga itu relatif lebih tinggi dibanding harga yang dibeli pedagang pasar. "Hitung-hitung kami juga turut solidaritas sosial," kata Setyoko, petani lainnya.
Hampir empat bulan digulirkan, gerakan Sejangkauan Tangan ini tercatat sudah membagi lebih dari 15.000 bungkus ke warga. (FJR)