Sudah 13 tahun warga Desa Matabondu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara ( Sultra), resah. Selama kurun waktu itu, desa ini tak mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal desa ini sudah terbentuk sejak 13 tahun silam atau 2007.
Desa Matabondu telah tercatat sebagai desa di Kementerian Desa (Kemendes) dengan nomor desa ke-19 di Kecamatan Laonti.
Meski sudah tercatat sebagai desa, pemerintah tampaknya belum mengakui desa ini sebagai desa. Akibatnya, desa ini juga tak pernah mendapat dana desa yang dikucurkan pemerintah sejak 2015 lalu.
Mereka pun kecewa berat. Kekecewaan mereka memuncak saat penyelenggaraan Pilkada serentak, 9 Desember 2020 lalu.
Sebagai aksi protes, sebanyak 250 warga Desa Matabondu yang punya hak pilih melakukan aksi tidak memilih alias golput. Sehari sebelum pelaksanaan Pilkada digelar, warga mengembalikan surat pemberitahuan memilih atau C6-KWK di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sultra.
Aksi mosi tak percaya ini tak main-main. Untuk mengembalikan surat C6-KWK itu, mereka rela menempuh perjalanan laut selama kurang lebih tiga jam dengan menggunakan perahu.
"Percuma menyalurkan suara kita tapi suara kita tidak pernah didengarkan," kata Kepala Desa Matabondu, Ahmad seperti dinukul Kompas.com.
Baca juga: Alasan Seluruh Warga Desa di Konawe Selatan Golput
Menurut Ahmad, selama ini dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat tak pernah sampai ke desanya.
Juru bicara warga Desa Matabondu, Pendur menambahkan sikap itu sebagai bentuk protes karena selama ini desanya tak pernah diakui Pemerintah Daerah Konawe Selatan. Padahal, kata dia, status desanya terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Kami sudah 15 tahun terpisah dari induk Desa Tamborosu, KTP, KK, dan bantuan dari pemerintah pusat seperti raskin sudah pisah dari desa induk. Tapi Dana Desa dan anggaran yang lewat Pemda tidak pernah diberikan hak kami," kata Pendur seperti dinukil haluanrakyat.com.
Pengacara desa Matabondu, Hikalton bercerita, pada saat pemilihan presiden 2014 dan 2019, di desa ini tersebut ada satu tempat pemungutan suara (TPS). Namun pada Pilkada serentak 2020, TPS mereka digabung dengan TPS desa tetangga, Tambolosu.
Keanehan lain, menurut Hikalton, kartu tanda penduduk (KTP) mereka berbeda dengan alamat dalam surat panggilan memilih. Di KTP, Matabondu tercatat sebagai desa persiapan dan nama jalan di dalam Desa Tambolosu. Sedangkan di surat panggilan memilih tercatat sebagai dusun.
Baca juga: Sejumlah Desa Bersiap Menyambut Kejuaraan MotoGP 2021
Kesemerawutan lainnya ada di Kartu Indonesia Sehat (KIS). Di KIS disebutkan Matabondu sebagai desa. Begitu juga dalam surat tanda terima beras (TTB) yang disalurkan Kementerian Sosial (Kemensos) lewat Program keluarga harapan (PKH) 2020 yang dimiliki 44 warga.
"Apakah Desa Matabondu ini masuk di wilayah NKRI, kalau tidak kasih, biar kita menyatakan sikap. Sudah bertahun-tahun kami perjuangkan ini tapi belum ada jawaban sampai sekarang," katanya.
Kepala KPU Sultra La Ode Abdul Natsir membenarkan aksi itu. Ia mengaku kaget dengan sikap seluruh warga Desa Matabondu yang punya hak pilih itu.
Namun ia mengaku tidak bisa berbuat banyak karena itu merupakan hak dari warga. "Kami juga tidak bisa menolak karena memilih ini adalah hak, kewajiban negara memfasilitasi penyaluran hak tadi," ujar Natsir.