Jika lagi ke Jawa Timur, cobalah pergi ke Kabupaten Pasuruan. Lalu arahkan tujuan Anda ke Desa Kalipucang. Jaraknya kurang lebih 28 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Pasuran.
Di desa yang berada di lereng Gunung Bromo ini, niscaya Anda akan bisa menemui sejumlah warisan Belanda seperti kopi, cengkih, dan sapi. Warisan-warisan kini menjadi laku keseharian warga desa itu. Mereka meneruskan tradisi menanam kopi, cengkih, dan beternak sapi perah. Di desa ini hampir tak ada sejengkal tanahpun yang menganggur. Semua dimanfaatkan dengan baik dan produktif oleh warga.
"Ketiganya (kopi, cengkih, dan sapi perah) merupakan saksi bisu masa penjajahan” kata warga setempat, Yamin yang kini sudah berusia 80an seperti dinukil kumparan.com.
Sejarah susu perah di Kalipucang dimulai pada 1911 atau bersamaan dengan masuknya Belanda ke wilayah Nongkojajar masuk Kecamatan Tutur. Karena harus mencukupi kebutuhan susu, Belanda lalu membawa sapi-sapi dari negaranya ke daerah itu untuk diternak.
Baca juga: Ini pentingnya profil desa
Belanda meminta warga setempat untuk memelihara sapi-sapi itu, menanam cengkih, dan kopi. Seminggu sekali mereka diwajibkan setor susu sapi ke mereka.
“Tidak ada yang benar dari penjajahan. Namun begitu, besarnya hasil susu, kopi dan cengkeh di Kalipucang adalah andil Belanda juga,” kata Hariono, Kepala Desa Kalipucang.
Berpenduduk kurang lebih 4 ribuan jiwa, 90 persennya merupakan peternak sapi. Peternak ini tersebar di Dusun Kuntul Selatan, Kuntul Utara, Dodogan, Cikur, Mucangan dan Jelag.
Populasi sapi mencapai 2 ribuan ekor dengan total produksi susu per hari 12 ribu liter. Tak heran kemudian desa ini dikenal sebagai sentra susu sapi perah. Dan pada 2015-2019, pemerintah menjadikan Desa Kalipucang sebagai sentra susu sapi.
Baca juga: Apa pentingnya data buat desa?
Meski brandingnya sebagai "desa susu", warga masih tidak meninggalkan tanaman cengkih dan kopi.
Menurut Kepala Desa Kalipucang, Hariono, hingga saat ini kopi, cengkih, dan sapi perah menjadi andalan komoditas warga setempat.
Menyadari kaya akan potensi wisata, Hariono bertekad menggali semua potensi yang ada di desa itu. Akhirnya pada 2017, desa ini mencanangkan sebagai desa wisata.
Baca juga: Perlukah desa punya website?
Saat inventarisasi potensi, mereka mengajukan 16 wisata unggulan. Tebing curing, kebun bunga krisan, pengolahan minyak cengkih, hutan pinus, tujuh sumber telogo, air terjun sumber Nyonya bukit tumang, omah kopi, dan kampung susu.
Setelah berembug, mereka menyepakti lima fokus wisata (alam dan edukasi). Untuk potensi alamnya ada Tujuh Sumber Telogo di Dusun Dodogan, air terjun Sumber Nyonya di Dusun Jelag, dan bukit tumang. Sementara wisata edukasi meliputi omah kopi dan kampung susu.
Agar warganya produktif, Hariono melibatkan anak-anak muda dan warga miskin. Anak muda dilibatkan dalam mengelola wisata. Sedangkan keluarga miskin dioptimalkan dengan mengolah berbagai bahan baku yang melimpah seperti membuat permen susu, kerupuk susu, minuman sari pisang, keripik pisang, bubuk kopi dan sale pisang.