Covid-19 telah mengguncang sejumlah sendi kehidupan manusia. Tak hanya aspek kesehatan, ia juga mengguncang sendi perekonomian. Sejumlah perusahaan menutup usahanya. Korban pemutusan hubungan kerja berjatuhan.
Toko atau pasar yang dulunya ramai, kini sunyi. Orang yang dulunya banyak melakukan transaksi langsung kini berpindah ke online.
Fenomena perpindahan model transaksi ini tak hanya terjadi di kota tapi juga merambah desa. Fakta ini membuat Kepala Desa Panggungharjo, Wahyudi menggagas pembentukan pasar desa.
Gagasan awal pembentukan pasardesa.id ini, menurut CEO Pasardesa.id, Sholahuddin Nurazmy, adalah untuk mitigasi ketahanan ekonomi di desa itu.
"Pak Lurah punya gagasan membuat platform yang bisa menjembatani toko-toko yang terdampak, tidak bisa jualan dan orang-orang yang masih punya daya beli," katanya.
Dilontarkan pada akhir Maret, keinginan itu langsung disambut mereka yang bekerja di Sanggar Inovasi Desa (SID) Panggungharjo. Mereka lalu membuat platform yang diinginkan Wahyudi. Hanya dalam tempo seminggu itu jadi.
Mereka lantas mencari pedagang-pedagang yang mau dijadikan mitra. Lumayan, pada bulan pertama ada 10 mitra yang mau bergabung. Transaksi pun mulai terjadi. Hingga pada 13 April, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Halim Iskandar meresmikan pasardesa ini.
Sambutan warga desa sangat bagus. Pada bulan pertama, omset pasardesa sudah mencapai Rp 100 juta. Awalnya hanya di Panggungharjo, kini sudah ada lima desa yang mau bergabung.
Menurut Sholahuddin, potensi dan peluang pasardesa berkembang sangat terbuka. Seperti apa kira-kira rencana pengembangan dan strateginya? Berikut cerita CEO Pasardesa.id Sholahuddin Nurazmy kepada wartawan Katadesa.id, Sigit Djatmiko dan Fajar WH, yang mewawancarainya secara virtual, Jumat (26/6/2020). Petikannya.
Bisa diceritakan awal mula gagasan pasardesa ini muncul?
Waktu itu panggung tanggap Covid-19 di Panggungharjo itu punya dua kegiatan. Satu laporan. Kedua, dukungan. Yang laporan itu ada dua: klinis dan nonklinis. Yang klinis ditangani tim medis. Yang nonklinis muncul beberapa data apa saja kebutuhan warga, siapa yang terdampak secara langsung maupun tidak.
Selain ada yang terdampak secara langsung, ada juga yang tidak terdampak. Dari data itu Pak Lurah punya gagasan membuat platform yang bisa menjembatani toko-toko yang terdampak, tidak bisa jualan dan orang-orang yang masih punya daya beli. Waktu itu protokal kan sangat ketat. Akhirnya dalam waktu yang sangat cepat kita bikin pasardesa ini.
Kapan persisnya ide itu muncul?
Kira-kira Pak Lurah ngomong punya gagasan pasardesa itu pada 28 Maret. Lalu dikerjakan seminggu. Lalu pada 13 April diresmikan Pak Menteri Desa Halim Iskandar. Saat itu juga sudah mulai transaksi.
Kira-kira pada bulan pertama, omsetnya sudah tembus Rp 100 juta. Waktu itu desa belanja untuk bantuan sosial. Volume untuk Bansos ini kira-kira 50 persen dan yang 50 persen itu dari transaksi reguler.
Di pasardesa ini kami hanya mengelola inventori. Jadi kami tidak punya barang. Tapi bekerjasama dengan mitra yang ada di desa. Kalau ada yang pesan barang ya kami belanja.
Pada awalnya ada berapa mitra?
Awalnya hanya 10 mitra. Kalau sekarang sudah beragam.
Apa kriteria menjadi mitra?
Pada tahap awal semuanya diterima. Bahkan warga yang sebelumnya tidak punya pekerjaan atau kehilangan pekerjaan menjadi mitra. Jadi ini memang menggerakkan ekonomi.
Apa saja produk yang ditransaksikan?
Waktu itu yang dibutuhkan itu lebih banyak sembako dan kebutuhan pangan lainnya.
Sistem jual belinya seperti apa?
Kami masih campuran. Bulan pertama itu kami baru menangani untuk Desa Panggungharjo. Dari pengiriman dan pembayaran masih setengah-setengah. Ada yang Oonline dan offline. Untuk mengkontrol kualitas misalanya, kami masih melakukan offline. Jadi belum semuanya menggunakan sistem.
Kami ini masih berbasis web. Jadi pembeli bisa melihat barang-barang di web itu.
Sistem pembayaran sudah model online semua?
Sebenarnya ada beberapa tahap. Tahap pertama itu memang model pembayaran masih manual. Kami tidak menampilkan mitra. Ini spiritnya sosialis. Mitra hanya menginput produk. Ketika ada yang order barang, kami yang memilihkan tokonya. Jadi pembeli tak bisa meminta agar dibelikan di toko A atau B. Semuanya kami yang menentukan.
Ini memang agak berbeda dengan market place umumnya seperti tokopedia, bukalapak, atau shopee. Jadi di kami, mitra itu tidak mengelola barang.
Kontrol masih ada di kami. Kontrol perlu kami lakukan agar tidak terjadi persaingan antartoko. Teman-teman di bagian operasional bisa tahu kok mana mitra mana yang serius mana yang tidak. Dari situ akhirnya terseleksi juga.
Untuk harganya, kita hanya ada satu harga untuk satu jenis barang. Misalnya kecap. Harga yang kita tampilkan hanya satu. Harganya memang relatif lebih tinggi dibanding toko-toko yang ada di sekitar.
Kenapa kami pasang lebih tinggi? Karena kita juga ingin melindungi toko-toko sekitar. Jadi kita tidak bersaing dengan toko-toko sekitar.
Pada bulan kedua, kami sudah naik kelas karena kami sudah membuat komitmen dengan lima desa lainnya di Bantul. Termasuk ini yang menjadi sarana penyaluran BLT DD.
Kami bekerjasama dengan BNI. Penerima membuka rekening di BNI lalu belanjanya di pasardesa. Desa sebagai pemilik dana desa itu berhak mengatur pemanfaatan dana itu. Jadi dana itu dipakai untuk jaring pengaman sosial.
Lima desa itu mana saja?
Panggungharjo, Guosari, Wirokerten, Sriharjo, dan Ngestiharjo. Itu di lima kecamatan yang berbeda.
Bagaimana kerjasama dengan desa lainnya?
Kami memang baru bekerjasama dengan lima desa dari 75 desa yang ada di Kabupaten Bantul. Sebenarnya kami telah mengirimkan proposal ke-75 desa itu tapi hanya lima yang mau bekerjasama.
Rencana ke depan bagaimana?
Kami akan memperluas kerjasama ini. Saat ini kami sedang menyusun sistem transaksi berbasis aplikasi. Karena kalau nanti mitranya makin banyak, kami akan kesulitan jika menggunakan sistem yang sekarang.
Barang apa yang paling banyak ditransaksikan?
Kalau dari data yang telaris itu beras, kebutuhan sembako dan turunannya. Itu untuk dua bulan ini.
Untuk belanja BLT DD ini awalnya memang tidak masuk desain pasardesa. Kondisi pandemi ini kan kondisi pasar agak berat, ambyar semua. Karena itu Pak Lurah ingin kita segera mengakuisisi pasar. Jadi pasardesa ini salah satu strategi untuk mengakuisisi pasar.
Kalau kita perhatian, mereka yang menerima BLT DD itu kan sensitif terhadap harga. Selisih Rp 100 sampai Rp 200 saja mereka komplain apalagi sampai ditambahi ongkos kirim. Sementara mereka yang biasa berbalanja di toko berjejaring tidak begitu soal dengan harga.
Kami melihat potensi ini bisa dikembangkan dan masih sangat besar.
Berapa orang yang terlibat di pasardesa ini?
Timnya ini berkembang. Dulu kami ini sebagian besar ada di BUMDes plus relawan. Dalam perkembangannya, setelah bekerjasama dengan desa lain, timnya berkembang. Mungkin sekarang ada sekitar 15 orang.
Mitra yang gugur itu biasanya karena apa?
Lebih kepada ke kualitas barang yang jual. Misalnya sayuran. Kalau antara gambar dan kondisi aktual tidak sama, pelanggan akan komplain. Mereka komplainnya ke kami. Jika mereka komplain ya kami akan ganti. Nanti tinggal kami yang akan komplain ke mitra.
Itu sebabnya kenapa kami mengkontrol karena kami memang tidak sepenuhnya menyerahkan mekanisme kontrol ke pasar.
Namun komplain itu masih minor karena mungkin warga masih antusias. Antusiasme ini yang membuat kami memang agak kerepotan.
Masuk pada bulan ketiga ini, kami akan lebih baik lagi karena sudah banyak yang kami perbaiki. Kalau sekarang sifatnya tidak mitagatif lagi karena memang sudah dilepas ke pasar bebas. Jadi kami nanti harus berhadapan dengan toko-toko berjejaring seperti Alfamrt dan Indomart.
Apa ada komitmen untuk melindungi komoditas lokasl, misalnya?
Pada bulan-bulan awal semua masuk. Nanti ke depan kita akan adakan kriteria. Misalnya ya lebih melindungi komoditas lokal.
Sampai Juni ini berapa banyak mitra?
Sudah di atas 300an. Omsetnya juga sudah di atas Rp 300 jutaan.
Apakah pedagang-pedagang pasar banyak yang menjadi mitra?
Belum semuanya. Ini butuh edukasi. Sementara ini, kan ada lima desa. Nah kita berbuhubungan dengan BUMDes itu. Nanti BUMDes yang akan mecari mitranya.
Ke depan nanti BUMDes itu akan menjadi super mitra kami. Dia yang akan mengelola mitra-mitra di desa itu.
Kira-kira enam enam bulan targetnya akan ada berapa desa lagi yang mau bergabung?
Pak Lurah itu maunya tiap bulan kalau bisa naik kelas. Memang tiga bulan ini kita naik kelas. Dari satu desa menjadi lima desa. Sekarang Pak Lurah sedang menjalin komunikasi dengan pemerintah desa yang lain.
Mungkin Agustus akan ada banyak tambahan desa yag ikut.
Total omset untuk pasardesa di lima desa ini berapa?
Harapan kami bisa tembus sampai Rp 2,5 miliar. Karena kan sebagian itu merupakan belanja BLT DD. Captive market BLT DD itu ada Rp 2,5 miliaran untul lima desa.
Apa kontribusi desa lain terhadap pasardesa ini?
Ketika sudah ada lima desa, pasardesa ini dimiliki konsorsium lima desa itu.
Apa nilai lebih pasardesa ini dibanding dengan pasar konvensional?
Valuenya di pasardesa ini tidak semata-mata ecommerce dan mitigasi tapi ada ideologinya. Juga ada spririt ekonomi berbagi, dan solidaritas.
Untuk jasa pengiriman menggunakan apa?
Kami masih menggunakan inhouse. Di BUMDes itu ada yang terdampak. Jadi mereka ditugaskan untuk itu. Mungkin ke depan kami bisa menggunakan jasa ojek online.
Berapa lama barang yang dipesan itu sampai ke pembeli?
Untuk satu desa paling cepat rata-rata setengah jam. Dari pesanan itu kami kan tahu apakah barang ini akan segera dipakai atau masih nanti itu juga jadi pertimbangan.
Badan hukumnya nanti bentuknya apa?
Perseroan Terbatas. Ini sedang kami urus. BUMDes selaku pemilik saham.