Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta punya gawe. Mereka menggagas acara besar. Namanya Kongres Kebudayaan Desa (KKD). Rangkaian acara berlangsung selama 2,5 bulan. Dari Juni hingga pertengahan Agustus. Ini merupakan kongres terbesar pertama yang pernah terjadi di Indonesia.
Gagasan kongres ini berangkat dari adanya pandemi Corona yang menyerang seluruh warga bangsa. Tak hanya warga kota tapi juga desa. Pandemi Corona, membuat tata kehidupan dan relasi sosial semua orang, termasuk kehidupan warga desa di seluruh Indonesia berubah. Desa 'dipaksa' berubah menuju tatanan baru alias new normal. Masalahnya, tatanan seperti apakah yang harus terjadi pada kehidupan desa yang disebut new normal?
Perubahan yang saat ini terjadi pada seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat akibat pandemi Covid-19 jelas butuh respons yang sistematis dan terstruktur.
"Inilah urgensi dari Kongres Kebudayaan Desa yakni mendorong dan menyusun tatanan arah Indonesia Baru dari Desa," kata Ketua Pelaksana KKD Ryan Sugiarto.
Rangkaian KKD berlangsung dari Juni hingga pertengahan Agustus. Rangkaian diawali dengan riset yang dilakukan Juni hingga Juli ini. Riset dilakukan di seluruh desa Indonesia dengan menyebar kuisioner. Titik tekannya pada keterlibatan warga desa.
"Melalui riset ini kami ingin mengetahui sebenarnya seperti apa tatanan Baru Indonesia yang mereka imajinasikan," kata Ryan saat wawancara virtual dengan wartawan Katadesa, Sigit Djatmiko dan Fajar WH, Selasa (23/6/2020).
Selama setengah jam lebih Ryan menjelaskan persiapan dan konflik, respons desa lain terhadap acara ini. Berikut petikan lengkapnya:
Sejauh ini bagaimana persiapan kongresnya?
Secara umum kongres ini ada dua hal besar yakni kongres kebudayaan desa dan festival kebudayaan desa-desa nusantara. Keduanya kita bungkus menjadi kongres kebudayaan desa.
Ada beberapa agenda yang masuk dalam kongres. Pertama, riset. Riset ini berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat desa dalam menghadapi Covid-19. Kedua, mengelaborasi gagasan. Kira-kira imajinasi apa yang diinginkan masyarakat desa berkaitan dengan Covid dan pasca Covid.
Jadi penelitiannya akan memotret dua hal itu. Kondisi hari ini dan imaji masyarakat desa berkenaan dengan arah Indonesia baru akan seperti apa. Jangkauan dari responden adalah warga dan pemerintah desa di seluruh Indonesia.
Kita akan lakukan sampai Juli. Sejauh ini teman-teman sudah mulai mengelaborasi hasilnya meskipun belum sesuai dengan target yang kita harapkan yakni di angka 10-20 ribu responden. Tetapi pengambilan data sampai hari ini terus berjalan.
Data ini nanti akan kami gunakan untuk mengelaborasi dokumen berikutnya yakni pedoman penyusunan RPJMDes. Masyarakat desa yang kita berikan kuisioner nanti kami harapkan mau mengisi form yang kita berikan.
Proses distribusi kuisioner kita serahkan ke Kementerian Desa untuk diteruskan ke pendamping desa. Kalau misalnya satu desa bisa mendapatkan tiga orang saja, kita sudah bisa sudah bisa mendapat 150 ribuan responden.
Selain meminta warga desa, kami juga meminta akademisi, praktisi, komunitas untuk urun rembug gagasan-gagasan tentang Indonesia baru nanti akan seperti apa. Bentuknya call for paper. Ini prosesnya sedang berjalan.
Dari call paper nanti produknya buku. Kemungkinan ada 18 buku yang akan diterbitkan.
Buku itu nanti akan berisi naskah-naskah yang ditulis narasumber. Buku itu semacam kulakan gagasan untuk menyusun RPJM Desa.
Ada juga webinar series. Awalnya hanya 12 tapi berkembang menjadi 18 tema dan ini masih berkembang. Kapan hari ada tambahan soal isu inklusi sosial.
Apa sebenarnya tujuan riset itu?
Ya riset itu sudah kami mulai sejak Juni. Melalui riset ini kami menginginkan masyarakat terlibat sehingga kongres ini bukan keinginan elit tapi warga. Riset itu kami ingin menampung gagasan masyarakat desa dengan latar belakang apapun.
Kalau menggambarkan desa dari narasumber, kita akan terjebak pada elitisme lagi.
Siapa saja yang terlibat dalam riset?
Ada teman-teman dari pusat studi kawasan pedesaan di UGM, Departemen Sosiologi UGM, CRCD Fakultas Psikologi Sarjana Wiyata Tamansiswa.
Semua proses itu dilakukan online apa offline?
Semua informasi kita push lewat kongreskebudayaandesa.id. Mulai dari pendaftaran, call papers, riset ditautkan di sana. Platform itu menjadi pusat kegiatan.
Rencananya pada 1 Juli nanti kita akan mulai lakukan webinar. Hasil websiries ini akan menjadi dokumen penyusunan RPJMDes. Dokumen ini bukan untuk Panggungharjo tapi panduan untuk seluruh desa di Indonesia.
Di kongres ini kami juga melibatkan masyarakat adat. Jadi gambarannya bukan hanya desa di lingkup dinas tapi juga yang ada di lingkup masyarakat adat.
Pada 13-16 Juli nanti akan ada festival kebudayaan Nusantara. Festival ini akan mengakomodasi masyarakat adat untuk menampilkan kekayaan tradisi dan pengetahuannya. Ada yang online dan offline. Pusatnya di Kampung Mataraman. Festival ini untuk memberi warna bahwa kongres itu tak selalu serius tapi juga keriangan berupa perayaan.
Gambaran kami dengan kongres ini kita bisa merayakan seluruh gagasan atau pengetahuan yang dimiliki masyarakat desa. Terakhir, harapan kami pada 15 Agustus akan ada deklarasi berkaitan dengan tatanan Indonesia baru yang dimulai dari desa. Kami berharap deklarasi dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Yang acara offline apa saja?
Ada performance dari teman-teman di berbagai daerah. Misalnya Tari Saman terutama yang ada di Yogyakarta.
Festival itu bentuknya apa saja?
Di sini akan ada talkshow berkaitan desa-desa adat yang melibatkan masyarakat adat. Ada juga pertunjukan pertunjukan live dari Kampung Mataraman. Dari festival ini nanti akan ada nuansa keceriaannya.
Festival ini akan mengakomodasi 19 subkultur kebudayaan dari Aceh sampai Papua. Dengan melibatkan itu kami berharap tidak ada masyarakat yang ditinggalkan.
Masyarakat adat sempat protes. Bagaimana sebenarnya?
Sebenarnya di kongres kita sudah melibatkan teman-teman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Talkshow nanti pembicaranya dari seluruh masyarakat desa adat.
Jadi tidak benar ini hanya dilakukan oleh desa-desa dinas.
Saya kira kalaupun ada friksi atau protes itu menjadi bagian dari dinamika.
Berapa anggaran yang dikeluarkan untuk acara ini?
Anggaran kami patok di angka Rp 1,7an miliar. Awalnya Kementerian Desa mau menanggung semuanya. Tapi di tengah jalan ternyata tidak bisa. Kami akhirnya berkolaborasi dengan pihak lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan GIZ.
Apakah dari jumlah itu, desa mengeluarkan anggarannya dari dana desa?
Kita tidak menggunaan pembiayaan dari pemerintah desa kecuali di beberapa hal. Kalau di Panggungharjo menganggarkan.
Sejauh ini tingkat partisipasi desa seperti apa?
Seluruh kepanitiaan ini merupakan teman-teman di desa. Kalau pun ada akademisinya itu posisinya sebagai warga desa. Pemuda kampung semua terlibat. Bahkan seluruh gagasannya kita lakukan di kelurahan. Ini bukan gagasan dari nasional tapi dari desa.
Bagaimana desa lain merespons kegiatan ini?
Sejauh ini yang kami terima itu dukungan-dukungan. Baik yang di Aceh maupun daerah lain. Nada-nadanya sampai saat ini tidak ada penolakan.
Ini bukan hanya Panggungharjo tapi untuk seluruh desa di Indonesia.
Apa saja kendala yang dihadapi panitia sejauh ini?
Sejauh ini soal positioning narasumber. Ketika ada stakeholder masuk, mau tidak mau kita harus mengakomodir mereka menjadi narasumber.
Karena nanti acara ini banyak dilakukan secara online, bagaimana dengan masalah teknologinya?
Masalah jaringan koneksi memang menjadi concern kami. Tapi sejauh ini kami terus berusaha agar sambungan nanti bagus.