Kepala Desa Panggungharjo tak pernah kehabisan ide. Selalu ada ide di kepalanya. Kali ini ia menggagas Kongres Kebudayaan Desa (KKD). Katanya KKD ini merupakan revolusi senyap. Dia memang membalik logika bernegara agar memberikan ruang yang cukup kepada warganya. Sehingga negara itu akan menjadi arena demokratiasi politik lokal. Di mana warga negara punya hak untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Agar visi ini implementatif, hasilnya nanti akan berupa garis besar haluan desa. Ini semacam panduan bagi desa untuk menyusun perencanaan mereka. Semua harus ada ukuran-ukuran yang menjadi panduan bagi desa untuk mewujudkan visi bersama.
Begitulah Wahyudi. Gagasannya visioner. Ide-idenya kreatif. Tak salah sejak menjabat Kepala Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta sejak 2012, banyak ide yang ia wujudkan untuk desanya.
Namun menjadi kepala desa, katanya, merupakan jalan ketersesatan. "Terseat di jalan yang benar," ujarnya terbahak.
Walau 'tersesat', di tangannya, Desa yang dulunya gersang dan miskin, kini menjadi desa yang diperhitungkan.
Ia membuat sejumlah terobosan. Wahyudi memang jeli melihat potensi desanya. Misalnya, ia mengembangkan usaha pengelolaan minyak goreng sisa (jelantah) menjadi bahan bakar pengganti solar atau Refined Used Cooking Oil (R-UCO). Pengelolaan ini dilakukan BUMDes bekerjasama dengan PT Tirta Investama (Danone AQUA). Dari pengelolaan minyak jelantah ini, BUMDes Lestari Panggungharjo mampu meraup Rp 70 juta sebulan.
Selain itu, ia juga menggali potensi budaya yang ada di desa itu dengan mendirikan Kampoeng Matraman. Sebuah destinasi yang menyajikan nuansa desa agraris di era 1990-an kepada pengunjung.
Berkat kreativitas Wahyudi, Desa Panggungharjo pernah menyabet gelar sebagai Desa Terbaik Tingkat Nasional 2014.
Kerja kerasnya memajukan desa dan menyejahterakan masyarakatnya, jebolan Fakultas Farmasi UGM ini kembali didaulat mencalonkan lagi menjadi kepala desa. Dalam kontestasi kedua ini, ia kembali terpilih untuk periode kedua (2018-2024).
Terpilih lagi, ide-idenya makin menggila. Salah satunya adalah menggagas diadakannya Kongres Kebudayaan Desa (KKD) yang digelar selama 2,5 bulan, mulai Juni hingga pertengahan Agustus 2020. "Ini kongres terbesar yang belum pernah terjadi di negeri ini," katanya.
Berikut cerita lengkap Wahyudi saat wawancara virtual selama lebih dari satu jam dengan Sigit Djatmiko dan Fajar WH dari katadesa.id, Selasa (23/6/2020). Petikannya:
Bagaimana awal mula gagasan Kongres Kebudayaan Desa ini lahir?
Awalnya hanya terkait kebutuhan Desa Panggungharjo. Waktu itu kami mengadakan review Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa 2019. RPJM itu kan dibangun dengan asumsi-asumsi sebelum adanya pandemi Covid-19.
Ketika pandemi Covid1-19 terjadi, tentu asumsi-asumsi itu harus diubah. Karenanya, kami merasa perlu melakukan review untuk menyesuaikan dengan situasi yang ada.
Pandemi Covid-19 ini kan seperti membuka kotak pandora. Hal-hal yang dulunya tidak terlihat, tiba-tiba terlihat. Covid itu mendekonstruksi semua tatanan. Pandemi ini menjadi kesempatan bagi kita untuk membuat tatanan baru yang sesuai dengan situasi atau karakter Indonesia.
Di sisi lain, pandemi Covid ini memberikan gambaran bahwa puncak dari relasi sosial kita itu adalah keluarga. Kita melihat bagaimana Covid itu menihilkan peran sekolah. Institusi-institusi formal dinihilkan semua. Semua dipaksa kembali ke rumah. Ini mengindikasikan bahwa lembaga yang paling aman dan mendasar atau paling substantif itu keluarga.
Di sisi lain, Covid ini memberi pelajaran bahwa puncak dari pandemi ini adalah kerjasama. Jadi pola kolaborasi, berbagi, solidaritas itu bisa menyelamatkan kita. Karena kita terbatas maka kita harus bersama-sama mengatasi keterbatasan itu.
Semua instrumen ekonomi yang dibangun oleh pasar dengan adanya pandemi ini rusak semua. Termasuk basis-basis produksi, semuanya rusak. Untuk mengatasinya, satu-satunya cara lewat kerjasama dan berbagi.
Covid-19 juga memberi gambaran bahwa puncak dari relasi politik adalah musyawarah.
Hal itu ditopang dengan distribusi informasi yang disebar secara merata. Akses informasi terbuka. Knowledge is power. Kekuatan atau kekuasaan itu sangat ditentukan seberapa besar penguasaan akan pengetahuan kita.
Kalau informasi itu tersebar secara merata maka pengetahuan akan dibagi secara merata sehingga puncak kekuatan politik itu ya musyawarah karena masing-masing entitas punya kekuatan politik yang sama.
Kekeluargaan dalam relasi sosial, kerjasama dalam relasi ekonomi, maupun musyawarah dalam relasi politik itu adalah makna operatif dari gotong royong.
Gotong royong itu lahir dari alam pikiran Nusantara, dari alam pikiran desa. Nah di satu sisi Covid itu mendekonstruksi. Namun di sisi lain, Covid-19 juga memunculkan nilai-nilai yang bisa menjadi penyelamat atau penopang dari keberlanjutan hidup kita.
Sesuatu yang terbukti tangguh menghadapi situasi pandemi ini diajukan sebagai gagasan alternatif dalam rangka membangun relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan sang pencipta.
Gagasan alternatif ini diajukan dalam spektrum yang lebih luas. Tidak hanya desa tapi negara.
Apakah selama ini nilai-nilai gotong royong di desa memang sudah pudar?
Desa itu menarik karena dua hal. Pertama, desa itu masa depan dunia. Karena di desa itu kita punya tiga komoditas strategis yang tidak dimiliki oleh kota.
Pertama, desa punya udara bersih. Coba lihat orang kota, untuk menghirup udara bersih saja mereka harus lari ke gunung, ke pantai. Kedua, desa itu punya air bersih. Orang kota, untuk minum air bersih mereka harus beli dari Perancis.
Ketiga, desa itu punya pangan sehat. Karena semua makanan yang dikonsumsi masyarakat perkotaan itu makanan-makanan yang terkontaminasi, mengandung zat berbahaya seperti pestisida.
Nah itu kekuatan desa. Saat ini kan kita tak lagi memperebutkan sumber-sumber energi tapi memperebutkan tiga hal itu. Kita tahu distribusi air kita dikuasai oleh perusahaan multinasional koorporasi. Kita tahu distribusi pangan kita dikuasi oleh segelintir kecil koorporasi internasional. Bentuk perang saat ini semacam itu. Kita memperebutkan sumber pangan sehat, air bersih, dan lainnya.
Itu artinya sangat penting bagi negara untuk menghormati desa. Karena desa yang punya tiga komoditas itu. Desa itu basis yang sangat strategis.
Kedua, desa itu tak hanya terdiri dari software. Tidak hanya terdiri dari manusia. Tidak hanya hardware, tentang landscape, tentang alam dan sebagainya. Yang paling penting di desa itu adalah socialware. Pranata sosial. Pranata sosial itu ada di dua aspek yakni agama dan kebudayaan.
Masyarakat kota itu memahami agama dan kebudayaan itu hanya terdiri dari ritus. Mereka tidak menempatkan agama dan kebudayaan itu pada aspek hubungan manusia dengan manusia; manusia dengan alam; dan manusia dengan penciptanya.
Kenapa kita bisa sebut desa lebih tangguh dari kota? Karena desa masih punya socialware tadi. Pranata sosial itu ada pada agama dan kebudayaan. Misalnya, kenapa sekarang anak-anak tak hormat kepada orang tua, kepada guru. Karena bahasa ibu dicabut dari keluarga. Ketika itu dicabut dari keluarga, tata krama itu langsung runtuh. Dalam konteks itu, bahasa ibu bukan hanya alat komunikasi tapi menjadi bagian dari pranata sosial.
Termasuk dolanan anak. Dolanan anak itu tidak sekadar alat permainan tapi dia sebagai media utuk meningkatkan kecerdasan majemuk anak. Orang desa sadar betul bahwa anak-anaknya tumbuh kembangnya harus secara bermartabat. Agar bermartabat, dia tak hanya membutuhkan kecerdaaan intelektual saja tapi juga kecerdasan yang lain yang disebut multiple intelligence.
Alat untuk meraih kecerdasan itu menggunakan permainan anak atau dolanan anak. Dolanan anak itu dicirikan oleh empat hal. Ada namanya wicoro, bunyi-bunyian, kidung dan lain-lain. Itu adalah untuk meningkatkan kecerdasan verbal anak. Seringkali kita mendengar tembang-tembang anak itu seperti tidak ada maknanya. Tapi itu memang disengajakan untuk meningkatkan artikulasi anak.
Misalnya tembang dengkul ewa ewo.
Dengkul ewa ewo itu tak ada artinya. Tapi itu untuk melatih artikulasi anak bagaimana mereka mengartikulasikan a, i, u, e, o.
Ciri kedua adalah wirogo. Wirogo itu gerakan tubuh. Gerkan tubuh itu untuk meningkatkan kecerdasan motorik anak. Kalau motorik halus mainnya dakon.
Ketiga, permainan anak itu juga dicirikan wiromo, irama. Irama itu hanya bisa dibangun ketika seorang anak bisa bekerjasama dengan anak partner mainnya. Untuk bisa bekerjasama itu msnsyaratkan kecerdasan emosional, kecerdasan intrapersonal, interpersonal.
Ciri keempat adalah wiroso, rasa. Ini untuk mengolah kepekaan rasa.
Dalam konteks ini dolanan anak juga menjadi bagian dari pranata sosial. Tidak hanya sekedar alat bermain tapi menjadi medium pendidikan untuk mentransfer pengetahuan, mentransfer nilai.
Jadi dolanan anak itu setidaknya ada tiga fungsi: reflektif, rekreatif karena dia menggembirakan, edukatif. Semua itu didekatkan dengan dunia anak yang kemudian disebut dolanan. Disebut dolanan agar tidak ada resistensi dari anak. Nilai-nilai transendensi, nilai moral juga disisipkan dalam dolanan itu.
Begitu juga pemanfaatan lahan pekarangan. Banyak masyarakat lokal, misalnya di Jawa itu namanya karang kitri. Itu dalam rangka untuk membangun ekosistem kedaulatan pangan.
Jadi karangkitri itu dulu untuk mencukupi kebutuhan pangan dari keluarga disediakan tempat yang paling dekat yaitu pekarangan. Di pekarangan biasanya ada tanaman sumber karbohidrat berupa umbi-umbian. Mesti ada tanaman sumber mineral berupa sayuran. Ada juga sumber vitamin berupa buah-buahan. Juga protein berupa hewan peliharaan. Dan juga ada tanaman kacang-kacangan.
Ketika ada situasi pandemi atau bencana, mereka bisa bertahan selama enam bulan tanpa bantuan siapapun. Ini yang menyebabkan mereka sangat tangguh.
Yang paling penting dari pekarangan itu tak hanya soal kedaulatan pangan tapi dia menjamin dan memastikan apa yang dikonsumsi oleh keluarga itu sehat. Karena mereka tahu caranya, mereka prosesnya dan mereka tahu apa saja yang dimasukkan ke dalam tanaman itu. Sehingga semua yang dimakan itu sesuatu yang sehat.
Nah, nilai-nilai itu tercerabut saat ini. Nilai-nilai itu kan tidak ada di kota. Ini kan menunjukkan ideologi pasar itu gagal. Ideologi pasar itu sangat rapuh. Pandemi ini membongkar ini semua.
Soal ketahanan pangan, pasardesa yang Anda gagas itu bisa disebut untuk mewujudkan ketahanan pangan itu?
Saya diberikan amanah menjadi kepala desa oleh warga itu sejak 2012. Sedikit banyak ini melahirkan pengalaman yang kemudian kami coba konstruksi menjadi pengetahuan.
Kemandirian desa itu terletak pada tiga aspek. Pertama, terkait dengan politik dan pemerintahan desa. Isunya terkait dengan kapasitas politik, kepemimpinan, demokratisasi, kapasitas sosial.
Kedua, perekonomian desa. Isunya terkait dengan kelembagaan ekonomi dan kewirausahaan di desa. Ketiga, penguasaan atas informasi dan data. Jadi daulat data.
Pasardesa.id adalah modul yang kita siapkan untuk menopang pilar ekonomi desa. Harapannya ini menjadi modul untuk menopang pilar politik dan pemerintahan desa.
Mengenai daulat data, sejak 2015 kita mengembangkan informasi berbasis data spasial. Mulai data kependudukan, bisofisik (lingkungan permukiman, panjang jalan, rumah tidak layak huni, elektrifikasi, fasilias umum, publik. Ada juga data ekonomi. Ini soal data ekonomi warga desa, termasuk pola konsumsi warga desa, sebaran UMKM, jenis UMKM.
Ada juga data sosial. Ini data soal kesejahteraan sosial warga, penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Ini menjadi modul untuk menopang daulat data tadi. Jadi desa berbasis spasial itu data yang kami siapkan untuk menopang pilar daulat data.
Ketiga-tiganya ini kita coba menjadi sistem gagasan utuh yang kemudian akan kita dorong untuk bisa kita duplikasi. Sehingga nanti yang dideklarasikan itu visi tentang Indonesia ke depan yang isinya memuat tiga modul yang sudah kita siapkan untuk menopang visi itu.
Undang-undang desa sudah ada. Apa undang-undang itu belum cukup menampung apa yang Anda gelisahkan?
Sebenarnya ini memperkuat UU Desa. Yang namanya kemandirian desa itu kan kemampuan desa mengelola keuangan dan aset. Di UU Desa itu kan ada beberapa asas. Tapi asas paling utama itu kan pengakuan (recognisi). Bahwa ada satu kesatuan yang namanya desa di mana desa ini kelahirannya mendahului negara. Sebelum negara lahir kan sudah ada desa. Desa ini yang membentuk negara. Karena lahir lebih dulu, desa ini punya kewenangan asli, kewenangan asal-usul atau kewenangan lokal di skala desa.
Ini memamg asasnya berbeda dengan asas otonomi daerah. Kalau otonomi daerah itu kan desentralisasi. Negara punya kewenangan yang didesentralisasi ke daerah. Artinya itu kewenangan pemberian negara.
Tapi kalau kewenangan desa itu bukan kewenangan yang diberi negara. Karena negara belum lahir desa sudah ada.
Dengan adanya UU Desa, semua desa punya kewenangan yang relatif sama. Ketika negara mengakui kewenangan wajib bagi negara untuk meredistribusi anggarannya. Distribusi anggaran ini sekarang kita kenal sebagai dana desa.
Dulu sebelum ada UU Desa kewenangan ada di kabupaten. Pembagian aset sangat beragam. Desa miskin tak punya aset, desa kaya banyak aset. Tapi dengan adanya UU Desa itu dimoderasi sehngga titik berangkatnya sama.
Kemampuan mengelola aset dan kewenangan ditentukan tiga aspek. Pertama, kepemimpinan. Kedua, kapasitas birokrasi. Ketiga, seberapa besar kapasitas sosial yang bisa didorong menjadi potensi sosial.
Nah kita hanya ingin menegaskan bahwa kita ini sudah dicukupkan tapi kenapa masih ada yang lamban.
Karena itu, hasil kongres ini diharapkan mampu memperkuat UU Desa.
Kita lihat kan dalam perjalanan UU Desa dimutilasi.
Maksudnya mutilasi bagaimana?
Kan beberapa tahun lalu, campur tangan negara masih kuat. Dana desa masih ada di kabupaten.
Mestinya definisi itu harus diubah. Kalau dulu negara terdiri dari kabupaten-kabupaten, kabupaten terdiri atas desa-desa. Nah ini mesti diubah. Desa membentuk kabupaten, kabupaten membentuk negara. Mestinya begitu. Kan desa lebih dulu.
Kabupaten bekerja atas mandat yang diberikan oleh desa.
Kenapa namanya Kongres Kebudayaan Desa?
Kita berharap kebudyaan itu menjadi bagian dari pranata sosial. Tapi dia harus implementatif agar bisa diterjemahkan dalam sendi-sendi kehidupan. Sehingga kemudian munculah 17 tema.
Pranata sosial dalam praktik ekonomi itu seperti apa sih. Sehingga ekonomi itu bisa berjalan secara berkeadilan.
Jadi pandemi ini benar-benar membongkar sesuatu yang selama ini kita anggap benar tapi pada kenyataannya rapuh.
Beberapa waktu lalu Anda bertemu Menteri Desa. Bagaimana tanggapannya?
Malam itu kita diskusi dengn teman-teman, lalu paginya saya komunikasi dengan Pak Menteri. Pak menteri siap mendukung. Lalu sorenya kita rapat dengan salah satu direktur kementerian.
Apa yang diharapkan dari kongres ini?
Dari kongres ini setidaknya ada dua hal yang ingin dihasilkan. Pertama, kekuatan Indonesia baru. Covid-19 ini akan menjadi kesempatan karena kita punya sesuatu yang sudah terbukti tangguh, mungkin ini bisa menjadi nilai dasar dalam pola relasi berdesa, berbangsa, ataupun bernegara.
Karena ini menyangkut masa depan bangsa maka kemudian harus dilakukan verifikasi. Benarkah gotong royong ini bisa dijadikan visi bersama untuk membangun Indonesia ke depan?
Rangkaian kongres ini bisa dibilang sangat komprehensif. Kita ada 18 webinar. Di sini kita ingin mengecek gagasan-gagasan yang terkait dengan kebudayaan yang diterjemahkan menjadi 18 aspek, mulai dari ekonomi hingga antikorupsi.
Serial ini untuk mewadahi gagasan-gagasan dari praktisi, birokrat, yang selama ini bergumul di desa. Kita menghadirkan 90 narasumber yang mewakili berbagai disiplin ilmu.
Di sisi lain, kita meyadari masih banyak orang yang punya gagasan yang tidak mungkin diwadahi dalam webinar ini. Karenanya, kita buka saluran lain yakni call paper sehingga memungkinkan setiap orang yang ingin menyumbangkan gagasannya bisa terakomodasi dengan baik. Namun webinar dan call of papers ini kan elit.
Untuk menjembatani, kita lakukan riset. Riset ini mencoba memahami situasi yang ada di tingkat warga desa saat ini. Imajinasi apa yang kira-kira mereka bayangkan tentang Indonesia ke depan.
Kami bekerjasama dengan 32 ribuan pendamping desa. Kami berharap minimal satu desa bisa menjaring dua warga yang ikut berpartisipasi. Kalau ada dua warga kan berarti ada 62 ribu responden. Saya kira ini riset terbesar yang pernah dilakukan saat ini. Respondennya tersebar dari Aceh hingga Papua.
Ini penting agar hasil riset ini tidak lepas dari konteks. Sehingga kongres kebudayaan ini bukan keinginan elit untuk membaca desa tapi memang murni dari bawah. Biarkan warga sendiri yang membaca situasi mereka dan mengimajinakan Indonesia ke depan.
Dari tiga kegiatan itu masih ada yang belum terwadahi yakni masyarakat adat. Sehingga kita buatkan satu panggung yang sama besar dengan kongres yang kita sebut festival kebudayaan desa. Festival ini dalam rangka menangkap imajinasi dari masyarakat adat untuk Indonesia ke depan seperti apa. Masyarakat adat ini ada 19 suku, dari Aceh hingga Papua.
Rangkaian itu kemudian kita ramu agar menjadi sebuah visi bersama untuk Indonesia baru. Jadi Indonesia baru itu diterjemahkan sebagai visi dari warga bangsa sehingga tidak menjadi dominiasi kalangan elit.
Ada yang mengatakan kongres ini adalah revolusi senyap. Kita memang membalik logika bernegara agar memberikan ruang yang cukup kepada warganya. Sehingga negara itu akan menjadi arena demokratiasi politik lokal. Di mana warga negara punya hak untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Agar visi ini implementatif, keluarannya berupa garis besar haluan desa. Jadi ini semacam panduan bagi desa untuk menyusun perencanaan mereka. Semua harus ada ukuran-ukuran yang menjadi panduan bagi desa untuk mewujudkan visi bersama.
Jadi harapannya ini bisa dijadikan panduan untuk menyusun RPJM desa mereka. Kemudian, bangunan yang ada di masing-masing desa itu menuju ke arah yang sama.
Ketika 74 ribu desa bergerak ke arah yang sama, mau tidak mau perencanaan yang ada di kabupaten dan pemerintah pusat tinggal ngikutin saja apa yang jadi kemauan dari pembangunan desa itu.
Karena ini terkait dengan produk politik, kami berharap Presiden Joko Widodo mau mendeklarasikannya pada 15 Agustus.
Bagaimana respons desa-desa lain dengan acara kongres ini?
Karena ini menjadi bagian dari produk berbangsa, nanti kita siapkan gerbong besar. Siapapun boleh terlibat. Tidak mungkin ini ditopang satu dua entitas. Semuanya harus dilibatkan. Ini menjadi panggung bersama untuk melahirkan Indonesia ke depan.
Harapannya ini bisa menjadi gerakan bersama. Gerakan yang didorong oleh kesadaran warga negara untuk turut berkontribusi kepada negara. Selama ini kan kontribusi kita kepada negara hanya diwujudkan dalam bentuk pajak.
Padahal kita punya hak dan kewajiban untuk bersama-sama membangun negara ini. Selama ini kan partisipasi kita dalam bentuk pembayaran pajak. Padahal kan banyak yang bisa dilakukan agar lebih baik.
Dari 74 ribu desa itu, apa mungkin terwakili?
Kalau dari level pemerintah mestinya diwakili oleh asosiasi. Kalau dari warga desa itu melalui kuisioner yang kita sebar.
Ini kongres terbesar yang pernah dilakukan. Kurang lebih 50an ribu orang terlibat untuk memikirkan negara ini.
Sepertinya ini bisa menjadi visi presiden 2024...
Enggaklah. Ini kan hanya pemantik saja. Karena itu kita dorong pak Presiden untuk mendeklarasikan.
Panggungharjo sendiri sebenarnya kan desa yang semi urban. Nah untuk mempertahankan nilai-nilai tadi, secara praktis yang Anda lakukan selama ini seperti apa?
Bentuk sih boleh berubah tapi nilai itu akan abadi. Nilai itu sifatnya kontekstual. Nilai itu akan menemukan konteksnya dalam segala situasi.
Sebenarnya fenomena itu tidak hanya terjadi di masyarakat urban saja. Sebenarnya itu by design. Misalnya bagaimana sebenarnya sejak revolusi hijau kita itu hanya mewarisi tanah tapi tidak pernah mewarisi pengetahuan. Ini by design.
Nah saat pandemi ini saya kira menjadi titik balik kita untuk kembali mengais pengetahuan-pengetahuan untuk dikontekstualisasikan dengan situasi-situasi ke depan. Jadi kehilangan pengetahuan itu menjadi problem kita secara umum.
Sebenarnya apa yang menjadi kegelisahan Anda tentang desa ini?
Pengetahuan. Seperti yang saya bilang tadi. Kita itu hanya mewarisi tanah tapi tidak pernah mewarisi pengetahuan.
Apa yang menyebabkan itu terjadi?
Itu terjadi ketika arus modal atau revolusi hijau menjadi penghambat. Ketika Soeharto membuka arus modal masuk ke Indonesia, ketika menjadikan pasar sebagai panutan dalam relasi bernegara, saat itu kita kehilangan pengetahuan.
Yang sekarang coba dilakukan Desa Panggungharjo itu adalah merekonstruksikan pengalaman-pengalaman yang ada menjadi sebuah pengetahuan agar bisa direplikasi.
Pada 2015 kita mendirikan pengelola desa budaya. Ini menjadi ruang partisipasi sehingga tidak berhenti pada ekspresi.
Bagaimana merelevankan khasanah pengetahun itu dengan masa kini?
Kita pingin hasil kongres ini bisa digunakan desa-desa untuk membaca zaman sekaligus untuk mendefiniskan masa depan mereka lebih baik.
Sejak kecil Anda memang sudah bercita-cita jadi kepala desa?
Saya malah enggak punya cita-cita (tertawa).
Jadi saya ini terseat di jalan yang benar (tertawa lagi).
Jokowi dalam visinya menyebut akan membangun dari pinggiran. Nah ini sekarang Anda yang membangun dari pinggiran....
Wah saya enggak tahu. Ini wangsit jhe (tertawa).
Apa acara semacam ini akan diselenggarakan secara ajeg?
Titik penting itu bukan pada kongresnya tapi dipelaksanaan pascakongresnya. Bagaimana semua entitas bisa mengawal hasil kongres ini.