Puluhan gubuk dari bambu berjajar rapi. Ukurannya sekitar 2,5 sampai 3 meter. Gubuk itu berada di bawah pepohonan. Teduh dan rimbun. Penjaganya para perempuan berbaju hitam berkebaya batik. Pakaian khas daerah setempat.
Masyarakat sekitar menamainya pasar wit-witan. Wit-witan berasal dari bahasa Using Banyuwangi yang berarti pepohonan. Konsepnya memang pasar tradisional tapi dengan sentuhan modern. Plastik 'haram' digunakan di pasar ini.
Pasar ini terletak di Desa Alasmalang, Singojuruh, atau 16 km dari Kota Banyuwangi. Dibuka sejak sekitar setahun lalu, pasar ini hanya buka setiap hari Minggu. Jam bukanya juga terbatas mulai pukul 06.30 hingga 09.30 WIB.
Di pasar ini segala macam panganan tradisional Banyuwangi disajikan. Dari makanan ringan (kudapan) hingga hidangan berat. Mayoritas memang masakan lokal.
Ada lupis, tiwul, gatot, pecel pitik (ayam) khas Banyuwangi, rawon, lanon (semacam lupis yang dibuat dari tepung beras warnanya hitam), botok (pepes) tawon, putu, es dawet, geseng bangong (itik jantan), dan segudang makanan lainnya.
Setiap Minggu pasar itu ramai dikunjungi orang. Tak hanya masyarakat sekitar, ada juga dari desa lain, luar daerah, bahkan juga ada turis mancanegara.
Seperti pada Minggu, 24 November 2019. Carine, bule asal Prancis ini terlihat ikut berbaur dengan para pengunjung pasar itu. Berada di kerumunan orang itu, Carine terlihat sangat menikmati suasana dan jajanan yang ada. Beberapa panganan sempat ia beli.
Sambil duduk di bangku bambu, Carine menikmati suguhan kesenian Kebo-keboan dan musik angklung. Tubuhnya terlihat bergoyang saat musik angklung dimainkan. "Panganannya sangat menarik, suasananya enak, " kata Carine.
Pengunjung asal Jember, Rindang yang berkunjung awal Januari lalu mengaku sangat penasaran dengan keberadan pasar itu. Rindang yang pernah melewatkan masa kecilnya di Banyuwangi bahkan mengajak serta sejumlah saudaranya.
Di sini, Rindang bersaudara menikmati kudapan lanon, rujak celup (rujak berkuah manis kecut dengan buah dicacah), sate jamur, dan juga botok tawon. Saat melihat kudapan yang sudah jarang dilihatnya itu, mereka langsung menyerbu. "Orang Banyuwangi itu taste-nya bagus. Masakannya beragam dan enak-enak," katanya.
Pasar wit-witan tak hanya menjadi tempat transaksi, tapi juga bisa menjadi tempat refresing dan menikmati hawa baru. Sambil menyantap makanan, pengunjung bisa menikmati kesenian khas Banyuwangi yang disuguhkan. Suasana sekitar pasar yang masih dipenuhi sawah-sawah menambah kenyamanan pasar ini.
Camat Singojuruh, M. Lutfi mengakui, pasar itu sudah diberikan sentuhan kekinian. Pengunjung bisa membeli makanan lalu menyantapnya di tempat itu sambil menikmati sajian kesenian khas Banyuwangi. Di lokasi itu, panitia memang membuat panggung untuk atraksi kesenian. Mereka juga menyediakan spot-spot yang bagus untuk berfoto.
Pasar ini memang telah menjadi berkah bagi masyarakat Desa Alasmalang. Dengan adanya pasar ini, menurut Lutfi, ekonomi masyarakat bergerak.
Lamhatin, salah satu pedagang pasar itu mengamini Lutfi. Lamhatin yang membuka makanan geseng bangsong (itik jantan) mengaku sejak ada pasar itu pendapatannya meningkat. "Kalau jualan di rumah saya hanya menjual 6 sampai 7 ekor itik, tapi saat ada pasar ini saya bisa berjualan hingga 24 ekor," kata warga asli Alasmalang ini.
Makanan itik jantan ini, kata dia, menjadi favorit Bupati Banyuwangi Azwar Anas. Anas pernah memesan geseng bangsong saat berkunjung ke pasar itu. "Nikmat sekali rasanya. Pedas campur asam dari daun wadung. Nikmat sekali rasanya," kata Anas.
Anas mengapresiasi keberadaan pasar ini. Kelihatannya sederhana namun keberadaan pasar ini jelas mampu menggerakkan perekonomian masyarakat. "Ini yang terus kami dorong agar setiap kecamatan punya satu pasar tradisional yang bisa menampilkan potensi kuliner dan kesenian daerah setempat," kata Anas.
Penasaran? Segera siapkan jadwal untuk berkunjung bersama keluarga atau kerabat ke Banyuwangi. (FJR)