Desa Plosorejo. Jaraknya kurang lebih 8 kilometer dari ibu kota Kabupaten Blitar. Sebuah plang besar di pinggir Jalan Benteng Blorok 18, Kademangan, segera terbaca "Kampung Coklat."
Di sinilah segala macam tentang kakao bisa kita lihat. Mulai dari produk tanaman hingga produk olahannya. Penyebutan nama kampung coklat berawal pada 2004. Kampung ini terbentuk saat bisnis ayam petelur Kholid Mustofa bangkrut gara-gara wabah flu burung.
Flu burung yang lagi merajalela itu, membuat Kholid banting setir ke budidaya coklat. Kebetulan Kholid punya lahan seluas 720 meter persegi. Kebun ini ditanami 120 kakao sejak tahun 2000.
Karena saat itu fokus bisnis Kholid di peternakan ayam, kebun itu tak banyak diurus. Jika kakao panan, ia menjualnya ke tengkulak kakao yang ada di Desa Sumberpucung, Malang. Kakao yang telah dipanen itu dihargai Rp 7.000/kilogram.
Dari situ Kholid mulai termotivasi untuk menekuni budidaya kakao. "Yang tidak dirawat saja bisa laku segitu, apalagi kalau dirawat," kata Kholid seperti ditulis kampungcoklat.com.
Dari situ, ia mulai termotivasi untuk mengembangkan kakao itu. Ia memutuskan untuk berguru perkakaoan di PTPN XII Blitar dan Pusat Penelitian kopi dan kakao di Jember pada tahun 2005.
Usai berguru di dua tempat itu, Kholid mulai menerapkan ilmunya. Ia membibit kakao sebanyak 75 ribu bibit kakao. Bibit kakao itu ia tawarkan ke sejumlah petani, namun banyak petani yan tak tertarik menanamnya. Karena tak banyak yang mau membeli, akhirnya Kholid membagi-bagikan bibit itu ke sejumlah petani dengan memanfaatkan areal lahan perhutani melalui lembaga masyarakat di kawasan hutan (LMDKH).
Di pertengahan 2005, Kholid mengajak para petani yang menanam kakao tadi membentuk gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang diberi nama Guyub Santoso. Ada 21 petani yang bergabung di kelompok ini.
Kholid dan para petani yang tergabung dalam kelompok ini mencari informasi harga biji kakao kering di Surabaya. Ternyata harganya lumayan mahal. Di Surabaya itu harga biji kakao kering dihargai Rp 16.000 perkilogramnya.
Mendapat informasi itu, Kholid makin semangat untuk mengembangkan kakao. Di Gapoktan ini, hasil panen petani dihimpun lalu dikeringkan. Pada 2007, kelompok ini mendapat pesanan untuk memasok biji coklat di sebuah pabrik pengolahan biji coklat sebanyak 3,2 ton perbulan. Kakao kering itu dihargai Rp 16.000 perkilogramnya. Pesanan itu terus berkembang sampai akhirnya mereka diminta memasok 300 ton perbulannya.
Puas? Tidak. Kholid rupanya tak puas hanya sebagai pemasok. Ia bertekad bisa mengolah sendiri biji kakao itu. Kholidpun mencoba belajar di pabrik coklat Monggo Yogyakarta dan Silver Queen.
Hasilnya? Pada 2013, Kholid mulai membuat coklat sendiri bekerjasama dengan Anggi coklat asal Blitar. Bubuk coklat itu dipasarkan ke sejumlah daerah seperti Solo dan Surabaya. Namun rupanya penjualannya kurang memuaskan. Kholidpun memutuskan untuk mengirim bubuk coklat itu.
Kholid memutar otak. Pada 2014 akhirnya dia memutuskan untuk membuat wisata edukasi coklat. Ia pun membangun sebuah kawasan yang diberi nama kampung coklat. Di kawasan ini segala pernik-pernik tentang coklat bisa dipelajari. Mulai dari pembibitan hingga pengolahan.
Dengan membeli tiket Rp 5.000 per orang di hari biasa dan Rp 10.000 per orang di akhir pekan, pengunjung bisa menjumpai berbagai jenis cokelat. Mulai dari cokelat original, cokelat krispi, cokelat orange, cokelat apel, cokelat bubuk, cokelat susu, dan berbagai varian dark cokelat.
Selain diolah menjadi cokelat siap konsumsi, kakao yang dipanen dari Kampung Coklat Blitar juga diolah menjadi berbagai jenis makanan. Seperti brownies cokelat, dodol cokelat, dan lain sebagainya.
Tak hanya soal percoklatan, di kampung coklat ini, Kholid juga membangun semua fasilitas permainan, hiburan, hingga restoran. Hasil-hasil olahannya juga dipajang di kawasan itu.
Hadirnya kampung coklat ini berdampak besar. Tenaga kerja di desa itu terserap. Tak kurang dari 400 warga desa bekerja di kampung coklat ini. Perekonomian pun desa bergerak. Kini, Desa Plosorejo pun identik dengan kampung coklat itu. (FJR)