Lima orang itu tampak sedang mengenakan baju pelampung di atas jembatan bambu yang menjorok ke bibir pantai, Selasa (4/8/2020). Di bawah jembatan, sebuah perahu nelayan siap mengangkut mereka. Setelah semua terangkut, perahu berangkat.
Mengangkut tujuh orang --dua orang yang mengoperasikan perahu dan lima penumpang-- perahu itu menuju agak ke tengah. Lalu berkeliling. Para penumpang itu diajak keliling melihat tanaman bakau di pantai Penunggul, Pasuruan, Jawa Timur. Selama kurang lebih 20 menit mereka diajak berwisata mangrove.
"Di tengah kami tepuk tangan memanggil burung-burung kuntul yang ada di pohon bakau," ujar Karunia Sari, salah satu penumpang memenuhi saran sopir perahu.
Benar saja. Burung-burung kuntul yang ada di di pohon bakau itu berterbangan. "Asyik suasananya," ujar Karunia.
Untuk bisa berkeliling hutan bakau, penumpang desa dipungut Rp 10.000 per orang. Sedangkan anak-anak dipungut Rp 5.000. Satu perahu maksimal diisi lima penumpang ditambah dua sopir perahu.
Wisata hutan bakau ini memang baru dibuka pada Jumat, 22 Juli 2020. Menurut Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Penunggul, Subagyo, pembukaan lokasi wisata ini karena pihak mereka melihat bakau di desanya itu menjadi potensi wisata. "Beberapa orang tanya kenapa kok enggak dijadikan lokasi wisata," Subagyo kepada Katadesa, Minggu (9/8/2020).
Selama ini, kata dia, Penunggul dikenal sebagai daerah yang sukses menanam bakau. Apalagi tokohnya, Mukarim, pernah diganjar Kalpataru berkat usahanya menanam bakau di sepanjang pantai Penunggul.
Atas prakarsa para pemuda desa dan Pokdarwisnya, akhirnya mereka menggagas dibentuk wisata hutan bakau itu. Untuk mewujudkan gagasan itu, para pemuda yang dimotori Subagyo mengeluarkan duit sendiri. "Ada yang urunan Rp 2 juta. Nelayan juga ikut urunan," katanya.
Setelah terkumpul, mereka langsung memperbaiki beberapa infrastruktur. Jembatan bambu yang selama ini sudah ada diperbaiki. Pelataran depan menuju lokasi dibersihkan dan didirikan beberapa kios untuk warung dan penjualan oleh-oleh khas Penunggul.
Para pemuda kemudian berembug dengan para nelayan. Nelayan menyambut gembira. Mereka setuju jika perahunya digunakan untuk mengangkut wisatawan yang datang. "Mereka mau karena tujuan kami meningkatan pendapatan mereka dan menggerakkan perekonomian desa," ujar Subagyo.
Namun karena jumlah nelayan banyak, Subagyo membuat jadwal bergiliran. Rata-rata sehari dua perahu disiagakan. Jika akhir pekan, jumlah perahu yang disiagakan bisa mencapai empat buah.
Lumayan. Dari hasil mengangkut wisatawan itu rata-rata para nelayan bisa mengantongi Rp 200.000-Rp 300.000 per hari. Jika akhir pekan dari wisata yang dibuka mulai pukul 07.00 hingga 17.00 itu, mereka bisa mengantongi rata-rata Rp 500 ribu perhari.
Dari hasil yang didapat itu, para nelayan diminta untuk mengisi kas antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu dari hasil yang didapat itu. Selain dari nelayan, kas Pokdarwis itu didapat dari hasil parkir kendaraan. Untuk motor, mereka memunut Rp 3.000. Sedang mobil Rp 5.000. Dari parkir ini mereka bisa mendapat antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Jumlah akan naik jika akhir pekan tiba. Mereka bisa mengantongi Rp 100 ke atas.
"Kas itu untuk perbaikan infrastruktur dan perawatan hutan mangrove," kata Subagyo.
Baru sekitar dua pekan dibuka, kata Subagyo, warga sudah merasakan perekonomian desa bergerak. Pengusaha-pengusaha industri rumahan juga bisa menjajakan dagangannya di warung-warung yang di bangun di beranda depan pintu masuk. Ada yang jualan keripik bakau dan keripik ikan.
Awal hutan bakau Penunggul
Sejatinya, hutan mangrove di pantai Penunggul itu sudah lama ada. Hutan itu ditanam dan dirintis oleh warga Desa Penunggul bernama Mukarim (72 tahun). Ia mulai menanam mangrove pada 1986.
Saat itu, air laut terus merangsek ke pemukiman warga, termasuk rumah Mukarim. Melihat kondisi itu Mukarim yang berprofesi sebagai nelayan tergerak untuk menyelamatkan.
Suatu ketika, saat mencari ikan di daerah Probolinggo ia melihat sebuah tanaman yang ada di pinggir pantai. Ia pun menanyakan tanaman itu ke warga setempat. Setelah tanya sana-sini, ia baru ngeh itu tanaman bakau yang bisa ditanam di pinggir pantai. Dari situ ia mulai mengumpulkan biji-biji bakau untuk dibawa pulang.
Sampai rumah, biji-biji itu ditanam. Setelah tumbuh agak bersa, bibit itu ditanam di pinggir pantai. Begitu seterusnya ia melakoni hingga tahun 1991. Tak ada nelayan lain yang mau diajak menanam itu. Tapi itu tak menyurutkan tekadnya. Ia terus menanam sendiri.
Lima tahun berlalu, jerih payahnya mulai terlihat. Bakau tumbuh berjejaring dan mampu menahan laju air pasang. Karena sudah ada bukti, Mukarim mencoba mengajak nelayan lagi. Lagi-lagi hanya cibiran yang diterima. “Saya dibilang gila,” ujarnya.
Cibiran itu tak digubris. Ia kembali menanam lagi. "Hingga 1999 atau selama 13 tahun itu saya bisa menanam 57 hektar,” ujarnya mengenang. “Itu dari tangan saya sendiri.”
Melihat kesuksesan yang dilakukan Mukarim, setelah 1999 sejumlah nelayan mulai menerima ajakannya untuk ikut menanam. Hasilnya, higga kini luas tanaman bakau itu sudah mencapai 183 hektar.
Usaha Mukarim menyelamatkan lingkungan itu membuahkan hasil. Pada 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Kalpataru kepada Mukarim. (FJR)