Namanya Fahmi Ali Mufti. Usianya baru 24 tahun. Nama Fahmi melambung berkat kreativitasnya.
Ini bermula saat ia lulus dari Fakultas Ekonono dan Bisnis Islam di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Selepas menempuh pendidikan S-1 itu, Fahmi pulang kampung ke desa kelahirannya Kendondong, Kebonsari, Madiun, Jawa Timur.
Niatnya pulang kampung ingin membantu keluarga besarnya membina pondok pesantren. Saat itu, ia berpikir ingin memberdayakan para santri. Ia pun memutar otak. Ia ingin membuat sesuatu yang bahannya bisa diambil dari produk lokal yang ada di daerahnya. Ia mengajak diskusi saudara dan teman-temannya.
Ia menemukan ide. Fahmi ingin membuat kerajinan bambu. Kebetulan pohon bambu tumbuh subur di daerahnya. Saya ingin membuat produk kerajinan dari bambu tapi waktu itu belum tahu mau dibikin apa," katanya seperti dilansir madiunpos.com.
Idenya kemudian jatuh pada sedotan bambu yang ramah lingkungan. Menurut dia, pembuatan sedotan dari bambu ini belum banyak pemainnya. Apalagi isu lingkungan juga sedang menjadi isu internasional.
Fahmi dan para santri langsung mencari bahan-bahan itu. Setelah dibuat, produk-produk itu dilempar ke pasar. Namun rupanya, sedotan bambu buatannya kurang bisa diterima pasar.
Fahmi tak putus asa. Ia kembali memutar otak dan berdiskusi dengan sejumlah rekannya. Setelah menceritakan pengalamannya membuat sedotan berbahan bambu itu, rekannya menyarankan agar Fahmi memilih bambu wuluh. Bambu wuluh ini biasanya digunakan untuk membuat alat musik seruling. Bambu jenis ini juga bisa ditemukan di lereng Gunung Wilis yang ada di Madiun.
Fahmi pun langsung memburu bahan-bahan itu untuk diolah menjadi sedotan. Setelah jadi, rupanya pasar lebih mau menerima. Ia juga menceritakan usahanya itu kepada saudaranya yang ada di Surabaya.
Mendengar cerita Fahmi, saudaranya meminta agar ia menyiapkan contoh produk buatannya itu. Saudaranya mencoba membantu memasarkan. Fahmi girang bukan kepalang.
"Setelah sampel produk saya kirimkan, mereka (pengekspor) datang langsung ke tempat saya untuk melihat proses produksi sedotan bambu," kata Fahmi seperti dinukil kompas.com.
Pengusaha ingin memastikan apakah produk Fahmi masuk kategori pasar ekspor atau tidak. Saat itu, ada 4.000 batang sedotan yang disiapkan. Pengusaha itu lalu memilah-milah. Dari 4.000 batang itu, setelah dipilih hanya lima batang yang dianggap layak. Fahmi dan tim kaget.
Pengusaha itu meminta agar Fahmi menyempurnakan produknya. Mulai dari ukuran, kehalusan, hingga teksturnya.
Fahmi dan timnya lalu mempelajari lima batang bambu yang dianggap layak tadi. Sang pengusaha kemudian meminta Fahmi menyediakan 1.000 batang bambu sedotan dalam waktu dua minggu. Rencananya, sedotan itu bakal dikirim ke Korea Selatan.
Fahmi kaget sekaligus girang. Tapi dia tetap menyanggupi. Fahmi mengerahkan 15 hingga 20 santri pondok pesantren untuk memenuhi permintaan kilat itu. Beruntung, hanya dalam waktu kurang dua minggu permintaan itu bisa dipenuhi.
Sang pengusaha cocok dengan buatan Fahmi itu. Dari 1.000 sedotan bambu yang dikirim itu tak satupun yang ditolak. Fahmi dan timnya semangat. Apalagi setelah itu pesanan kembali datang.
Fahmi bercerita, satu paket berisi tiga sedotan dihargai Rp 1.000. Sementara di Korea, satu sedotan dijual seharga Rp 13.000. Harga bertambah mahal jika sedotan itu diberi tulisan kaligrafi.
Untuk bambu berukir ini biasanya dijual seharga Rp 20 ribu untuk satu paket berisi tiga sedotan. Sementara untuk grosiran, ia menjual Rp 1.500 perbatang. Hanya, untuk grosiran ini minimal pembeliannya 2.000 batang. "Kalau ada yang mau beli satu, kami jual Rp 5.000," katanya.
Tembus di pasar Korea tak membuat Fahmi berpuas diri. Ia mencoba menjajaki pasar negara lain. Rupanya negara-negara lain antusias. "Desember 2019 kami sudah ekspor ke Autralia, Jepang, dan Prancis," ujarnya.
Kini dalam sebulan, Fahmi bisa dua kali mengekspor. Jumlahnya antara 10 ribu hingga 15 ribu batang sedotan sekali kirim. Di negara-negara itu sebatang sedotan dijual seharga US$ 1 perbatang.
Itu di luar negeri. Di dalam negeri, produk sedotan yang diberi mereka "Sapu Jagad" ini juga banyak dikirim ke Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, dan Jakarta.
Untuk memproduksi sedotan ini, selain dibantu santri, ia juga memberdayakan masyarakat sekitar. Dalam sebulan Fahmi mengaku bisa meraup keuntungan Rp 90 juta. (FJR)