Namanya Holisa Handayani. Orang-orang memanggilnya Elisa. Tinggal di Dusun Sumberlesung Onjur, Desa Sumberlesung, Kecamatan Ledokombo. Sebuah daerah di kaki Gunung Raung yang ada di Kabupaten Jember. Jaraknya kurang lebih 35 kilometer dari ibu kota Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Elisa memang anak asli kampung Sumberlesung. Perempuan berkerudung ini hanyalah tamatan Sekolah Dasar. Seperti kebanyakan gadis desa, setelah beranjak dewasa ia memilih kawin.
Beberapa tahun setelah menikah, perempuan kelahiran 12 Agustus 1975 ini mencoba-coba ikut menjadi tenaga kerja migran pada 1995. Ingin mengubah nasib, katanya. Malaysia menjadi pilihannya.
Nasib buruk menimpanya. Setahun bekerja menjadi asisten rumah tangga di negeri jiran, sang majikan tak menggajinya. Ia melarikan diri dari rumah sang majikan. Namun ia bingun hendak melarikan diri ke mana karena di negeri itu tak ada sanak saudara.
Seperti ditulis, jawapos.com, dalam pelarian itu ada seorang sopir taksi yang membantunya. Elisa dibantu untuk masuk menjadi pelayan restoran. Saat mendatangi restoran, sang pemilik restoran menolaknya karena Elisa seorang pelarian.
Tak ada pilihan lain. Ia memutuskan untuk menyerahkan diri ke polisi. Polisi menahannya. Di tahanan, polisi memasukkan ke sel bareng narapida narkoba. Elisa hanya bisa pasrah.
Beberapa saat mendekam di sel polisi, akhirnya ia dipindahkan ke kantor imigrasi. Nasib baik menghampirinya. "Saya ditawari bekerja di pabrik garmen di Perlis Malaysia, ujarnya.
Tak pikir panjang, ia langsung menyambar tawaran itu. Ia mencoba menekuni pekerjaan barunya ini. Karena ketekunannya, perusahaan beberapa kali meminta untuk mengikuti kegiatan mewakili perusahaan. Kepercayaan dirinya muncul.
Tekadnya ingin maju dan berkembang menguat. Di sela-sela kesibukannya bekerja ia mencoba-coba membuat desain manik-manik. Ia menyisihkan gajinya untuk mengikuti kursus Bahasa Inggris. Sebagian lagi ia tabung untuk modal kelak jika pulang kampung. "Saya sempat tidak kirim uang ke kampung selama dua bulan," katanya.
Merasa sudah memiliki modal yang cukup, pada 2002, Elisa memutuskan untuk pulang kampung ke desanya. Saat pulang kampung, ia harus menerima kenyataan pahit. Suaminya sudah menikah lagi.
Shock, tentu. Namun ia tak mau berlarut pada kondisi itu. Tanoker.org menulis melihat kenyataan itu, Elisa pergi ke Bali. Berbekal modal yang tak seberapa dan ketrampilan yang dimiliki, Elisa mencoba membuka usaha. Pilihannya jatuh pada kerajinan manik-manik.
Kerajinannya itu berupa gelang, kalung, dan anting. Hasil kerajinan itu ia pajang di ruko yang disewanya di Bali. Banyak turis yang tertarik dengan kerajinan yang diberi label Elisa Rainbow itu. Dalam perjalanannya, pesanan mulai berdatangan dari manca negara. Tak hanya dari Asia tapi juga Eropa, dan Amerika. Elisa makin semangat.
Saat itulah ia teringat akan kampungnya. Ia memutuskan untuk tinggal di kampung. Pesanan itu ia kerjakan di kampungnya dengan mengajak tetangga-tetangganya. Pada 2016 hingga 2018, ia memiliki 600 pekerja. Jumlah pekerja ini bisa naik, bisa juga turun sesuai dengan pesanan yang datang. Kini, ia bisa melibatkan 300 warga yang ada di Desa Sumberlesung.
Di kampungnya, ia berkenalan dengan komunitas belajar Tanoker. Komunitas belajar dan pemberdayaan buruh migran ini turut membantu memasarkan produk-produk Elisa Rainbow. "Jika Tanoker kedatangan tamu dari luar negeri kami diajak untuk memamerkan kerajinan-kerajinan yang kami buat," katanya.
Manik-manik tak hanya menjadi simbol kebangkitan Elisa, tapi juga menjadi kebanggaan desa setempat. (FWH)