Di tanah lapang puluhan anak perempuan dan laki-laki berkumpul. Mereka terlihat ceria. Lagu gundul-gundul pacul terdengar mengalun. Sambil mengikuti irama lagu, sebagian dari anak-anak itu terlihat asyik bermain egrang.

Sambil bermain egrang, mereka kompak menari mengikuti irama lagu. Beberapa anak lainnya terlihat memegang tenong. Sebagain anak yang lain terlihat menonton.

Sesaat kemudian musik berganti. Pemain egrang pun berganti. Kali ini musik yang diputar bergenre remix. Di atas egrang mereka menari dengan gerakan-gerakan ekstrim. Tak ada yang jatuh. Keseimbangan mereka terjaga.

Suasana ceria dan menyenangkan itu bisa kita jumpai di komunitas Tanoker. Sebuah komunitas belajar yang terletak di bawah kaki Gunung Raung. Tepatnya di Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember yang jaraknya kurang lebih 35 kilometer dari ibu kota kabupaten.

Letak geografisnya yang berada di bawah kaki Gunung Raung membuat pemandangan alam di sekitarnya terlihat begitu indah. Pepohonan masih tumbuh rimbun. Air sungainya masih jernih.

Di desa ini, pengunjung selain bisa menikmati permainan tradisional egrang, juga bisa berenang di kolam renang Raspati, camping, out bond. Tak hanya itu, pengunjung juga bisa menikmati kuliner. Ketika pulang, pengunjung juga bisa membeli kerajinan manik-manik Ledokombo.

Ada yang unik. Setiap hari Minggu di setiap akhir bulan, desa ini juga menggelar pasar. Pasar ini digelar sebulan sekali. Namanya Pasar Lumpur. Pasar ini menyajikan beberapa kegiatan seperti bazar kuliner tradisional, dan pernak pernik unik khas Ledokombo. Ada juga permainan tradisonal egrang, Polo Lumpur, bekiak dan permainan tradisional lainnya.

Farha Cici, pendiri Tanoker, bercerita muasal pendirian komunitas ini. Suatu ketika, saat ia pergi ke Ledokombo, ia bertemu dengan seorang anak yang masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar. Anak itu mengasuh tiga orang adiknya. Bapak dan ibu si anak pergi menjadi pekerja migran di Arab Saudi. "Dia yatim piatu sosial. Secara biologis punya orang tua tapi mereka tak hidup bersama orang tuanya," kata Cici.

Biasanya mereka menitipkan anak-anaknya yang masih kecil ke kakek-neneknya. Tapi ada pula yang menitipkan ke tetangganya. Seperti yang dialami Krisnaini. Ia tak tahu ke mana orang tuanya pergi. Ia mengaku saat masih kecil, orang tua menitipkan ke tetangganya. "Saya tinggal sama tetangga," katanya.

Di Desa Ledokombo, anak-anak yang berstatus yatim piatu sosial cukup banyak. Di daerah itu, kebanyakan orang dewasa pergi merantau menjadi tenaga kerja migran. Entah ibu, bapak, atau keduanya.

Dari keprihatinan itu, Cici bersama suaminya Suporahardjo, mendirikan komunitas belajar Tanoker pada 2009. Tanoker berasal dari bahasa Madura yang berarti kepompong. "Melalui Tanoker ini kami berharap anak-anak bisa belajar untuk meraih cita-citanya," Suporahardjo menambahkan.

Sepulang sekolah, biasanya anak-anak bermain atau berlatih bermain egrang atau permainan lainnya. Jika hari libur, mereka biasanya diajari matematika, bahasa Inggris, dan fotografi.

Melalui egrang, anak-anak diajari akan nilai-nilai kehidupan. Dari egrang, kata Cici, kita bisa belajar tentang nilai budi luhur. Egrang juga mengajarkan bahwa hidup ini penuh perjuangan. Karena nilai-nilainya itu, setiap tahun Tanoker menyelenggarakan festival egrang. "Egrang adalah keseimbangan," kata Cici.

Jika selama ini egrang banyak diadakan untuk lomba lari, di Tanoker, permainan egrang jadikan untuk seni tari. Anak-anak desa itu cukup piawai dalam membawakan seni tari egrang. Karena kepiawaiannya itu, mereka kerap diundang untuk tampil di berbagai acara.

Tak hanya di Jember tapi sudah melintasi benua. "Mereka (anak-anak) bisa mengubah desanya, menjadi desa yang mendunia," ujar Cici. (FWH)