Dalam bahasa Jawa, sesuatu yang bergerak melambung ke atas disebut “mumbul”. Misalnya, bola yang dilempar tinggi, atau layang-layang yang mulai terbang ditiup angin. Namun, bukan hanya bola, layang-layang, atau pesawat udara yang bisa “mumbul”. Air pun bisa “mumbul”, bergerak naik dari kedalaman bumi lalu keluar ke permukaan tanah. Mata air yang menyemburkan air sehingga “mumbul” dari dalam tanah itu disebut “umbul”.
Karena kondisi alam yang masih terjaga, banyak desa di Indonesia yang memiliki potensi alam berupa “umbul” atau mata air. Keberadaannya tentu menjadi berkah bagi warga desa. Ia dapat dimanfaatkan sebagai sumber air minum, air untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, maupun air untuk kegiatan pertanian dan peternakan.
Tak berhenti pada kebutuhan dasar itu, banyak pula desa yang kemudian melangkah lebih jauh, berhasil mengolah anugerah alam itu menjadi destinasi wisata yang menarik. Jasa wisata ini selanjutnya menjadi sumber penghasilan yang signifikan bagi Pendapatan Asli Desa (PADes). Salah satu desa yang berhasil memanfaatkan mata air menjadi objek tujuan wisata dan sumber PADes adalah Desa Pluneng, Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten.
Dua umbul
Desa Pluneng, yang lokasi geografisnya mendekati kaki Gunung Merapi, memiliki dua umbul, yakni Umbul Tirtomulyono (biasa disebut Umbul Pluneng) dan Umbul Tirtomulyani. Lokasi dua umbul ini berdekatan. Jarak keduanya hanya sekitar 100 meter, dipisahkan oleh jalan desa.
Karena airnya melimpah dan membentuk kolam, sejak tahun 1970-an dua umbul ini mulai dipasangi pembatas yang memisahkannya dengan lahan sekitarnya. Lambat-laun, dua umbul ini lalu menjadi objek tujuan wisata. Umbul Pluneng atau Tirtomulyono dikenal sebagai tempat pemandian atau kolam renang, sedangkan Umbul Tirtomulyani dikenal sebagai tempat berendam untuk penyembuhan penyakit. Airnya diyakini berkhasiat bagi kesehatan.
Sayangnya, sudah sejak 20-an tahun silam dua objek wisata itu sama sekali tidak dikelola oleh desa, melainkan oleh pihak ketiga melalui sistem lelang. Pemerintah desa sekadar mendapatkan bagian dari keuntungan, tetapi tidak terlibat dalam pengelolaan maupun pengembangannya.
Ceritanya mulai berubah sejak 2015. Pada tahun itu pemerintah Desa Pluneng mendirikan badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang diberi nama Tirta Sejahtera. Aset desa yang penting itu, yakni dua umbul, mulai diupayakan untuk diambil alih dan dikelola BUMDes. Proses pengambil-alihan berjalan lumayan alot. Dua umbul tak bisa langsung berpindah tangan. Baru dua tahun sejak BUMDes berdiri, pada pertengahan 2017, dua umbul itu berhasil kembali sepenuhnya ke tangan pemerintah desa.
Begitu dua aset desa itu berhasil diambil alih, BUMDes Tirta Sejahtera segera melakukan persiapan untuk mengelolanya. Sistem manajemen dibenahi, termasuk manajemen keuangan. Dilakukan pula perekrutan karyawan baru. Manajemen baru ini mulai aktif bekerja sejak 1 Januari 2018.
PADes naik berlipat
Sejak dikelola BUMDes, pendapatan yang diperoleh dari dua umbul itu jadi berlipat ganda. Saat masih dikelola pihak ketiga, pemerintah Desa Pluneng mendapatkan bagian sebesar Rp 102 juta dari total laba bersih setahun. Kini, setelah dikelola sendiri, dari operasional tahun 2018, dua umbul itu mampu menyetorkan dana sebesar Rp 344,9 juta ke pundi-pundi desa. Lebih dari tiga kali lipat dibandingkan perolehan sebelumnya.
Rinciannya, total omzet BUMDes Tirta Sejahtera sepanjang 2018, yang terutama diperoleh dari Umbul Pluneng dan Tirtomulyani, sebesar Rp 1,15 miliar. Setelah dikurangi biaya operasional dan gaji karyawan, laba bersihnya sekitar Rp 490 juta. Sebesar 70 persen dari laba bersih itu, atau Rp 344,9 juta, masuk sebagai Pendapatan Asli Desa.
Tak hanya penghasilan yang melonjak, jumlah karyawan dan kesejahteraan mereka pun meningkat. Hanya dalam jangka 10 bulan sejak dua umbul itu diambil alih desa, BUMDes Tirta Sejahtera sudah menyerap sebanyak 51 karyawan. Jumlah itu terdiri dari 24 karyawan tetap, 14 karyawan kemitraan, 5 tenaga harian lepas (THL), 5 pengurus, dan 3 pengawas. Gaji karyawan tetap rata-rata Rp 1,5 juta per bulan. Ini kira-kira setara dengan 95 persen UMK Klaten karena jam kerjanya di bawah standar, yakni hanya 6,5 jam per hari. Sementara, upah THL berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 75.000 per hari.
Menambah fasilitas wisata
Sukses mengelola Umbul Pluneng dan Tirtomulyani, BUMDes Tirta Sejahtera tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Fasilitas wisata Umbul Pluneng pun segera ditingkatkan, yakni dengan menambahkan wahana baru berupa waterpark. Kolam utama Umbul Pluneng, yang luasnya 50 x 12 meter dengan kedalaman 2,5 meter, akan mulai dikhususkan untuk pengunjung dewasa, sedangkan waterpark ditujukan bagi pengunjung anak-anak.
Waterpark ini berupa kolam renang yang dilengkapi fasilitas luncur atau “prosotan” dan ember tumpah, serta kolam arus atau sungai buatan berkelok-kelok dan dangkal. Anak-anak dapat meluncur bersama arus sungai buatan itu dengan pelampung. Air untuk waterpark diambil dari sumber yang sama dengan Umbul Pluneng sehingga tetap sama kebersihan maupun kesegarannya.
Memanfaatkan tanah kas desa yang tidak produktif, letak wahana baru ini di sebelah selatan Umbul Pluneng. Selain wahana air, waterpark ini tentu juga dilengkapi dengan kamar ganti, area parkir, dan loket. Dikerjakan sejak 2019, waterpark ini diresmikan oleh Bupati Klaten pada 25 Februari 2020 lalu. Pembangunan waterpark mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah Kabupaten Klaten sebesar Rp 2 miliar.
Rencananya, kawasan ini masih akan dikembangkan lagi dengan pembangunan ruko dan kios kuliner bagi para pengunjung. Fasilitas ini tentu akan meningkatkan pendapatan BUMDes dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Tiket masuk untuk menikmati wisata air di Umbul Pluneng termasuk sangat terjangkau, meskipun sudah dilengkapi dengan wahana baru. Harga tiket hanya Rp 5.000 per pengunjung. Meski banderol tiketnya murah, sejak dibuka awal tahun 2020 ini pengelola telah membukukan pendapatan rata-rata Rp 18 juta per hari, saat liburan. Target omzetnya per bulan Rp 180 juta. “Untuk target, sebagai motivasi, omzet kita per bulan ke depannya Rp 180 juta. Optimis tercapai,” ujar Agus Hariyanto, Direktur BUMDes Tirta Sejahtera, sebagaimana dikutip krjogja.com.
Dampak masa pandemi
Tak lama sejak wahana baru itu mulai beroperasi, sayangnya, Indonesia dan bahkan seluruh dunia dilanda pandemi Covid-19. Pariwisata adalah salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi ini karena diberlakukannya pembatasan sosial demi mencegah penyebaran penyakit. Berbagai destinasi wisata, mau tak mau, harus ditutup sementara, tak terkecuali Umbul Tirtomulyono dan Tirtomulyani.
Penutupan Umbul Pluneng dan Tirtomulyani mengakibatkan BUMDes Tirta Sejahtera kehilangan sebagian besar pemasukan. Para karyawan BUMDes terpaksa dirumahkan.
“Sebelum adanya virus Corona, pendapatan BUMDes Tirta Sejahtera Pluneng bisa mencapai Rp 140 juta per bulan. Tetapi setelah merebaknya virus Corona dan ditutupnya Umbul Pluneng dan tempat pemancingan, praktis tidak ada lagi pemasukan ke BUMDes. Akibatnya, karyawan BUMDes terpaksa dirumahkan,” papar Kepala Desa Pluneng, Wahyudi, kepada wartakita.org. BUMDes tinggal mempekerjakan dua pekerja harian setiap hari untuk merawat dan mengamankan Umbul Pluneng supaya tidak kotor dan kumuh. (SJ)