Bahasa Indonesia mengenal tanaman ini dengan sebutan "jelai" atau "jali". Di Jawa dikenal dengan nama "jagung jali". Sedangkan di tatar Sunda namanya "hanjeli". Nama ilmiahnya, Coix lacryma-jobi.
Wujud tanaman maupun biji-bijian yang dihasilkan mirip jagung. Tidak terlalu populer di kalangan masyarakat Indonesia masa kini, meskipun sejatinya tanaman ini sudah dikenal sejak lama. Syair lagu tradisional Betawi mengisyaratkan itu. "Ini dia, si jali-jali..."
Meski kalah populer dibandingkan jagung, apalagi dibandingkan padi, bukan berarti jali tak bermanfaat sebagai tanaman pangan. Dalam hal makanan pokok, masyarakat Indonesia masa kini terlalu terfokus pada jenis-jenis tanaman pangan tertentu yang sedikit ragamnya, terutama padi.
Mayoritas mengonsumsi nasi beras. Pola konsumsinya kurang terdiversifikasi sehingga kurang menguntungkan bagi gagasan tentang ketahanan pangan. Padahal, bumi Indonesia sangat kaya dengan ragam tetumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan pokok, alternatif beras. Salah satunya adalah jali.
Adalah Asep Hidayat Mustopa yang berhasil memopulerkan kembali tanaman pangan yang makin terlupakan ini. Pria 32 tahun ini bahkan berhasil menjadikan jali sebagai daya tarik utama desa wisata yang ia kembangkan bersama warga.
Tadinya, Asep adalah pekerja migran di Arab Saudi. Pulang kampung tahun 2010, ia tak ingin kembali bekerja di luar negeri, tak pula berminat bekerja dan bermukim di kota. Ia memilih tinggal di kampungnya, Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi. Di desanya itu, Asep mencoba membudidayakan jali atau hanjeli.
Bagi Asep, hanjeli adalah sumber pangan alternatif. Hanjeli memiliki kandungan setara beras. Bulir hanjeli mengandung karbohidrat (76,4%), protein (14,1%), lemak nabati (7,9%), dan kalsium (54 mg per 100 gram). Kandungan proteinnya ini lebih tinggi daripada beras. Ketahanan tanamannya juga bagus, tak banyak memerlukan pengairan. Tahan di musim kemarau.
Usaha budidaya hanjeli ternyata menghasilkan keuntungan yang lumayan. Namun, hingga sekian lama, hanya Asep sendirian yang menjalankan usaha itu di desanya. Bagi warga desa lainnya, hanjeli masih dipandang sebagai tanaman yang tidak penting. Paling-paling hanya ditanam sebagai tanaman pagar, atau dibiarkan tumbuh liar di lahan kosong tanpa perawatan.
Asep lantas berusaha menggerakkan warga desa agar bersedia menanam hanjeli. Ia yang akan membeli hasil panennya, Rp 4 ribu hingga Rp 5 ribu per kilogram.
Harga yang ia tawarkan itu lebih bagus ketimbang harga gabah padi yang paling tinggi harganya Rp 3,5 ribu per kilogram. Padahal, masa tanam hanjeli kurang-lebih sama dengan padi di lahan tadah hujan alias lahan non-irigasi. Warga pun mulai tertarik karena hanjeli ternyata punya nilai ekonomi.
Lambat laun, makin banyak warga yang menanam hanjeli, dengan luasan yang makin meningkat pula. Banyak warga yang menanam hanjeli hingga 50 persen dari luasan lahan miliknya, mendampingi padi.
Asep membeli hasil panen warga. Bulir hanjeli itu sebagian ia pasarkan dalam kemasan ke berbagai daerah sehingga harga jualnya jadi berlipat. Sebagian lagi ia jadikan makanan olahan. Asep juga memanfaatkan pemasaran secara daring.
Hanjeli tak hanya dapat diolah menyerupai nasi sebagai makanan pokok sehari-hari, atau sebagai campuran nasi. Bulir hanjeli juga dapat dikembangkan menjadi berbagai jenis penganan. Bisa difermentasi menjadi tapai, dijadikan rengginang dan keripik, tepungnya menjadi bubur hanjeli dan dodol, dijadikan tepung sereal cepat saji seperti oatmeal, dan bahkan sudah lama dimanfaatkan di Tiongkok sebagai tanaman obat.
Karena bulir keringnya yang keras, hanjeli juga sudah lama dikenal sebagai bahan baku kerajinan manik-manik, dijadikan kalung, gelang, tasbih, dsb. Mengingat ragam manfaatnya yang amat luas itu, tak salah jika Asep memilih membudidayakannya.
Tak hanya menggerakkan warga untuk menanam hanjeli, Asep juga memperkenalkan program yang ia sebut "Pirus", singkatan dari "pipir imah diurus". Maksudnya, lahan-lahan menganggur di sekitar rumah perlu dimanfaatkan untuk semakin meningkatkan ketahanan pangan warga desa, sehingga melengkapi budidaya hanjeli sebagai alternatif beras. Gerakan "Pirus" ini mendorong warga untuk menanam berbagai macam sayur-mayur, dengan metode polybag, hidroponik, dsb.
"Pirus" lantas dikembangkan lagi menjadi program "Budiksamber" (budidaya ikan dan sayuran dalam ember). Dengan begitu, konsep ketahanan pangan untuk warga Waluran Mandiri menjadi semakin kokoh. Ada bahan makanan pokok dan berbagai produk turunannya, yakni budidaya hanjeli. Ada sayur-mayur, dan ada ikan.
Gerakan ketahanan pangan yang dipelopori Asep Hidayat Mustopa ini berhasil mengubah kondisi desanya menjadi lebih sejahtera, ekonomi warga lebih mandiri, terutama dalam hal ketahanan pangan, dan tentu juga lebih hijau. Ladang-ladang ditumbuhi hanjeli, pekarangan-pekarangan dan lahan-lahan sempit di sekitar rumah ditumbuhi sayur-mayur dan dimanfaatkan untuk budidaya ikan melalui teknologi tepat guna.
Sebagai pencinta wisata alam, Asep sebenarnya memiliki visi jauh ke depan dengan gerakan bersama warga desa yang ia pelopori itu, yakni Integrated Tourism Farming (ITF), agro-wisata berbasis komunitas, konsep wisata yang terintegrasi dengan pertanian, edukasi, dan pemberdayaan warga. Sejak semula tentu jelas di mata Asep bahwa bentang alam di sekitarnya yang elok memang punya potensi sebagai tujuan wisata
Berkembang menjadi desa wisata
Tahun 2018, UNESCO memasukkan kawasan Ciletuh dan Pelabuhan Ratu sebagai bagian dari UNESCO Global Geoparks. Luasnya 128.000 hektare, meliputi 74 desa dan 8 kecamatan. Apa itu Global Geoparks?
UNESCO Global Geoparks adalah suatu area geografis di mana suatu bentang geologi dikelola dengan konsep holistik perlindungan, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan.
Situs ini harus memanfaatkan warisan geologisnya dalam kaitannya dengan semua aspek lain warisan alam dan budaya. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah-masalah utama yang dihadapi masyarakat masa kini, seperti pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, mengurangi dampak perubahan iklim, dan mengurangi risiko bencana alam.
Ringkasnya, Global Geoparks adalah suatu zona geologi yang harus dilindungi dan dipelihara dengan melestarikan warisan kekayaan alam dan budaya di area itu. Pemeliharaan ini bertujuan edukatif, yakni menyadarkan masyarakat mengenai berbagai problem ekologi dan bagaimana membangun peradaban yang berkelanjutan.
Hingga saat ini, terdapat 147 zona geologi di 41 negara yang dimasukkan dalam daftar UNESCO Global Geoparks. Di Indonesia, ada 4 zona yang masuk dalam daftar, yakni kawasan Batur di Bali, kawasan Gunung Sewu di sepanjang selatan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY, kawasan Rinjani di Lombok, dan kawasan Ciletuh-Pelabuhan Ratu di Jawa Barat bagian selatan.
Desa Waluran Mandiri, tempat Asep merealisasikan gagasannya seputar ketahanan pangan bersama warga, termasuk dalam zona Ciletuh Global Geoparks ini. Bukan kebetulan pula, visi Asep dalam mengembangkan potensi desanya ini sesuai dengan visi UNESCO dalam hal pelestarian alam berbasis komunitas, warisan alam, dan budaya lokal. Klop! Berbekal potensi alam, serta potensi sosial dan budaya, Desa Waluran Mandiri cocok dikembangakan menjadi tujuan wisata yang edukatif.
Saat ini, salah satu area di Desa Waluran Mandiri sudah dikembangkan menjadi destinasi wisata, yang dikenal dengan nama Desa Wisata Hanjeli. Di desa wisata ini pengunjung bisa menikmati paket hidangan nasi liwet hanjeli dan berbagai produk pangan berbahan hanjeli, seperti bubur, dodol, atau tapai hanjeli.
Pengunjung juga bisa mempelajari budidaya hanjeli dan cara-cara pengolahannya, memetik sayur-mayur, menyantap olahan ikan, menyegarkan pikiran dengan menikmati bentang alam pedusunan yang termasuk dalam zona Global Geoparks, dll. Desa Wisata Hanjeli bisa jadi adalah satu-satunya desa wisata di Indonesia yang menonjolkan konsep ketahanan pangan, bukan sekadar destinasi wisata kuliner biasa.
Karena dinilai berjasa memberdayakan warga desa dalam hal ketahanan pangan, memperkenalkan bahan pangan alternatif, dan tentunya juga meningkatkan kesejahteraan warga melalui pengembangan desa wisata, Asep Hidayat Mustopa menerima penghargaan sebagai Juara 1 Pelopor Ketahanan Pangan dari Provinsi Jawa Barat.
Penghargaan ini ia terima bersamaan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia 2019. Asep juga menerima penghargaan Sukabumi Award 2019 sebagai pelaku usaha Industri Kecil dan Menengah berprestasi. (SJ)