Pernah dengan nama Munggu? Munggu adalah desa yang berada di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Jaraknya kurang lebih 10 km dari ibu kota Kabupaten Badung.

Muasal Desa Munggu sangat erat kaitannya dengan keberadaan kerajaan di Bali. Alkisah, saat Kerajaan Bedahulu dipimpin Sri Gajah Waktra, kerajaan ini diserbu dan ditaklukkan pasukan Majapahit pada 1265 tahun saka.

Setelah ditaklukkan, kepemimpinan kerajaan kosong karena Kerajaan Majapahit belum menentukan pengganti Sri Gajah Waktra. Huru-hara terjadi di mana-mana.

Untuk mengatasi masalah itu, raja majapahit meminta pemuka masyarakat menentukan rajanya. Mereka akhirnya menobatkan I Gusti Agung Pasek Gelgel sebagai Raja Bali dengan gelar Kiai Gusti Agung Pasek Gelgel.

Namun kepemimpinan I Gusti Agung Pasek Gelgel tak lama. Pada 1272 tahun saka, raja majapahit menobatkan Sri Kresna Kepakisan sebagai adhipati Bali yang berkedudukan di Samprangan. Penobatan Sri Kresna ini didukung Para Arya dari Kediri dan Majapahit.

Penobatan Sri Kresna ini sekaligus mengakhiri kepemimpinan Kiai Gusti Agung Pasek Gelgel. Sayangnya, kepemimpian Sri Kresna Kepakisan kurang disukai masyarakat Bali mula dan Bali aga. Mereka menganggap kepemimpinan Kresna tidak sesuai dengan tata cara masyarakat Bali. Huru-hara kembali terjadi.

Peristiwa ini sampai ke telinga raja Majapahit. Sang raja mengirim Gajah Mada datang ke Bali. Ia meminta Gajah Mada menasihati Kresna agar gaya kepemimpinannya menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Bali. Raja Majapahit juga meminta agar menjadikan pemuka dan masyarakat sebagai saudara. Nasihat itu dipatuhi. Kondisi pun kembali aman terkendali.

Tak lama setelah itu, kerajaan Bali berganti kepemimpinan. Bali dipimpin Raja Sri Smara Kepakisan (tahun saka 1302–1382). Di bawah Raja Sri Smara, kehidupan masyarakat mulai tertata. Masyarakat hidup makmur, aman, tentram, dan damai.

Mengutip sejarah Desa Munggu, kondisi ini juga terjadi saat Bali dipimpin Raja Waturenggong (1382–1472 tahun saka). Saat Raja Waturenggong memimpin kehidupan masyarakat semakin berkembang. Mereka mulai berpencar, mencari lokasi hunian baru.

Ada sekitar 20 orang yang masih satu keluarga pindah. Mereka mencari lokasi baru.

Dari Denpasar mereka menuju ke arah barat hingga tiba di hutan bernama Beraban. Di sini mereka kemudian membangun pemukiman. Mereka dipimpin oleh Ki Pasek Gelgel Sumerta. Tempat kedatangan mereka ini sekarang dikenal dengan nama Datengan (artinya tiba). Datengan ini berada di Desa Tumbak Bayuh, Kecamatan Mengwi.

Hutan Beraban ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Mengwi dengan rajanya bernama I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorda Agung Bhima Cakti atau juga terkenal dengan sebutan Cokorda Agung Blambangan. Ia punya seorang permaisuri bernama Ni Gusti Luh Alangkajeng. Pasangan ini dianugerahi tiga orang anak. Ni Gusti ayu Putu Alangkajeng, I Gusti Agung Made Alangkajeng, dan I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng.

Karena alas Beraban berada di wilayah kekuasan kerajaan Mengwi, Ki Pasek Gelgel Sumerta melapor dan meminta perlindungan ke Kerajaan Mengwi. Raja Mengwi berkenan dan diutuslah putranya, I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng bersama 500 orang prajurit sebagai perwakilan dan bertahta di sana.

Di sini mereka membangun sebuah istana. Istana ini diberi nama Kerajaan Munggu dengan rajanya I Gusti Agung Made Alangkajeng atau dikenal dengan nama I Gusti Agung Nyoman Munggu. Munggu berasal dari kata amunggu yang berarti menempati, tempat tinggal.

Dalam perjalanannya, daerah ini makin berkembang. Masyarakat berdatangan dan menetap di daerah ini. Daerah ini pun makin berkembang hingga sekarang.