Giring, sebuah desa yang ada di Kecamatan Paliyan, Gunungkidul, Yogyakarta. Letaknya kurang lebih 36 km dari Yogya atau 10 km dari ibu kota Kabupaten Gunungkidul.
Desa ini lahir saat Mataram dipimpin Sultan Agung. Mengutip website Desa Giring, saat itu Sultan Agung membagi Mataram menjadi beberapa daerah. Masing-masing daerah diketuai seorang “rangga” atau penguasa daerah. Salah satu adalah daerah Blimbing. Daerah Blimbing dipimpin oleh Rangga Blimbing.
Sudah menjadi tradisi di Mataram bahwa pada saat-saat tertentu secara rutin mengadakan “pisowanan pasok bulu bekti”, atau persembahan semacam upeti kepada raja sebagai tanda takluk.
Saat acara persembahan digelar semua rangga yang ada di wilayah Mataram wajib hadir. Jika berhalangan, harus memberi kabar. Jika ketidakhadiran tanpa kabar, pihak keraton akan mengirimkan utusan untuk menyelidiki, apakah rangga itu mulai membangkang atau memberontak.
Rangga Blimbing adalah seorang rangga yang setia terhadap Gusti Sultan Agung. Ia tidak pernah absen mendatangi pisowanan. Bahkan tidak jarang ia membawa anak laki-lakinya yang bernama Jaya Ketok ke pisowanan.
Jaya Ketok adalah seorang pemuda yang berperawakan gagah dan berwajah tampan, cerdas. Tingkah lakunya juga menarik. Setiap kali ikut ayahnya, Jaya Ketok selalu bertemu dengan Gusti Rara Pembayun, salah seorang puteri Gusti Sultan Agung. Puteri ini parasnya sangat cantik.
Karena kerap bertemu, benih-benih cinta keduanya mulai bersemi. Sejak saat itu Jaya Ketok sering bertemu Gusti Rara Pembayun secara diam-diam.
Karena kerap bertemu sembunyi-sembunyi, hubungan mereka diketahui oleh seorang abdi. Abdi ini kemudian mengadu kepada Gusti Sultan Agung. Sultan Agung terkejut mendengar pengaduan itu.
Sultan Agung tak setuju hubungan kedua orang ini berlanjut. Namun Sultan Agung tahu puterinya sangat mencintai Jaya. Agar tak melukai puterinya, Sultan memanggil Rangga Blimbing, Jaya, dan puterinya.
Kepada ketiganya, Sultan menasihati agar masing-masing mengetahui kedudukannya. Kepada Rangga Blimbing, Sultan Agung berpesan agar memberi pengertian kepada anaknya. Rangga Blimbing bisa menerima nasihat Sultan Agung dengan hati lapang.
Namun rupanya tidak bagi Jaya Ketok dan Gusti Rara Pembayuan. Kedua orang yang sedang mabuk asmara ini, tetap mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi.
Lagi-lagi pertemuan itu diketahui seorang abdi dalem. Ia pun kembali wadul kepada Sultan Agung. Mendengar pengaduan ini Sultan Agung murka. Sultan Agung menganggap Rangga Blimbing tidak mau menyadarkan anaknya. Sultan pun mengutus prajuritnya untuk membunuh Rangga Blimbing.
Rangga Blimbing mendengar rencana Sultan itu. Tak mau daerahnya diserang, Rangga Blimbing menyiapkan pasukan. Benar, saat prajurit Mataram datang, mereka terlibat perang.
Kuatnya pertahanan Blimbing membuat pasukan Mataram kewalahan. Pasukan Blimbing berhasil memukul mundur prajurit Mataram. Melihat prajuritnya kalah, Sultan terpukul.
Sultan kemudian memutuskan untuk kembali menyerang Rangga Blimbing. Kali ini, Sultan disebut meminta bantuan pasukan Belanda yang kala itu memang sudah ada di Yogyakarta.
Serbuan pasukan kraton dan Belanda ini membuat pasukan Rangga Blimbing terdesak. Pasukan ini menangkap Jaya Ketok. Begitu tertangkap, pasukan ini juga membunuh Jaya Ketok di sebuah telaga yang terletak dekat Desa Blimbing.
Tenangkah Sultan? Ternyata tidak. Belanda yang merasa ikut berjasa menangkap dan membunuh Jaya Ketok menunut jasa. Belanda meminta Sultan menyerahkan Gusti Rara Pembayun kepada salah satu perwira Belanda untuk dinikahi.
Sultan menurut, dengan syarat Gusti Rara Pembayun tidak menolak. Saat ditawari ternyata Gusti Rara menolak keinginan Belanda itu.
Ditolak Rara Pembanyun, sang perwira murka. Ia menuduh Sultan Agung telah mempengaruhi puterinya agar menolak lamarannya. Dituduh begitu Sultan marah besar. Bagi Sultan tuduhan itu sebagai hinaan. Sultan lalu memutuskan menentang Belanda.
Perangpun terjadi antara Mataram dan Belanda. Belanda berhasil mengalahkan pasukan Mataram karena faktor peralatannya. Pasukan Mataram terdesak.
Untuk menyelamatkan diri Sultan Agung beserta keluarganya terpaksa meninggalkan keraton. Pengembaraan Sultan Agung baru berhenti di Desa Kedunglumbu, daerah Surakarta. Karena ditinggal Sultan, untuk sementara pemerintahan Mataram mengalami kekosongan.
Di Desa Kedunglumbu tempat Sultan Agung mengungsi berdiamlah seorang gadis anak seorang janda miskin. Kecantikan dan perilaku Sultan rupanya simpati dengan gadis ini. Selain cantik, perilaku gadis sopan. Sultan jatuh hati. Sultan akhirnya menjadikan gadis desa ini sebagai selir.
Perkawinan Sultan Agung dengan perempuan Desa Kedunglumbu itu melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan. Namanya Jaka Bagus.
Tidak lama setelah Jaka Bagus lahir, permaisuri Sultan Agung yang ikut mengungsi juga melahirkan seorang anak laki-laki. Bayi ini diberi nama Jaka Trenggana.
Jaka Bagus dan Jaka Trenggana yang besarnya hampir sebaya itu dididik bersama di Desa Kedunglumbu. Keduanya dapat rukun seperti halnya dua orang saudara kandung.
Suatu hari, Jaka Bagus tiba-tiba terserang penyakit cacar. Sultan Agung lalu membawanya ke Desa Giring, daerah Gunung Kidul. Di desa ini, Sultan menitipkan Jaka Bagus ke Ki Ageng Wonoboyo Giring.
Kepada Ki Ageng Wonoboyo, Sultan Agung bersabda: “Ki Ageng Wonoboyo, saya titip anak saya untuk dirawat dari sakitnya. Apabila anak saya ini dapat sehat kembali maka saya serahkan kepada Ki Ageng untuk mengasuhnya. Tetapi apabila tidak dapat sembuh saya harap Ki Ageng mau menguburnya di sebuah puncak bukit yang tinggi, dan tingginya harus melebihi puncak bukit makam kedua orang abdinya kelak.”
“Sendika”, jawab Ki Ageng Wonoboyo.
Setelah menyerahkan anaknya itu, Sultan kembali ke ke tempat pengungsiannya di Desa Kedunglumbu.
Merasa diamanahi untuk mengobati, Ki Ageng Wonoboyo berusaha dengan berbagai cara menyembuhkan penyakit Jaka Bagus. Namun usaha itu tidak membuahkan hasil. Jaka Bagus meninggal.
Sesuai pesan Sultan Agung, jenazah Jaka Bagus lalu dimakamkan di sebuah puncak bukit yang tinggi, yang tingginya melebihi puncak bukit di sekitarnya. Bukit itu terletak di sebelah selatan Desa Giring.
Usai pemakaman, Ki Ageng Wonoboyo menghadap Sultan Agung. Kepada Sultan ia melaporkan segala upaya menyembuhkan Jaka Bagus telah dilakukan, namun nasib berkata lain.
“Ampun Gusti, ternyata hamba tidak berhasil menjalankan titah paduka, sehingga putera paduka wafat. Jenazahnya telah hamba makamkan, di sebuah puncak bukit yang tinggi," kata Ki Ageng Wonoboyo.
“Sudahlah Ki Ageng, jangan terlalu bersedih. Rupanya memang sudah kodratnya Jaka Bagus tidak berumur panjang. Lagi pula apabila Jaka Bagus dapat sembuh mungkin kelak akan menyebabkan terjadinya keributan di Mataram, sebab bukan dia yang akan saya angkat menjadi penggantiku, tetapi puteraku Trenggana,” jawab Sultan.
Untuk menandai makam anaknya itu, bukit itu dinamai Gunung Bagus. Sedang kedua orang abdi yang menyertai Jaka Bagus akhirnya menetap di Giring hingga meninggal. Kedua abdi dalam ini dimakamkan di bukit yang ada di Giring namun posisinya lebih rendah dari Gunung Bagus.
Menurut cerita, Gunung Bagus ini dikenal sangat angker. Kabarnya apabila ada burung yang terbang di atasnya akan jatuh dan mati. Juga jika ada binatang yang mendaki bukit itu dipastikan akan hilang.
Gunung Bagus dikenal sebagai tempat untuk melakukan ritual mencari Pasugihan (Pesugihan). Pasugihan yang terdapat di Gunung Bagus konon berwujud Thuyul.
Entah benar entah tidak, begitulah desas desus yang terbisikan dari satu mulut ke mulut lainnya. Oleh sebagian masyarakat pedesaan yang masih percaya ada jalan pintas gaib menuju kekayaan dan kemakmuran. (FJR)