Menyebut Mangir, ingatan orang langsung tertuju pada satu daerah yang ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Itu tak salah. Mangir merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Rogojampi. Jaraknya kurang lebih 20 km dari Ibu Kota Banyuwangi.

Pemerintah Banyuwangi menobatkan desa ini sebagai desa seni. Penobatan ini karena di desa ini menjadi kantong para seniman tari dan musik. Di desa ini juga warga yang pandai membuat baju gadrung, manik-manik, dan omprok Gandrung.

Desa ini dulu juga dikenal sebagai desa yang punya banyak orang "pintar" alias punya kelebihan yang bisa melakukan pengobatan.

Mangir dan Muasalnya
Nama Mangir disebut-sebut berasal dari nama ksatria bergelar Ki Hajar Mangir. Mangir lahir dari rahim ibu bernama Nurningsih. Sedangkan ayahnya bernama Wilabrata, adik Prabu Tawang Alun.

Dari cerita yang berkembang di masyarakat desa disebutkan, pasangan itu tinggal di sebuah hutan belantara yang banyak tenaman salak. Di hutan itu juga terdapat sumber mata air yang jernih. Daerah itu kini disebut Sumber Salak. Lokasinya berada di belakang balai desa Mangir.

Di lokasi inilah, tepat pada hari Sabtu Wage, 4 Juli 1829, Nurningsih melahirkan bayi yang bernama Mangir.

Beranjak dewasa, Mangir dikenal sebagai sosok yang berwibawa. Ia juga menguasai beragam ilmu dari ilmu pertanian, tata pemerintahan, kanuragan, dan pengobatan.

Meski keturunan darah biru, Mangir tidak sombong. Ia dikenal sangat santun, ramah, penyabar, dan bijaksana.

Karena penguasaan ilmunya itu, ia menjadi tempat orang sekitar untuk bertanya, belajar, dan berobat. Karena keahliannya itu orang-orang menjulukinya Ki Ageng Hajar Mangir.

Mengutip mangir.desa.id, Mangir sendiri sebenarnya berasal dari nama kayu yang banyak tumbuh di sekitar kediamannya. Kayu Mangir punya ciri-ciri berwarna coklat, daging kayunya putih, daunnya kecil mengandung busa, pohonnya tinggi besar biasa dipergunakan berteduh bagi orang-orang yang kehujanan dan kepanasan.

Karena kepiawaiannya dalam beragam ilmu, nama Mangir makin tenar. Ketenaran Mangir meluas hingga ke Blambangan (Banyuwangi). Banyak orang datang untuk berguru, berobat, dan meminta nasihat. Bahkan ada juga yang datang untuk menjajal kesaktiannya.

Karena makin banyak orang yang datang ke padepokannya, Mangir pada 16 Agustus 1854 mengajak warga sekitar membuka hutan untuk dijadikan pemukiman.

Karena hutan di sekitar dikenal angker, banyak warga yang jatuh sakit. Namun mereka berhasil disembuhkan oleh Mangir. Ketika mereka meneruskan pembukaan lahan lagi, warga lagi-lagi ada yang jatuh sakit. Melihat hal itu, tercetus dalam pikiran Mangir untuk membuat sebuah azimat berupa sabuk untuk digunakan sebagai penangkal berbagai macam gangguan. Dan benar, azimat itu mujarab.

Berita itu sontak menyebar sampai keluar perkampungan Sumber Salak. Kabar itu membuat orang kembali berdatangan untuk meminta sabuk penangkal itu.

Karena kemasyurannya itu, nama Mangir dijadikan nama desa ini. Dan azimat penangkal itu sampai sekarang dikenal sebagai sabuk mangir.

Versi lain menyebut, saat Mangir dan warga membabat hutan angker itu, ada seekor ular besar yang mengaku sebagai anak dari Mangir. Mangir kemudian bertarung dengan ular itu. Dalam pertarungan sang ular kalah. Lantas Mangir memotong lidah ular itu untuk digunakan sebagai pusaka Nagabaru Klinting. Sementaranya tubuh ular digunakan sebagai sabuk yang saat ini dikenal dengan sabuk mangir. (FJR)