Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) diminta untuk mengambil core business atau inti bisnis yang belum dipunyai warga di desa tersebut atau BUMDes lain. Tujuannya agar unit usaha BUMDes tidak mengganggu perputaran ekonomi warga desa.
"BUMDes justru harus menjadi ujung tombak rebound atau peningkatan ekonomi di desa,” ujar Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar saat memberi kuliah umum sekolah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Gedung Serbaguna (STIE) PGRI Dewantara, Jombang, akhir pekan lalu.
Menurut Halim, masalah itu juga diatur dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 pasal 117. Pasal itu menyebut, BUMDes sebagai Badan Hukum dibentuk untuk kesejahteraan warga masyarakat.
Sebelumnya, kata Halim, BUMDes terkesan dihalangi karena statusnya bukan Badan Hukum sehingga sulit untuk mengakses permodalan.
"Akhirnya, BUMDes menjadi Badan Hukum setelah lahirnya UU Cipta Kerja dan memang ini telah ditunggu,” ujar Halim.
Dengan badan hukum ini, kedudukan BUMDes setara dengan Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada level Nasional dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada level daerah.
Halim menegaskan posisi BUMDes sebagai Badan Hukum ini tak ada hubungannya dengan Kepala Desa atau terlepas dari proses politik yang terjadi di desa.
Karena itu, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) nantinya, masa kepemimpinan BUMDes tidak sama dengan Kepala Desa.
Rancangan Peraturan Pemerintah sendiri telah rampung 100 persen. Isinya adalah penegasan soal posisi BUMDes.
Salah satunya, BUMDes memiliki kesempatan membuat Unit Usaha berbadan hukum seperti PT.
"Dalam RPP tersebut, keabsahan berdirinya BUMDes itu cukup dipayungi Peraturan Desa hasil Musyawarah Desa," katanya.
Namun, kata dia, karena BUMDes perlu aturan main berskala nasional, maka dalam RPP yang disusun badan usaha ini harus mendapat registrasi dari Kemendes PDTT.
“Tujuannya, untuk menghindari sejumlah hal seperti kesamaan nama. Oleh karenanya, pencantuman nama desa menjadi sebuah keharusan,” ujarnya.
Satu Desa, Satu BUMDes
Satu Desa, kata Halim, hanya boleh mendirikan satu BUMDes. Dengan begitu, jumlahnya tidak akan melebihi jumlah desa sebanyak 74.953.
Namun, unit usaha bisa dibuat sebanyak mungkin dengan mengikuti Peraturan Undang-Undang yang berlaku.
"Makanya di RPP, kami tidak bicarakan soal pembubaran BUMDes, tetapi hanya pembekuan bagi yang bermasalah. Apabila telah diperbaiki semuanya, maka pembekuan dicabut," katanya.
Untuk mengembangkan usaha, satu desa bisa mendirikan lebih dari satu BUMDes Bersama (BUMDesma) yang didasarkan dari keputusan bersama para kepala desa.
“Bahkan, pendirian BUMDesma juga tak dibatasi zonasi dan wilayah,” katanya.