Gapura berwarna coklat itu terlihat kokoh. Membentang di jalan dengan tulisan besar: Desa Adat Osing Kimiren.

Desa Kimiren, masuk Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Terletak 13 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Banyuwangi, desa ini merupakan salah satu dari 14 kantong komunitas Osing Banyuwangi.

Dari 14 kantong komunitas itu, masyarakat Desa Kemiren dianggap paling kuat memegang tradisi moyang mereka sejak ratusan tahun lalu. Tradisi itu terus mereka turunkan ke generasi berikutnya hingga saat ini. Karena keteguhannya memegang adat budaya itu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menjadikan desa ini sebagai desa wisata budaya adat sejak 1996.

Desa ini terbentuk saat zaman penjajahan belanda atau sekitar tahun 1830an. Sebelum menjadi wilayah administrasi desa, Kemiren merupakan hutan dan sawah. Banyak pohon kemiri dan duren (durian) yang tumbuh di hutan itu.

Menurut penuturun dan cerita turun temurun yang ada di desa itu, penduduk asli desa ini berasal dari warga Kerajaan Majapahit yang melarikan diri pada 1478 M. Ceritanya, ketika Majapahit runtuh, sejumlah penduduknya melarikan diri. Mereka berpencar. Ada yang lari ke daerah Tengger Probolinggo, ujung timur Pulau Jawa (Blambangan), dan Pulau Bali.

Mereka yang lari ke Blambangan ini kemudian mendirikan kerajaan Blambangan. Seperti halnya Kerajaan Majapahit, kerajaan Blambangan yang bercorak Hindu-Budha. Penduduk kerajaan Blambangan tersebar di sejumlah wilayah.

Lama berdiri, kekuasaan Kerajaan Blambangan ini akhirnya jatuh ke tangan kerajaan Mataram yang bercorak Islam pada 1743 M.

Ada tiga versi yang menyebut muasal Desa Kemiren ini.

Versi pertama seperti diungkap Ketua Adat Osing Desa Kemiren Suhaimi. Menurut dia, suku Osing merupakan bagian dari masyarakat Kerajaan Blambangan yang tersisa. Ketika kerajaan Blambangan diserbu Belanda, mereka menolak diajak kerja sama.

Mereka memilih melarikan diri ke sejumlah pelosok. Salah satunya di Desa Cungking, yang letaknya 5 kilometer arah timur Kemiren. Sejumlah warga Cungking kaya punya lahan di daerah Kemiren.

Serbuan Belanda ke Daerah Blambangan membuat sejumlah warga Desa Cungking melarikan dan bersembunyi di daerah Kemiren. Akhirnya mereka membuat pemukiman di daerah itu.

Melihat hasil buminya menggiurkan Belanda kemudian menjadikan Kemiren menjadi wilayah administrasi desa pada 1830an.

Berbeda dengan versi pertama, versi kedua menyebut, wilayah ini awalnya dihuni oleh seorang begawan bernama Mbah Buyut Cili dan Mbah Sapuah. Saat tiba di wilayah ini, kedua orang ini menemukan banyak sekali pohon kemiri dan duren (durian) yang tumbuh. Mbah Buyut Cili kemudian menamakan daerah itu Kemiren, akronim dari kemiri dan duren.

"Di desa inilah kemudian Mbah Buyut Cili dan Mbah Sapuah menetap dan mendirikan padepokan serta membuat perkampungan baru," kata Aekanu Hariyono, Kepala Seksi Wisata dan Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi.

Keberadaan dua orang ini diketahui warga lain. Mereka lantas mendatanginya. Rupanya, kedua orang ini memiliki pengetahuan mumpuni soal pola tanam. Di padepokan yang didirikan, Mbah Buyut Cili kerap mengajari warga cara bercocok tanam. Berkat ajaran Mbah Buyut Cili ini hasil pertanian warga melimpah. Lama kelamaan banyak warga yang pindah dan nyatrik ke Mbah Buyut Cili.

Warga menganggap Mbah Buyut Cili sebagai orang yang sakti. Keyakinan warga tak salah. Suatu ketika, menurut Aekano, tiba-tiba Mbah Buyut Cili moksa. Mbah Sapuah dan pengikut Mbah Buyut Cili bingung. Apalagi tak lama setelah Mbah Buyut Cili moksa, desa itu dilanda pagebluk (wabah penyakit). Warga makin resah.

Di tengah keresahan itu, kata Aekanu, Mbah Sapuah beberapa kali mimpi didatangi Mbah Buyut Cili. Dalam mimpinya itu, Mbah Buyut Cili berpesan agar Mbah Sapuah meruwat desa itu pada hari kedua hari raya idulfitri.

"Isun wes ngaleh panggonan. Engko onok loro petilasan, dadi panggonanisun. Isun ngerti karep sirok. Pagebluk biso ilang. Sirok goleko kayu polek suwidak sentian loro, lebokno jero sumur. Pagebluk biso ilang kudu idher bumi nganggo barong."

("Saya sudah pindah tempat. Akan ada dua makam, yang akan jadi tempat baruku. Aku tahu maksud kamu. Penyakit bisa hilang. Kamu cari dua kayu polek sepanjang 60 cm, rendamlah dalam sumur. Pagebluk bisa hilang jika ada ruwat desa dengan barong.")

Begitu pesan Buyut Cili kepada Sapuah dalam mimpinya. Sapuah langsung menyampaikan pesan Buyut Cili ke warga. Mereka akhirnya mencari barong di daerah Dandang Miring, Banyuwangi. Barong itu pun dipinjam dan dibawa ke Kemiren. Cerita yang lain menyebut, Sapuah tidak meminjam barong ke daerah Dandang Miring, melainkan membuat barong sendiri.

Setelah barong tersedia, Sapuah dan warga lainnya melaksanakan pesan seperti yang disampaikan Buyut Cili. Pada hari kedua idulfitri mereka membawa barong itu berkeliling desa dengan maksud mengusir roh-roh jahat. Karena itu, kemudian ruwat barong itu dikenal sebagai ider bumi.

Versi ketiga diungkapkan pengajar Universitas PGRI Banyuwangi Wiwin Indiarti. Dalam bukunya "Jagat Tanah Osing: Seni, Tradisi dan Kearifan Lokal Osing (2015)", Wiwin mengungkap, dari cerita turun temurun warga Desa Kemiren, penduduk desa ini awalnya berasal dari Desa Cungking yang letaknya 5 km di sebelah timur Kemiren.

Kisah ini dikuatkan tetua Desa Kemiren, Djuhadi Timbul (67 tahun). Dalam buku yang ditulis Wiwin itu, Djuhadi berkata:
"Asale wong Kemiren iku teko Cungking. Makane bengien akeh wong Cungking han duwe sawah ning Kemiren. Ana gendinge pisan 'panase latar Cungking, ademe lurung Kemiren."

("Penduduk Kemiren itu berasal dari Cungking. Dulu banyak orang Cungking yang punya lahan sawah di Kemiren. Ada pula nyanyiannya 'panasnya halaman Cungking, sejuknya jalan Kemiren.") (hal. 142).

Cungking merupakan salah satu desa tua di Banyuwangi. Nama Cungking muncul dalam Babad Tawang Alun. Desa Cungking merupakan tempat persemayaman terakhir Ki Buyut Wangsakarya. Wangsakarya adalah guru dari Pangeran Macan Putih, Tawang Alun (hal. 142).

Melihat wilayahnya yang makmur dan sudah dihuni banyak warga, sekitar 1830an Belanda membentuk Kemiren sebagai wilayah administrasi desa. Disebut-sebut, saat itu Belanda menunjuk warga bernama Walik untuk menjabat Kepala Desa. Belanda kemudian meminta penduduk sekitar membangun jalan agar memudahkan mereka mengangkut hasil buminya.

Itulah tiga versi muasal Desa Kemiren. Apapun versinya, warga desa ini mengetahui sejarah dan muasal desanya. Dengan mengenal sejarah desanya, mereka akan mengenal dirinya. (FJR)