Ahmad Jabur namnya. Usianya 50 tahun. Ia tinggal Desa Compang Ndejing, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya beragama Katolik.

Ahmad sudah lama tinggal di desa. Oleh warga desa, Ahmad yang beragama Islam itu dikenal sangat supel bergaul.

Berdasarkan data desa Juli 2020, warga penganut Katolik di desa itu berjumlah 2.227 orang, Islam 108 orang, dan Kristen Protestan 2 orang.

Suatu saat, ketika desa itu akan menggelar hajatan politik lokal yakni pemilihan kepala desa, oleh warga Muslim dan warga penganut lainnya, Ahmad diminta untuk maju menjadi calon kepala desa. Ahmad kaget. Bahkan ia awalnya enggan.

"Alasan saya, karena saya dari pihak minoritas,” tutur Ahmad seperti dilansir kepada Katoliknews.com Jumat, 14 Agustus 2020.

Ahmad memang bukan satu-satunya calon. Sudah ada dua calon yang tercatat akan maju.

Apalagi menjelang Pilkades, isu agama dan SARA di akar rumput ramai dibincangkan. "Ada yang bilang kenapa mesti yang minoritas pimpin mayoritas," ujarnya seperti ditulis kepada Kompas.com, Rabu (19/8/2020).

Dalam hitungan Ahmad, dari 108 Muslim di desa itu, hanya 52 orang atau lima persen yang punya hak pilih. Sisanya, Katolik. Di situlah ia ragu.

Di tengah keraguannya itu, ia didatangi beberapa utusan dari tujuh Komunitas Basis Gerejawi (KBG) yang ada di Purang Mese, kampungnya. Kepada Ahmad, komunitas ini mendorong Ahmad mencalonkan diri menjadi Kades.

Awalnya Ahmad tak percaya. Namun kelompok ini terus meyakinkan Ahmad.

Kepada Ahmad, kelompok kini meyakinkan akan mendukungnya. Para pastor ini mengatakan, mereka telah menjelaskan kepada umatnya bahwa pemimpin itu dinilai dari karakternya, bukan latar belakang agamanya.

“Saya kaget. Mereka berdoa. Setelah berdoa, mereka adakan pertemuan dan sepakat mengusung saya untuk jadi calon kepala desa,” ujar Ahmad.

Keraguan Ahmad sirna. Ia pun termotivasi maju. Ahmad lalu mendaftarkan diri.

Namun, meski telah didukung KKB, isu mayoritas-minoritas tetap ada. Isu itu selalu ditepis KKB. Ahmad pun pasrah jika memang harus kalah.

Pada hari pemilihan, Ahmad dinyatakan menang dari dua calon lainnya. "Saya unggul 82 suara dari calon lainnya," kata Ahmad.

Menurut Ahmad, kemenangannya dalam Pilkades itu merupakan salah satu wujud toleransi yang ada di kampungnya yang dipelihara sejak dulu.

Florianus Sujanjono, salah satu tokoh masyarakat Compang Ndejing mengamini Ahmad. Menurutnya, sejak dulu, belum pernah terjadi gesekan antara umat Islam dan Katolik di Purang Mese, meskipun mereka hidup berdampingan.

Agama, kata Florianus, urusan privat yang tidak boleh dibawa dalam hubungan atau pergaulan di masyarakat.

“Jujur, kami (umat Katolik) memilih Pak Ahmad karena kami lihat dia punya kemampuan dan pergaulannya di masyarakat,” katanya.

Mengutip Kompas.com, Edi Dahal, seorang warga desa mengatakan, terpilihnya Ahmad sebagai kepala desa karena kehidupan sosialnya yang dinilai oleh warga sangat bagus. "Kami pilih pemimpin desa, bukan pemimpin agama. Kami nilai dia layak jadi pemimpin desa," kata Edi.

Edi menyebut, toleransi antarumat beragama di desa itu sangat kental dan kuat.

Terpilih menjadi Kades tidak membuat jumowo. Setelah terpilih ia merangkul lawan-lawan politiknya.

"Saat saya dilantik, saya imbau kepada warga, kita ini urus negara, bukan agama. Kita harus kompak membangun Desa Compang Ndejing agar terus maju," kata Ahmad. (FJR)