Namanya Ferdinandus Watu. Nando Watu, begitu ia biasa disapa. Ia lahir di daerah Ende, 6 April 1986. Nando bukanlah pemuda biasa. Sejak kecil, ia sudah berangan-angan memajukan kampungnya.
Tekad itu ia pegang kuat. Setamat SMA, ia mendapat kesempatan belajar di Miami Dade College, Florida Amerika Serikat (2014-2015) dengan mengambil studi kepariwisataan.
Setamat belajar di AS, ia tak mau kerja di kota. Ia tetap dengan tekad masa kecilnya: pulang kampung.
Pulang ke Desa Detusoko Barat, ia mendirikan Remaja Community. Pendirian komunitas ini berawal dari keprihatinannya terhadap remaja di kampungnya yang banyak meninggalkan daerahnya untuk mencari pekerjaan.
Para remaja ini tak tahu apa yang harus dilakukan jika tetap bermukim di kampung. Mereka banyak yang tak meminati dunia pertanian yang dilakukan banyak orang tua mereka.
Agar remaja kembali meminati dunia pertanian seperti yang dilakukan leluhur mereka komunitas ini merancang program pertanian berkelanjutan. Selain itu, di komunitas ini juga ada program informal education, program kewirausahaan sosial, dan eco wisata.
Tak mudah bagi Nando mengajak para remaja itu pada awalnya. Cemooah dan cibiran hampir jadi makanan sehari-hari. Namun Nando tak peduli. Ia terus bergerak. "Yang penting kita tunjukkan dengan aksi nyata," kata Nando.
Nando berhasil melewati fase itu. Banyak remaja yang awalnya mencemooh ikut bergabung. Mereka yang dulu ragu kini mulai percaya diri. Mereka juga banyak yang dikirim ke daerah lain untuk menimba ilmu. "Mereka malah sekarang berada di garda depan," katanya.
Berkat kepiawaian Nando, Detusoko Barat desa yang letaknya 30 kilometer di sebelah timur Ende yang dulu tak dikenal berangsur-angsur mulai banyak dilirik wisatawan. Tak hanya lokal tapi juga dari mancanegara.
Di desanya Nando menerapkan wisata berbasis keseharian. Artinya para wisatawan yang datang diajak terlibat dalam keseharian warga desa.
Mengutip Kompas.id, di Detusoko Barat, wisatawan diajak menanam padi, memberi makan ternak, memancing ikan di kolam, memetik hasil kebun, mengolah makanan di atas tungku api, dan mengikuti pertemuan adat kampung.
Jika beruntung, wisatawan dapat mengikuti prosesi adat terbesar, yakni nggua uwi dan nggua uta. Dua acara tersebut sebagai penegasan identitas suku Lio (satu dari dua suku yang ada di desa itu) sebagai masyarakat agraris.
Karena mulai banyak wisatawan yang datang, pada 2018 Nando menggagas warga untuk membuat homestay. Awalnya satu. Lama kelamaaan berkembang. Sekarang ada lebih dari 17 homestay. Tarifnya tergolong murah. Perhari hanya Rp 150.000 plus makan dan minum.
Setidaknya 1.000 wisatawan asing telah menikmati konsep wisata berbasis keseharian itu dengan penerima manfaat lebih dari 4.000 orang warga setempat.
Di mata warga desa, Nando menjadi bintang. Warga desa merasakan banyak manfaat dari apa yang dilakukan Nando dan komunitasnya itu.
Tak salah pada saat Pilkades serentak yang digelar pada 2019 lalu, warga meminta Nando mencalonkan diri. Nando pun terpilih menjadi Kepala Desa Detusoko Barat.
Menjadi kepala desa, Nando semakin kreatifitas menjadi-jadi. Ia mendirikan BUMDes Au Wula. BUMDes ini mengola semua potensi lokal yang ada di desa itu untuk dipasarkan kepada wisatawan.
"Bagaimana label dan branding dari sebuah produk dikemas dengan standar premium atau internasional," ujar Nando, sapaan akrabnya seperti dilansir Liputan6.com.
Ada dua unit usaha yang dikelola BUMDes Au Wula: pariwisata dan perdagangan. Di unit pariwisata, Nando mengembangkan wisata berbasis masyarakat dengan konsep ekowisata yang menyajikan keunikan seperti alam, budaya dan juga manusianya.
Di unit perdagangan, desa ini mengembangkan Bumdesmart.id. Di sini aneka produk lokal dijual. Ada kopi Detusoko, selai kacang, selai lemon, beras hitam.
Tak berhenti di situ, saat pandemi Covid-19, Nando mengembangkan konsep 'Dapur Kita'. Konsep ini muncul karena pandemi Covid-19 telah melumpukan hampir semua aktivitas masyarakat.
"Para petani kesulitan memasarkan produk mereka, tidak mau jual ke mana, karena pasar ditutup. Kita akhirnya mencari solusi untuk menjualnya secara online,” ujar Nando seperti dilansir aminef.or.id.
Awalnya mereka menjual produk petani lewat facebook. Bekerjasama dengan tim relawan Covid-19 Keuskupan Agung Ende, mereka menyiapkan template sebagai market place lokal seperti shopee, lazada, berbasis online.
"Tapi konsepnya kita bisa menjual sayur-sayuran berbasis WhatsApp store,” ujar Nando.
Untuk sementara, pasar dibuka dua kali seminggu yakni pada hari Rabu dan Sabtu.
Agar pasokan barang terjaga, mereka bekerjasama dengan 60 petani yang ada di 8 desa lain yang ada di 3 kecamatan. Untuk pengantaran barang, mereka memberdayakan ojek setempat.
BUMDes Au Wula memiliki beberapa produk uggulan, antara lain: Kopi Detusoko; Gelang Kopi Detusoko; Parfum Kopi Detusoko; Homestay: Detusoko Ecotourism; Beras Hitam Organik Detusoko; dan Dapur Kita: Pasar Online Desa.
Berkat kepiawaian Nando melihat potensi desa dan peluang yang ada, BUMDes Au Wula masuk dalam nominasi 10 BUMDes tingkat nasional.
Nando, pemuda Desa Detusoko Barat ini memang luar biasa. (FJR)