Hasil survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) per Maret 2020, memperlihatkan; persentase penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 9,78 persen, meningkat 0,56 persen poin terhadap September 2019 dan meningkat 0,37 persen poin terhadap Maret 2019. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2019 sebesar 6,56 persen, naik menjadi 7,38 persen pada Maret 2020. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2019 sebesar 12,60 persen, naik menjadi 12,82 persen pada Maret 2020. Dibanding September 2019, jumlah penduduk miskin Maret 2020 di daerah perkotaan naik sebanyak 1,3 juta orang (dari 9,86 juta orang pada September 2019 menjadi 11,16 juta orang pada Maret 2020). Sementara itu, daerah perdesaan naik sebanyak 333,9 ribu orang; dari 14,93 juta orang pada September 2019 menjadi 15,26 juta orang pada Maret 2020.
Angka tersebut semakin mempertegas bahwa masyarakat perdesaan masih menjadi kelompok yang termarjinalkan di negeri ini. Dana Desa (ADD) yang selama ini jadi mantra sakti pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan rupanya belum mampu -- untuk tidak mengatakan gagal – mengubah wajah desa menjadi lebih sejahtera. Desa senyatanya belum merdeka dari; kemiskinan, keterbelangan, kesenjangan sosial, dan kebodohan.
Baca juga: Bangun desa, Megawati sentil Jokowi
Semenjak disahkan tanggal 15 Januari 2014 dan diundangkan dalam Berita Negara tahun 2014 Nomor 7, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, menjadi argumentasi yuridis untuk membuat desa menjadi berdaya dan bermartabat. Dengan undang-undang tersebut persatu desa rerata mendapatkan Dana Desa sebesar Rp 933, 92 juta/tahun pada 2019 dan mengalami peningkatan di tahun 2020 menjadi Rp. 960, 59 juta yang bersumber dari APBN.
Dengan uang tersebut, ditambah dengan ADD (Alokasi Dana Desa), dana bagi hasil pajak dan retribusi, desa hari ini semestinya mampu menjadi momentum untuk membangun desa yang lebih sejahtera dan berdaya. Dengan sumber yang melimpah; capital, modal sosial, dan alam harusnya kepala desa mampu membuat masyarakat desa lebih berkualitas hidupnya serta keluar dari kemiskinan.
Dengan kemewahan itu, meminjam istilah Todaro dan Stephen C. Smith (2006), kepala desa mestinya mampu meningkatkan kesejahteraan; hasil pembangunan, tingkat pendidikan, pendapatan, hingga ketersediaan pilihan individu dan sosial masyarakat pedesaan.
Nyatanya, kemewahan tersebut belum mampu ditransformasikan dan dirasakan oleh masyarakat desa. Ada problem struktural sekaligus kultural yang menjadikan kenapa kemegahan yang dimiliki oleh desa tidak bisa bekerja secara optimal. Maka, untuk memastikan agar dana desa menetes ke detak kehidupan warga, problem keduanya harus dicarikan jalan keluar agar desa menjadi merdeka.
Desa merdeka adalah sebuah konsep tentang tatanan kehidupan masyarakat pedesaan yang sejahtera, adil, dan bermartabat. Sebuah desa yang jauh dari kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial.
Untuk mewujudkannya, dibutuhkan tata kelola dan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Dana desa adalah stimulusnya. Namun kesadaran sosial masyarakat desa untuk menjadi manusia merdeka itu yang lebih penting. Tanpa kesadaran untuk merdeka (dari kemiskinan), desa tetap akan menjadi masyarakat yang termarjinalkan.
Baca juga: Apa pentingnya data buat desa?
Itulah mengapa dana desa yang digelontorkan pemerintah (negara) tidak bisa berjalan optimal. Bahkan pada kasus di sebagian desa tertentu, ia menjadi lahan korupsi baru. Beberapa kepala desa yang terjerat dalam kasus korupsi dana desa menegaskan fakta miris itu.
Untuk menciptakan kesadaran sosial dalam masyarakat perdesaan tentu tidak bisa hanya mengandalkan kepala desa. Karena tidak semua kepala desa yang mampu memainkan peran sosialnya dengan baik dan benar. Bahkan beberapa kasus, justru kepala desa yang menjadi bagian dari persoalan.
Maka di sinilah pentingnya sinergi. Untuk menciptakan kesadaran akan pentingnya desa merdeka, dibutuhkan sinergi antara negara, NGO, swasta, dan perguruan tinggi. Selama desa dibiarkan kerja sendirian, masyarakat desa tetap berada dalam lorong gelap kemiskinan dan keterbelakangan.
Khoirul Rosyadi
Penulis adalah alumni RUDN Moscow, Rusia. Sekarang mengembangkan Desa Merdeka melalui Laboratorium Rekayasa Sosial Universitas Trunojoyo Madura dan menjadi Sekretaris Lakpesdam PW NU Jawa Timur 2018 - 2022.