Di tengah pandemi Covid-19, Desa ibarat naskah kuno dari lembar-lembar daun lontar yang teronggok berdebu di pojok sebuah museum kebudayaan yang selalu sepi pengunjung. Hanya segelintir orang tertarik membacanya. Selama 10 tahun terakhir, Desa baru menjadi pembicaraan yang cukup seru saat lahirnya Undang-undang Desa tahun 2014 sampai Presiden Joko Widodo mulai menggelontorkan dana desa ke seluruh desa di Indonesia sejak tahun 2015. Namun semua pembicaraan seru itu sebenarnya bukanlah pembicaraan tentang desa itself, melainkan pembicaraan pemerintah pusat mengenai persoalan desa.

Desa sendiri nyaris tidak dibicarakan sebagai sebuah entitas dengan kekayaan sosial, ekonomi, politik dan kultural luar biasa yang melalui UU Desa dijamin hak-hak dan kewenangannya. Pembicaraan tentang desa memang tidak memicu polemik seperti polemik antara budayawan Goenawan Mohamad dan sastrawan AS Laksana baru-baru ini yang sukses memicu reaksi para intelektual, budayawan dan pemikir sains, agama dan filsafat dalam konteks serangan pandemi covid-19. Serangan yang telah memporak-porandakan tatanan kehidupan masyarakat dunia saat ini.

Lantas mengapa pembicaraan tentang desa tidak bisa menjadi polemik yang seru? Desa hanya bisa menjadi polemik seru jika sebagai naskah kuno yang teronggok di museum kebudayaan berhasil ditarik keluar dari kotak kaca yang memenjarakannya. Lalu naskah itu harus dibersihkan dari rayap dan dibaca ulang karena di dalamnya ada banyak jawaban bagi persoalan hidup manusia (modern). Kedua, desa baru akan menjadi pembicaraan seru jika ada ruang luas untuk mewadahi pembicaraan itu. Dari sinilah lahir gagasan Kongres Kebudayaan Desa untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dan untuk pertama kalinya sebagai kongres virtual (1 - 16 Juli 2020) di sebuah desa di kawasan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kongres Kebudayaan Desa (KKD) digagas oleh Lurah Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi bersama anak-anak muda desanya yang tergabung dalam sebuah lembaga bernama Sanggar Inovasi Desa (SID). Temanya adalah Membaca Desa Mengeja Ulang I-N-D-O-N-E-S-I-A. Tema ini ingin menguatkan Indonesia dimulai dari desa dengan premis ‘masa depan Indonesia ada di Desa’. Ini sesuai dengan makna kata ‘desa’ dalam bahasa Jawa kuno: tempat hidup yang layak, sejahtera dan patut. Dalam pengertian ini juga tersirat makna desa sebagai kawasan yang merdeka dan berdaulat. 

Membaca (Lagi) Desa

Pembicaraan tentang desa sebenarnya tidak kalah penting dibanding pembicaraan tentang sains, agama dan filsafat karena di dalam kehidupan desa ketiga hal besar itu sudah mewujud sebagai praxis keseharian rakyat desa yang diwariskan nenek-moyang mereka. Contoh, ketika radikalisme tiba-tiba disukai dan menjadi trend di sejumlah masyarakat kota, orang desa tidak terpengaruh dan tetap hidup nyaman dalam perbedaan. Ini berkat praxis tepo seliro atau toleransi yang sudah mengakar dalam kehidupan desa.

Tatanan kehidupan masyarakat desa yang sederhana merupakan hasil pergulatan para nenek moyang dalam menggeluti pengalaman kosmologis, epistemologis dan ontologis sekaligus. Hanya saja mereka tidak mewacanakannya menjadi aliran pemikiran atau ideologi tertentu. Dengan demikian, filsafat desa adalah filsafat yang tidak terpenjara dalam alam pemikiran. Filsafat desa adalah filsafat yang mewujud dalam budi pekerti, perilaku dan tindakan.

Inilah kekuatan desa yang bahkan tak disadari oleh orang-orang desa sendiri. Dalam situasi pandemi, kekuatan ini bisa menjadi modal sosial-budaya-ekonomi sekaligus menjadi jawaban saat kita berupaya menata ulang pondasi masyarakat new normal sebagaimana diinginkan KKD.           

KKD bertujuan memberikan gambaran sektor-sektor pembangunan desa di era pandemi dan imaji sebuah tatanan baru pemerintahan dan masyarakat desa. Penggambaran itu meliputi analisa, dekonstruksi dan rekonstruksi sektor pembangunan desa, arah kebijakan dan strategi pencapaian beserta programnya sehingga mampu memberikan pedoman pencapaian tatanan hidup baru. Untuk itu KKD melibatkan pemangku desa (pemerintah desa, lembaga, komunitas dan warga), pemikir, akademisi, birokrat, pelaku bisnis, dan media.

Upaya KKD membaca (lagi) desa dalam konteks ini, menurut saya, memerlukan sekurangnya dua hal. Pertama, menempatkan kembali (reposisi) desa sebagai sumber nilai praxis kehidupan yang mungkin bisa matching dengan konteks era tehnologi informasi dimana posisi dan kedudukan manusia tidak lagi paling superior (terancam antara lain oleh artificial intelegent). Kedua, merumuskan strategi komunikasi dan branding ‘desa sebagai alternatif jawaban’ atas rontoknya tatanan masyarakat yang ditopang baik oleh kekuatan kapitalisme, sosialisme ataupun fundamentalisme.

Itulah dua hal hal penting yang harus dilakukan dalam membaca kembali desa di tengah pandemik.

Penulis adalah pendiri katadesa.id (media jaringan berita desa Indonesia) dan pernah menjadi Tenaga Ahli di Kantor Staf Presiden (2015-2019).