Septian Nurmansah penasaran. Kepada teman-temannya di pengurus Karang Taruna Mekar Pandega Desa Gari, ia bertanya, "Berapa ya pengeluaran masyarakat desa untuk membeli kebutuhan sehari-hari saat pandemi ini?" Tak ada yang bisa menyodorkan jawaban.

Karena tak ada yang bisa memastikan, Septian (28 tahun) bersama pengurus Karang Taruna tergerak mencari jawaban. Caranya? Mereka melakukan survei. Survei dilakukan untuk memastikan berapa sebenarnya daya konsumsi pangan masyarakat Desa Gari ini.

Survei dilakukan melalui quisioner yang dibagikan di google form. Dari 6.000an penduduk desa, mereka mengambil 1.094 kepala keluarga sebagai reponden. Survei dilakukan pada 21-23 April 2020. Ada 16 kebutuhan pangan yang disurvei.

Hasilnya? "Cukup mengaget kami," kata  Septian, Ketua Karang Taruna Mekar Pandega Desa Gari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta ini.

Berangkat dari hasil survei itu, ia kemudian berembug dengan perangkat desa. Kepada perangkat desa, mereka mengusulkan agar dibuat gerakan menanam tanaman pangan, terutama tanaman pangan yang jadi kebutuhan sehari-hari.

Gayung bersambut. "Pak Lurah bilang, 'mangan opo sing ditandur, nandur opo sing dipangan’ (makan apa yang ditanam, menanam apa yang dimakan)," kata Septian yang sehari-hari berprofesi sebagai guru di SMA Gungnungkidul ini.

Kepala Desa lalu memberi modal Rp 7 jutaan. Duit itu kemudian dibelikan bibit. Bibit itu lalu dibagikan gratis kepada masyarakat Desa Gari. Masyarakat menyabut antusias gerakan Septian dan Karang Tarunanya.

Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) jurusan Seni Rupa 2015 Yogyakarta ini memang terbilang cekatan. Jauh sebelum Pandemi Covid-19, Karang Tarunanya pernah menyabet juara 2 tingkat nasional dari Kementerian Sosial. Penghargaan itu diberikan karena Karang Tarunanya menginisiasi pembuatan pasar kuliner tradisional Gunungkidul. Pasar yang diberi nama Pasar Ekologis Argo Wijil itu dibangun di bekas lahan tambang galian kapur yang tergolong angker.

"Dulu di situ tumbuh pohon joho dan ada legenda srigala gunung," kata Septian kepada wartawan Katadesa.id Sigit Djatmiko dan Fajar WH yang mewawancarainya melalui aplikasi zoom, Selasa (11/8/2020) malam. Petikannya.

Sejak kapan Anda aktif di Karang Taruna?
Kalau Karang Taruna dusun sudah sejak lama. Tapi kalau aktif di Desa itu sejak 2016. Saya jadi pengurus.

Sekarang saya menjabat Ketua Karang Taruna Desa Gari. Selain di Gari, pada 2018 saya juga terlibat di kegiatan Karang Taruna Kabupaten Gunungkidul. Yang kabupaten ini jejaring Karang Taruna se-kabupaten.

Di jejaring Karang Taruna kabupaten ini kami saling koordinasi antar desa dan memberi motivasi. Mana Karang Taruna yang belum terbangun dengan baik, kami support. Nanti kami juga bisa kolaborasi program.

Beberapa waktu lalu, Anda dan Karang Taruna mengadakan survei pola konsumsi masyarakat Desa Gari. Bisa digambarkan dan apa hasilnya?
Survei kami lakukan saat pandemi Covid-19. Sebenarnya kami hanya coba-coba. Kami ingin tahu seberapa besar daya konsumsi warga Desa Gari saat pandemi Covid-19 ini. Ada 1.904 responden yang kami survei dari total jumlah penduduk Desa Gari sejumlah kurang lebih 6.000an. Survei kami lakukan pada 21-23 April 2020.

Survei kami lakukan melalui quisioner yang kami posting di google form.

Dari situ kami coba survei melalui google form. Kami membuat quisiner. Ada 16 tanaman pangan yang kami survei. Dari 16 tanaman itu kira-kira mana saja yang dikonsumsi warga Gari.

Dari situ nanti kami akan tahu, kira-kira apa saja tanaman yang bisa ditanam di desa kami juga kebutuhan lain yang bisa dikondisikan di desa kami.

Hasilnya cukup menganggetkan. Dari survei itu diketahui, untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari itu ternyata warga Gari mengeluarkan hingga Rp 18,8 miliar setahun. Misalnya untuk konsumsi loncang itu mencapai 40 ton setahun. Beras mencapai 505 ton setahun.

Dari situ kami berpikir bagaimana kalau seandainya kebutuhan itu bisa dipenuhi dari desa sendiri. Mungkin tidak semuanya tapi paling tidak jika 50 persen saja bisa dipenuhi dari desa sendiri kan uangnya bisa berputar di desa.

Hasil survey itu bisa memberi gambaran walau kami dalam kondisi sulit paling tidak kami bisa memenuhi kebutuhan itu sendiri dan nanti tinggal memikirkan kebutuhan yang lain.

Hasil survei itu juga bisa kami jadikan pegangan untuk memetakan kebutuhan-kebutuhan pangan masyarakat desa.

Misalnya, nanti kita bisa bikin sentra tanaman seledri di dusun A. Sentra tomat di dusun B dan seterusnya.

Jadi survei ini sebenarnya wujud keprihatinan kami. Bagaimana cara masyarakat mengubah pola hidup yang tadinya konsumtif menjadi produktif.

11 8 2020 Data Pola Konsumsi Pangan Gari edit

Hasil survei itu menunjukkan kebutuhan terbesar adalah beras, bawang merah, dan cabai. Selama ini barang-barang itu dipenuhi dari desa sendiri atau luar?
Sebagian besar dari luar. Makanya pandemi itu membuat kami terketuk. Ternyata kebutuhan kita itu sangat luar biasa.

Artinya dari survei itu Anda membayangkan kebutuhan-kebutuhan itu bisa dipenuhi oleh desa itu sendiri?
Betul. Ketika satu desa bisa memenuhi kebutuhan pangannya itu kan akan sangat luar biasa sehingga kami tidak terlalu tergantung pada impor. Kami bisa produksi sendiri. Syukur-syukur kami mampu berdaulat pangan dan mampu menjual keluar. Itu harapannya.

Namun sebenarnya yang lebih penting di sini adalah soal edukasi.

Selama ini kebutuhan-kebutuhan pangan itu banyak didatangkan dari luar desa?
Yang ada di desa itu hanya sayuran tertentu. Belum mencakup semua. Seperti bawang merah, dan sayur sawi. Sekarang trennya menanam bawang merah, ada sawi.

Harapan kami, walaupun kami tidak bisa memenuhi seluruhnya, paling tidak setengahnya bisa dipenuhi.

Kepala Desa kami itu bilang, "Mangan opo sing ditandur, nandur opo sing dipangan (makan apa yang ditanam, menanam apa yang dimakan).

Dari situ lalu kami mencoba mewujudkan semampu kami. Apalagi saat itu masyarakat sangat membutuhkan bantuan. Bantuan yang diturunkan ke desa itu kan banyak sekali.

Tapi kan tidak semua dapat sementara banyak warga yang berharap dapat bantuan. Ketika ada yang mendapat bantuan, mereka menganggap banyak orang yang lebih butuh daripada dia yang sudah dapat.

Harapan kami dengan adanya kegiatan menanam kebutuhan pangan itu, kami tidak terlalu berharap adanya bantuan. Salah satunya dengan cara ya kegiatan menaman tanaman itu dan memakan dari hasil yang ditanam itu.

Apa bentuk kegiatan konkret yang Anda lakukan setelah survei itu?
Dari situ kan kami tahu apa saja bahan pangan yang sering dikonsumsi warga. Nah, kami mencoba menanam beberapa sayuran. Ada dua tahap yang kami lakukan. Membeli bibit lalu kami bagi ke masyarakat. Bibit yang langsung kami bagi itu misalnya kacang panjang dan bayam cabut.

Ada juga yang kami semai baru kami bagi. Ada terong, cabai, dan tomat.

Bibit-bibit itu kami bagi ke sembilan dusun yang ada di desa kami. Masing-masing kader Karang Taruna di dusun itu nanti menyemai. Hasil bibit yang disemai itu lalu dibagikan ke masyarakat agar mereka menanam di rumah masing-masing.

Bagaimana respons masyarakat?
Sebenarnya apa yang kami lakukan ini kan hanya stimulan saja karena dana kami terbatas. Untuk pengembangannya kami serahkan ke masyarakat sendiri.

Rupanya masyarakat sangat antusias menanam bibit yang kami bagi itu. Banyak masyarakat yang mengembangkan sendiri. Banyak dari mereka menanam bibit-bibit di luar yang kami bagikan. Dari situ kami melihat, apa yang kami lakukan tidak sia-sia.

Sebenarnya dengan menanam ini, saya melihat teman-teman Karang Taruna juga bergerak antusias untuk berkarya. Itu dibuktikan dengan papan semai yang kami belikan. Mereka bisa mengembangkan hingga 10-20 papan semai.

Ini pelajaran yang bisa kami petik dari pandemi ini.

Tanaman apa saja yang ditanam?
Ada kacang panjang, bayam, cabe, terong, dan tomat.

Lahan yang digunakan itu milik siapa?
Kami memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jadi kami menyemai lalu kami bagi. Mereka menanam di pakarangan masing-masing.

Bibit itu dibagi gratis?
Gratis. Karena kami bersinergi dengan pemerintah desa, didanai pemerintah desa.

Berapa anggaran yang dikucurkan desa untuk gerakan itu?
Kami diberi Rp 7 juta potong pajak. Itu untuk 2.000an KK di sembilan dusun. Dari dana itu kami baru menggunakan Rp 4,5 juta.

Sejauh ini komoditas apa saja yang berhasil ditanam?
Terong, kangkung, sawi, tomat, dan kacang panjang. Kalau cabai itu biasanya ada penyakitnya.

Konsep yang kami usung ini sebenarnya konsep tanaman organik.

18 8 2020 Septian2 Edit Lagi

Gerakan ini masih fokus pada tanaman?
Kami memang belum mengarah ternak. Karena kan anggaran terbatas. Sementara ini kami menjangkau apa yang bisa kami lakukan.

Tapi kan kami sudah memegang datanya. Suatu saat jika kami memperoleh anggaran atau menghasilkan uang dari lini unit yang lain, paling tidak kami bisa mulai kapan saja.

Ini butuh waktu yang tidak sebentar.

Sementara ini kami masih melakukan gerakan untuk kebutuhan keluarga. Paling tidak mereka bisa mengurangi pembelian produk dari luar desa.

Dari data itu kami akan melakukan pemetaan. Misalnya, kira-kira untuk menghasilkan seledri 30 ton setahun itu butuh lahan berapa. Lalu, kira-kira dusun mana yang nanti bisa kami jadikan sebagai sentra seledri.

Yang jelas kami punya target tahun ini data itu sudah selesai sembari kami mencoba proses kreatif yang lain, terutama proses menanam itu sendiri.

Selama ini apa yang paling banyak dihasilkan di Desa Gari?
Kalau di Gari itu tanaman polowijo. Kalau tanaman yang sifatnya dijual saat ini lebih ke bawang merah.

Karena ada satu orang yang punya pengetahuan tentang bawang merah yakni Pak Carik (sekretaris desa). Dia mau menularkan ilmunya ke teman-teman desa.

Pemerintah desa juga mendukung rencana penanaman bawang merah ini. Bentuk dukungannya, pemerintah desa sekarang membangun beberapa sumur bor di masing-masing dusun.

Karang Taruna Gari pernah dapat penghargaan nasional. Dalam bidang apa?
Itu bonus terhadap apa yang kami lakukan. Program yang dinilai itu bukan program pertanian tapi program pemanfaatan lahan kritis. Lahan kritis itu lahan bekas tambang. Waktu itu kami bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk membangun pasar di bekas lahan tambang itu.

Teman-teman Karang Taruna waktu melakukan advokasi dan melakukan pendampingan. Ibu-ibu yang ada di sekitar lahan kami tanya kira-kira mau berjualan tidak kalau di lahan itu dibuka pasar. Mereka mau.

Kami lalu membuat pasar dengan konsep pasar kuliner tradisional, kuliner khas Gunungkidul pada 2017. Namanya Pasar Ekologis Argo Wijil. Ini pasar yang berkonsep ekologis atau yang berwawasan lingkungan.

Lahan itu bekas tambang apa?
Bekas tambang batu kapur. Batu kapur itu kan bisa jadi pondasi, gamping. Tapi karena tak terkontrol, lingkungan jadi rusak dan akhirnya dihentikan.

Karena penambangannya tak terkontrol perbukitan itu menjadi semacam danau. Jadi rusak.

Pasar dibuka tiap hari?
Ya pasarnya buka setiap hari dari jam 16.00 sampai 24.00. Intinya di situ itu wedangan.

Tapi yang ramai itu biasanya Minggu. Yang hadir banyak sekali. Bukanya dari jam 06.00 sampai 09.00. Dalam tiga jam itu bisa mendatangkan 600-800 pengunjung.

Di media sosial disebut ada festival pangan. Itu festival panganan tradisional Gunungkidul?
Festival ini arahnya lebih ke proses kegiatan. Proses dari menanam, menyemai sampai memanen. Proses menanam itu butuh waktu 3 bulan. Nanti bisa kita dokumentasikan dan ditayangkan.

Kontribusi untuk PADes dari pasar sampai berapa banyak?
Pasar itu yang mengelola BUMDes. Kalau PAD itu kan kita baru mulai 2017 dan desa belum mau menarik untuk PADes. Begitu juga pada 2018 desa belum mau menarik iuran.

Namun pada 2019 kami mulai menarik iuran tahunan ke pedagangnya. Iuran itu kami gunakan untuk memperbaiki infrastruktur, fasilitas pasar, dan PADes.

Ada resistensi dengan warga/pedagang enggak?
Kalau pun ada yang meremehkan, kami anggap hal yang biasa. Ada yang tidak percaya, ada yang mengaku-aku. Itu hal yang biasa.

Kami hanya ingin melakukan yang terbaik dan masyarakat bersama kami.

18 8 2020 Septian3 Edit

Suara miring itu seperti apa?
Ada yang meragukan. Misalnya bilang apa ya bisa mengelola pasar. Ada juga yang bilang, "kalau saya jual di situ sing tuku demit po (kalau saya jualan di situ nanti yang beli setan).

Mereka bilang begitu karena di situ memang lahan yang wingit (angker). Di situ dulu tumbuh pohon besar namanya pohon joho. Itu ditinggali aneka jenis burung. Tapi sekarang pohonnya sudah tidak ada.

Di situ ada legenda srigala/asu gunung Wijil. Legenda itu sudah mendarah daging di masyarakat.

Pasar ini letaknya di belakang pemukiman penduduk. Itu dikelilingi pasar-pasar. Selatan ada pasar besar, ada taman kuliner, ada pasar karang tengah.

Namun pasar Argo Wijil ini rupanya menjadi perhatian dari pemerintah daerah. Mereka mengaspal jalan di lingkungan pasar itu.

Tanah pasar itu persegi. Itu tanahnya Sultan.

Kenapa memilih nama Argo Wijil?
Karena itu cikal bakal sejarah. Argo itu bukan sekedar gunung tapi gunung yang di dalamnya ada harta terpendam. Kemudian kita simbolkan dengan segitiga. Itu menyimbolkan hubungan sama Tuhan, manusia, dan lingkungan.