Kegelisahan itu berawal pada 2006. Saat itu, Greg baru dua tahun duduk di bangku kuliah Fakultas Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Di kampus ia aktif di sejumlah kelompok diskusi bersama teman-teman kampusnya.

Aktivitas itu berjalan selama dua tahun. Beragam isu dibahas dalam kelompok diskusinya. Karena aktivitasnya, nama Greg cukup dikenal di kampusnya. Ia dan kelompok diskusinya juga merasa hebat.

Merasa hebat di kampus, namun di lingkungannya ternyata apa yang didiskusikan tak punya dampak apapun. Greg gelisah.

"Sebagai calon guru, kami merasa semakin sinau nggetu (belajar tekun), kok kami makin jauh dari masyarakat," kata Greg Sindana.

Kelompok diskusi ini kemudian mengubah pola aktivitasnya, pada 2006. Dari diskusi kini beralih ke aktivitas tulis menulis. Greg dan teman-temannya mencurahkan pemikiran lembaran-lembaran kertas foto kopian yang kemudian disebarkan di sudut-sudut kampus. Selebaran ini diberi nama‘ketjilbergerak’. Namun ide tulisannya mentok sampai edisi kelima. Mereka kehabisan ide.

"Ternyata kami ini belum apa-apa," kata suami Vany, adik kelasnya yang juga aktivis kampus Sanata Dharma itu.

Awalnya mengira masyarakat akan mengenal tapi tetap saja masyarakat tidak mengenalnya. Apalagi masyarakat juga tak merasakan manfaat dari yang didiskusikan.

Pada 2008, peraih Indonesia Best Community Movement Indonesia Community Day(ICD) Kompasiana ini kembali ke model diskusi. Kali ini melibatkan mahasiswa dari fakultas lain. Namun rupanya tetap belum menjawab yang menjadikan kegelisahannya yakni bagaimana agar mahasiswa itu terhubung langsung dengan masyarakat.

Mereka kembali mendiskusikan model gerakan yang dilakukan. Dari diskusi itu kemudian memutuskan mengubah haluan. Mereka memutuskan untuk menggunakan media seni agar bisa terhubung ke masyarakat luas. Haluan yang dipilih ini rupanya mendapat respons baik.

Bagaimana kiprah Ketjilbergerak ini dalam meningkatkan peran pemuda desa? Mahasiswa Community Development & Public Participation The Hague Academy for Local Governance, Belanda, ini membeberkan kiprah gerakannya kepada wartawan Katadesa.id Sigit Djatmiko dan Fajar WH dalam wawancara melalui video online Kamis, 23 Juli 2020 lalu. Petikannya.

30 7 2020 Ketjil1

Ketjilbergerak itu sebenarnya apa sih dan apa yang mendorong Anda membuat gerakan ini?
Ketjilbergerak ini kan sebenarnya komunitas, gerakan organik, tidak ada legal formal, tidak ada struktur. Konsepnya pertemanan, tempat diskusi, tempat sinau.

Awalnya saya dan Vany (yang sekarang menjadi istrinya), kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Saya angkatan 2004, Vany angkatan 2005. Kami ini kan calon guru. Sebagai calon guru, kami merasa semakin sinau nggetu (belajar tekun), kok kami makin jauh dari masyarakat. Kegelisahan itu terjadi pada 2006.

Saya kebetulan cah dolan (anak gaul). Lingkungan saya menganggap kalau sudah kuliah temannya banyak. Tapi saya merasa semakin banyak bergaul, kok tetap semakin jauh dari masyarakat.

Ketika kami keluar dari kampus, masyarakat tak ada yang kenal. Padahal kalau di dalam kampus, kami merasa populer. Kalau diskusi sudah wangun (mumpuni). Tapi kok di luar kampus enggak ada yang kenal, enggak ada yang merasakan manfaat.

Dari keresahan itu, awalnya kami membuat tulisan, terutama soal pendidikan. Tulisan itu kita cetak di kertas buram lalu disebar di kantin kampus. Itu kita anggap sebagai zinc (majalah anderground). Dari situ nama Ketjilbergerak muncul.

Tapi kami hanya bisa menulis sampai lima edisi karena kehabisan ide. Mumet. Kondisi itu menyadarkan kami, yang tadinya kelihatan hebat waktu diskusi ternyata menulis zinc tentang pendidikan sampai lima edisi saja idenya sudah habis. Ternyata kami ini belum apa-apa.

Lalu kami membuat kelompok diskusi lintas fakultas. Ada mahasiswa filsafat, sastra, hukum, sejarah, ekonomi. Dari kelompok itu, kami banyak mendapat masukan. Kita saling memberi sudut pandang.

Dengan model baru itu, apakah langung punya dampak langsung ke masyarakat?
Pada 2008, kami masih merasa kok masalahnya tetap. Bagaimana agar kami bisa terhubung dengan masyarakat itu ternyata belum juga terjawab.

Dari situ akhirnya kami memutuskan tidak bisa kalau hanya sekedar ngobrol, diskusi. Agar kami bisa terhubung dengan masyarakat kami mencoba menggunakan media seni. Kebetulan Yogya kota seni. Kami beranggapan kalau kita menggunakan kesenian masyarakat sudah akrab.

Dengan metode itu kami bisa mempertemukan berbagai elemen dan itu terjadi sampai sekarang.

Lalu pada 2010 dan 2011 teman-teman kampung saya, teman-teman SMA mulai bergabung. Mereka merasa mendapat ruang dan ada kanal ekspresi. Pada tahun 2012, kami kebetulan bertemu Pak Damarjati Supadjar (almarhum), seorang dosen Fakultas Filsafat UGM. Kepada kami, beliau berpesan, "anak muda itu harus kembali ke desa. Anak muda harus mulai menggali nilai-nilai dari desa. Harus mulai dari desa."

Pesan itu kami renungkan. Kami memang harus mendownload ilmu dari orang tua untuk kami sesuaikan dengan masa kini.

Desa mana yang pertama kali dibuat percontohan?
Awalnya kami terjun di Tegal Gendu, Kota Gede dan Wonocatur (dekat JEC) Yogyakarta.

Pada 2012 dan 2013, Ketjilbergerak akhirnya menjadi ruang yang sangat ramai bagi anak muda. Anak kampung juga sering curhat.

Di Wonocatur, ketua pemudanya permasalahan di kampungnya di mana anak mudanya sibuk main game/PS sehingga jarang sekali keluar rumah. Sebagai ketua karang taruna dia risau.

Akhirnya kami bersama teman-teman pegiat sepeda, mengadakan acara di kampung itu dengan nama 17an endemic. Kebetulan saat itu 17 pas Agustusan.

Kami membuat arena di kampung itu. Ada lomba ketangkasan sepeda. Kami melibatkan seluruh kampung. Kami adakan acara tebak-tebakan. Misalnya siapa nama ketua RT 1. Akhirnya mereka saling berdiskusi, siapa sih ketua RT 1. Nah keluarga RT kami minta untuk menyediakan cemilan. Itu menjadi ruang yang sangat menyenangkan.

Kedua, dengan kampung Tegal Gendu. Ini juga ketua pemudahanya curhat mengenai gap-gapan antar pemuda.

Mereka mengundang tim Ketjilbergerak. Lalu kami ke sana. Kami ajak dua kubu itu latihan bermusyawarah ala anak muda. Di desa itu kan banyak rumah yang seharusnya menjadi bangunan heritage malah dijual.

Dalam musyawarah itu akhirnya kami sepakat membuat mural. Taglinenya, "jogo lemahmu, wangunkan budayamu." Mural itu kami buat di dekat pasar. Kami membuat mural dengan foto lama. Ternyata mereka dulu punya kesenian tradisional namanya ketoprak ongkrek. Ketoprak ini dulu menjadi sarana kritik sosial.

Namun pasca 65 kesenian ini tidak ada. Lalu kita ambil salah satu karakter di kesenian itu, namanya Joko Bodo. Dia tokoh yang sering mengkritik kondisi sosial.

Akhirnya orang tua, simbah-simbah yang sering lewat pasar memperbincangkan foto Joko Bodo itu. Orang-orang tua itu sepakat dan mengajak anak-anak muda untuk menghidupkan kembali kesenian itu.

Jadi yang proaktif itu para pemuda bukan Ketjilbergeraknya?
Biasanya sih banyak yang meminta kami.

30 7 2020 Ketjil4

Berapa banyak desa yang pemudanya aktif?
Kami pernah menyelenggarakan sarasehan bersama 394 desa se Yogyakarta. Tapi kalau yang aktif sekolah desa itu di Yogya itu 50 lebih. Kalau Yogya dan Jawa Tengah sekitar 200an.

Aktif itu maksudnya mereka muncul terus di sosial media. Berdiskusi, mereka saling mengunjungi. Mereka juga membuat produk bersama.

Media komunikasi mereka biasanya melalui grup whatsapp. Di Jateng itu mereka seminggu sekali melakukan diskusi namanya sudut pandang. Topiknya lucu-lucu. Terakhr itu rekayasa genetika dalam pertanian.

Apakah setelah Ketjilbergerak turun tangan ada perubahan?
Karena kami ini berkumpul bersama mereka sejak mereka kelas 1 hingga lulus kuliah, perkumpulan kami cair. Di ketjilbergerak itu tidak ada struktur. Kami sinau bareng. Lalu membuat solusi kecil-kecilan.

Kalau tidak ada struktur formal, bagaimana Ketjilbergerak ini menjalin kerja sama dengan lembaga formal seperti KPK dan Kemendes?
Kalau ada acara, misalnya sekolah pemuda desa, itu ada event organizernya (EO). Kami hanya konseptor dan yang punya jaringan.

KPK dan Kemendes itu kan punya kebutuhan untuk melakukan monitoring tapi kan mereka tidak punya jaringan. Nah di situ mereka bekerja sama dengan kami.

Kami punya platform. Kalau kampung, jaringan kampung. Kalau temen-temen desa ini namanya jaringan pemuda desa. Saat ini jaringan pemuda desa ini ada di Yogya dan Jawa Tengah.

Untuk pemuda desa ini kami punya kegiatan rutin namanya sekolah desa. Sekolah desa ini diadakan dua bulan sekali. Modelnya nanti pemuda desa dari beberapa kabupaten itu kumpul di satu desa secara bergantian. Biasanya kalau mereka kumpul itu mereka melihat potensi yang ada di desa itu, dan lain-lain.

Ada sekolah desa, ada sekolah pemuda desa. Apa bedanya?
Kalau sekolah pemuda desa itu kan kerja sama dengan KPK dan Kemendes. Kurikulumnya dibangun bersama dan kita melibatkan desa kira-kira butuhnya apa.

Kalau sekolah pemuda desa ini spesifik yaitu tentang dana desa. Ini setahun sekali. Kami ingin bagaimana temen-teman desa ini paham dana desa dan terlibat dalam pengawasan.

Tujuan sekolah pemuda desa itu agar pemuda desa itu memahami potensi desanya, memahami permasalahan, kemudian mereka bisa memformulasikan, bisa ikut Musrenbang agar ide-idenya ditampung.

Di sekolah ini, pemuda desa mengirimkan proposal ide. Proposal itu nantinya kami pelajari bareng-bareng seberapa paham dia akan potensi desanya, seberapa jauh keterlibatan mereka. Yang kami utamakan karang taruna.

Sementara sekolah desa itu bebas.

Seperti apa kurikulum yang diajarkan di dua sekolah desa itu?
Kalau sekolah desa itu partisipatif. Tergantung kebutuhan teman-teman desa. Nanti didiskusikan di sosial media dan di musyawarahkan ketika bertemu.

Idenya itu kan bagaimana teman-teman desa tidak hanya mengerti di desanya saja tapi juga mengerti desa lain agar mereka punya perspektif yang lebih luas. Kurikulum ditentukan bersama dan didanai dari merchandise penjualan kaos. Keuntungannya itu nanti untuk pembiayaan sekolah desa.

Contohnya, suatu ketika teman-teman ingin mempelajari mengenai IT untuk kemajuan desa, untuk mempromosikan produk-poduk karya orang tua mereka. Akhirnya kami buat yang namanya program "jer basuki mowo IT."

Kami undang pakar-pakar yang memang ahli di bidangnya. Kita tidak mau pakar kelas kaleng-kaleng. Waktu itu kami undang teman dari Telkom di Bandung.

Selain di Jateng dan Yogyakarta, daerah mana yang pemudanya pernah mengikuti sekolah desa?
Sementara masih dua daerah itu. Tapi rencananya mau direplikasi ke daerah lain.

Desa mana yang pemuda desanya awalnya minder lalu percaya diri begitu ikut sekola desa ini?
Misalnya Desa Gari, Gunung Kidul. Pemudanya aktif sekali dan sangat dipercaya oleh desanya. Untungnya kepala desanya komunikatif dan mau mendengarkan para pemuda.

Mereka dipasrahi lahan bekas galian tambang lalu mereka bangun menjadi pasar Argo Wijil, pasar tradisional. Itu populer di Gunung Kidul. Saking terkenalnya, ketua pemuda sekarang menjadi ketua pemuda di Kabupaten Gunung Kidul. Banyak juga teman-teman yang pernah ikut sekolah desa menjadi perangkat desa. Ada carik, dukuh, ketua karang taruna, ketua Bumdes.

Terakhir, teman-teman pemuda di Gari ini membuat riset pola konsumsi pangan desanya yang melibatkan 1.000 lebih KK. Dalam risetnya mereka menemukan, belanja sayur warga Gari dalam setahun ini mencapai Rp 18 miliar.

Akhirnya mereka membuat gerakan menanam tanaman di pekarangan (karangkitri). Konsep lumbung pangan keluarga. Itu kemudian menginspirasi pemuda lain.

Sekarang para pemuda Desa Gari sedang menginisiasi gerakan lumbung data desa. Desa bersama membuat riset yang bisa diakses bersama-sama yang bisa digunakan untuk gerakan.

Berarti kalau mau jadi perangkat desa harus pernah ikut sekolah desa?
Tidak ada syarat itu (tertawa).

Berapa biaya yang dipungut untuk bisa ikut sekolah desa?
Tidak ada pungutan. Semua gratis. Tapi biasanya kalau kami melakukan kegiatan pihak desa mensupport. Biasanya mereka mensupport dari kas desa.

Dari pengalaman Anda, sejauh ini sebenarnya apa persoalan yang dihadapi para pemuda desa itu?
Pertama, mereka itu malu sebagai orang desa karena mereka tidak pernah diarusutamakan dipergaulan pemuda. Kedua, mereka tidak pernah dilibatkan di desa.

Makanya solusi yang kami tawarkan itu yakni mengajak mereka membangun branding desa yang keren. Misalnya, kami membuat sound track. Sekolah desa itu ada sound tracknya. Kaosnya juga keren. Jadi bukan desain kaleng-kaleng. Sekarang mereka punya lagu-lagu sendiri.

Pemuda itu harus punya ruang independen untuk maju. Menurut kami, pemuda harus punya posisi tawar. Posisi tawar melalui apa? Ada tiga. Pertama, pengetahuan. Di sini kami membuat sekolah desa. Sekolah ini platform pendidikan yang kontekstual sesuai permasalahan desa. Kurikulumnya dibangun secara partisipatif oleh mereka.

Kedua, jaringan desa. Sekolah desa ini merupakan penggerak sekaligus output dari sekolah desa. Sekolah desa ini kan terbuka nah nanti pasti banyak yang baru yang datang ke sekolah desa. Nah mereka nanti kan masuk jaringan sekolah desa.

Sekolah pemuda desa harus alumni dari sekolah desa. Artinya mereka harus sudah pernah mengikuti sekolah desa. Itu syarat utamanya.

Ketiga, karya nyata. Karya nyata ini yang terus kita dorong. Kita bikin program-program agar mereka berkarya. Ayo nggawe, ngawe (berkarya, berkarya). Sebenarnya kami ini tukang ngompori, kami ngompori mereka. Kalau mereka tidak membuat karya nyata orang tidak akan percaya. Ngelmu iku kan kelakone nganti laku (menimba ilmu itu harus sampai ada karya yang dihasilkan, melalui pengalaman).

Yang ikut sekolah desa itu rata-rata usia berapa?
Kalau usia 15-30 tahun. Karena masih bisa dolan. Ini kan sangat informal. Kalau sudah enggak bisa guyon aneh.

Untuk pendidikan ya lulusan SMA dan kuliah.

Di Ketjilbergerak ini kan Anda tokohnya, pernah mendapat cibiran dari pemuda desa yang pernah Anda datangi?
Sebagai pendiri iya. Teman-teman tahu bahwa yang awal mendirikan itu kan saya dan Vany. Tapi kami ini tak punya jabatan apapun di sana. Saya tidak mau ditokohkan. Saya tidak punya sosial media. Saya tidak mau teman-teman ini terjebak seperti gerakan yang sudah-sudah. Ketika ada tokohnya dan sentralistik, terus tokohnya melencong terus bubar.

Kami belajar dari yang sudah-sudah kalau organisasinya ada tokohnya nanti berjarak dengan masyarakat. Kami ini kan tolak ukur keberhasilannya belum moncer. Kami ini masih coba-coba.

Soal cibiran, karena yang meminta dari mereka sendiri ya enggak ada. Kalau ada yang ingin membuat permasalahan pasti meraka akan mikir karena kan jaringan kami kuat.

30 7 2020 Ketjil3

Jaringan sudah luas. Apa agenda politik Ketjilberegrak ini?
(Tertawa). Kami tidak punya agenda politik. Makanya tidak ada tokoh.

Saat ada momen politik, Pilkades misalnya, pernah enggak calon meminta dukungan dari Ketjilbergerak?
(Tertawa). Sejauh ini belum ada yang nawari karena kan kami tidak jelas.

Kita ini musyawarah terus. Di sini ini tidak ada yang menentukan kebijakan.

Kalau kita berafiliasi dengan partai atau calon tertentu ya pasti bubar.

Saya itu tidak pada posisi punya power yang kuat. Ngomongi mereka, misalnya. Kalau ada permasalahan ya kami musyawarahkan bareng.

Ketjilbergerak punya modal jaringan. Selain KPK dan Kemendes, lembaga mana yang mengajak kerja sama?
Banyak banget yang nawari kami. Dari nasional sampai internasional. Kapan hari itu BUMN yang menawari kami. Tapi selama kami belum butuh yang kami tidak mau (tertawa).

Mereka minta kami bikin proposal. Lha siapa yang mau bikin proposal. Kami ini kan organik.

Selama ini untuk operasional darimana dananya?
Dari penjualan merchendise. Kan kami gotong royong.

Kami bekerjasama dengan KPK dan Kemendes kan mereka memberi dana. Tapi kan itu melalui musyawarah bareng-bareng.

Yang kami tidak mau itu hubungan top down. Tapi kalau untuk musyawarah bersama dan transparan kami mau.

Dari penjualan merchendise sampai Rp 100 juta?
Enggak sampai. Paling enggak sampai Rp 10 juta. Kan Kalau kegiatan dilakukan dengan gotong royong kami tidak mengeluarkan apa-apa.

Kami pernah ke Jateng naik motor ramai-ramai. Mereka seneng juga. Kalau seneng terus mau gimana (tertawa).

Mungkin karena mereka masih muda jadi mereka senang. Nilai ini yang mau kami tanamkan ke mereka.

Seberapa besar pendapatan dari merchendise?
Lumayan. Kami ini kan punya banyak merchendise. Masing-masing program punya pendaan sendiri. Pokoknya semuanya self funding.

Pendanaan itu atas nama program bukan atas nama Ketjilbergerak.

Ketjilbergerak sendiri juga punya merchandise. Hasil penjualannya bisa untuk bikin lagu atau mural.

Awalnya kan medianya seni, apa sekarang seni masih jadi media?
Kapan hari kami diundang di desa tertinggi di Gunung Sumbing. Namanya Desa Kaliangkrik. Sebutannya Tibetnya Jawa.
Kami diminta pemuda karantuna dan pak dukuh. Lalu kami buat mural namanya "Monggo Pinarak" karena setiap warga di sana itu kalau ketemu selalu bilang monggo pinarik. Nah itu kemudian juga jadi merchendise.

Keuntungan dari penjualan itu, dibagi dua. Kami di Ketjilbergerak ini juga bikin koperasi. Tapi koperasi ini tidak untuk mendanai Ketjilbergerak. Koperasi ini mencetak kaos desa. Keuntungan merchandise tadi untuk koperasi dan kas karang taruna.

Seninya itu harus melibatkan warga dan bermanfaat.

Pendidikan, seni, dan desa tampaknya memang menjadi concern Anda ya?
Keluarga besar saya ini guru. Si mbah saya delapan bersaudara kepala sekolah semua pada tahun 1940-1950an. Orang tua saya guru, Pakdhe saya guru. Saya sekolah guru tapi kok ndilalah (kebetulan) saya enggak bisa menjadi guru sekolah formal. Tapi bagi saya guru itu ya seperti yang saya lakukan ini.

Dulu si Mbah Buyut saya itu kepala desa dan pegiat kesenian desa. Lingkungan keluarga besar saya itu dekat dengan desa, kesenian rakyat, dan guru.

Konsepnya sebenarnya kami ambil dari Tripusatnya Ki Hajar bahwa pendidikan disokong oleh tiga pilar. Satu, keluarga. Kedua, sekolah formal. Ketiga, pergerakan pemuda. Kami ambil yang ketiga.

Ke depan apalagi yang akan dilakukan?
Melalui Kongres Kebudayaan Desa itu kami ingin bagaimana dalam kebijakan RPJMDes pemuda ini mendapatkan ruang di mana desa sebagai laboratorium pemuda. Pemuda ini kan sudah punya bekalnya. Nah ruangnya harus ada. Mereka harus diberi ruang untuk mengelola tiga potensi utama desa. Air bersih, udara besih, dan pangan sehat. Biar teman-teman desa punya inovasi.

30 7 2020 Ketjil2