Sungai itu terletak di antara rumah-rumah warga Desa Sawai. Airnya bening. Pinggir sungainya dikeramik bak kolam renang.
Warga menyebut sungai itu dengan Air Asinahu. Sungai ini menjadi ruh warga setempat. Di sungai itu warga melakukan aktivitas, dari sekedar mencuci, mandi, atau sekadar main.
Sungai ini bersumber dari air bebatuan yang adi tebing desa itu. Sungai yang bercabang-cabang ini bersumber dari bebatuan di daerah tebing menuju hutan yang berbatasan langsung dengan Desa Sawai. Dinamakan Asinahu karena air sungai kerap tercampur air laut kala pasang. Airnya yang bening menjadi pesona tersendiri.
Namun Sawai bukan hanya Asinahu. Di desa ini Anda juga bisa menikmati elok pantai Ora. Pantai ini menawarkan pemandangan air laut dengan gradasi warna berlatar belakang bukit menjulang tinggi dan langit biru membentang.
Bagi yang suka snokling, Anda bisa mampir ke Hatu Supung (batu yang licin, gundul, dalam bahasa lokal). Mengutip Kompas.com, snorkling di sini seperti melihat ke dalam kaca karena beningnya air yang ada. Koral berbagai warna juga berkumpul di sini.
Cuma itu? Tentu tidak. Anda juga bisa mampir melongok Pulau Raja atau yang disebut Pulau Marsegu (kelelawar). Pulau ini awalnya digunakan para raja untuk perkebunan tapi sekarang dijadikan sebagai hutan konservasi bakau dan habitat kelelawar.
Di Pulau ini Anda bisa pergi ke hutan Morite. Di sini nanti akan ada Adan bisa menaiki pohon kayu besi setinggi 45 meter. Di atas pohon Anda bisa bersantai sambil melihat burung mata merah, betet kelapa, burung kakak tua, bahkan melihat burung rangkong secara sekilas di Taman Nasional Manusela.
Desa Sawai memiliki luas sekitar 15 hektare. Lokasinya berdekatan dengan Taman Nasional Manusela. Sebagian besar warga Desa Sawai bermata pencaharian sebagai nelayan, ada juga yang berkebun dengan hasil palawija dan buah-buahan.
Konon, Sawai merupakan desa tertua di Maluku. Tak ada literatur resmi memang yang menyebutkan itu. Namun menurut cerita warga setempat, Desa Sawai pertama kali dibangun para saudagar Arab yang datang ke pulau Seram jauh sebelum masa Spanyol, Portugis.
Bisa jadi cerita itu benar. Sebab, mengutip Indonesiakaya.com, banyak jejak yang masih ada di desa itu. Misalnya budaya masyarakat Sawai banyak dipengaruhi dari kebudayaan Arab seperti musik gambus, baju gamis. Bahkan beberapa warga terlihat berhidung mancung dan wajah seperti orang Arab.
Selain itu, banyak rumah warga Sawai yang berarsitektur Mediterania dan Eropa.
Namun tak mudah memang menuju desa ini. Bila Anda ingin ke Sawai, Anda harus siap-siap berganti-ganti alat transportasi.
Pertama, Anda terbang dengan pesawat ke bandara Pattimura, Ambon.
Dari bandara, perjalanan dilanjutkan menggunakan taksi menuju pelabuhan Tuleha. Dari pelabuhan Tuleha, Anda harus berganti menggunakan kapal ferry ke Pelabuhan Amahai di Pulau Seram.
Sesampai di Amahai, Anda bisa menyewa mobil untuk menuju Horale, daratan terakhir sebelum mencapai Sawai. Dari Amahai kira-kira butuh waktu tiga jam untuk sampai Horale.
Tiba? Belum. Anda masih harus berganti menggunakan perahu nelayan untuk menuju Sawai. Lelah? Sebagian orang mengatakan tidak. Karena sesampai di Sawai rasa lelah itu akan terbayar dengan pesona alam yang ada di desa itu.
Sawai memang menawarkan pesona tersendiri bagi yang ingin mengunjunginya. (FJR)