Pria gondrong 38 tahun itu tadinya berjualan tahu keliling di seputar desanya. Sesudah ditekuni sekian lama, usahanya ini ternyata tak membuahkan hasil.

"Saya bangkrut karena dagangan saya banyak diutang," tutur Paidi, nama pria itu, dalam acara Kick Andy yang pernah tayang pertengahan 2019 lalu.

Gagal berdagang tahu, warga Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, ini lantas banting setir jadi pemulung, berdagang barang bekas. Profesi ini pun, lagi-lagi, berujung bangkrut.

Dua kali gagal menjalankan usaha, Paidi disarankan oleh temannya agar mencoba peruntungan dengan jadi petani. Bercocok tanam porang. Tak disangka, tanaman yang semula tak terlalu populer inilah yang kemudian mengubah nasib Paidi.

Porang atau amorphophallus muelleri adalah jenis tanaman umbi-umbian. Umbi porang bisa menyebabkan gatal jika terkena kulit, apalagi jika dikonsumsi tanpa tahu cara mengolahnya. Itulah sebabnya, sebagai penghasil umbi, porang kalah populer dibandingkan, misalnya, kentang, singkong, ubi, atau talas.

Meski kurang populer, nilai ekonomi porang ternyata jauh melampaui jenis-jenis umbi lainnya. Porang sangat diminati di pasar ekspor. Umbi porang sangat dibutuhkan oleh industri pengolahan pangan sebagai bahan baku shirataki, konnyaku, beras analog, dll.

Porang juga dibutuhkan oleh industri kosmetika, obat-obatan, bahkan industri dirgantara.

Kandungan glucomannan pada umbi porang, misalnya, adalah bahan baku pembuatan kapsul. Tepung porang pun dikenal memiliki indeks glikemik rendah sehingga bermanfaat menekan peningkatan kadar glukosa darah sekaligus mengurangi kadar kolesterol.

Nilai ekonomi porang sebetulnya sudah diketahui sejak lama, terutama di seputar area hutan industri di Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun. Semula, warga hanya mengambil porang yang tumbuh liar di hutan yang dikelola Perhutani untuk dijual ke eksportir.

Tanaman ini kemudian mulai dibudidayakan warga sejak tahun 1970-an, di sela-dsela pepohonan hutan, melalui sistem bagi hasil dengan Perhutani. Bertahun-tahun warga meyakini bahwa porang hanya dapat tumbuh dengan baik di tempat teduh, di bawah naungan dan sela-sela pepohonan hutan.

Ketika Paidi mulai coba-coba membudidayakan porang pada 2010 untuk mengubah nasib, ia mencari bibit dari hutan di Kecamatan Saradan itu untuk ditanam di desanya, di Kecamatan Kare. Mengikuti kebiasaan menanam Porang yang sudah lazim, ia pun membudidayakan Porang di tempat teduh, di sela-sela tegakan. Ternyata hasilnya tak memuaskan.

Petani gondrong yang gigih ini tidak menyerah. Ia berusaha menggali pengetahuan dari Internet mengenai kemungkinan lain untuk membudidayakan porang.

Paidi lalu mencoba menanamnya di hamparan terbuka, menyimpang dari kebiasaan. Hasilnya mengejutkan. Tanamannya bukan hanya tumbuh lebih subur, umbinya lebih besar, bahkan masa panennya pun jauh lebih cepat dibandingkan cara tanam di bawah teduhan. Paidi menyebut caranya membudidayakan porang ini "revolusi pola tanam baru".

Dengan cara budidaya konvensional, 1 hektare lahan hanya bisa menghasilkan umbi porang antara 7 hingga 9 ton. Sementara, dengan revolusi pola tanam ala Paidi, 1 hektare bisa menghasilkan hingga 80 ton.

Selain itu, jika memakai cara lama, porang baru bisa dipanen paling cepat setelah 3 tahun. Sedangkan dengan memakai cara Paidi, porang sudah bisa dipanen hanya dalam waktu 6 bulan hingga 1,5 tahun.

Memakai cara penanaman intensif ala Paidi, lahan 1 hektare dapat ditanami 40.000 bibit porang. Dalam jangka 1,5 tahun, tiap tanaman akan menghasilkan umbi rata-rata seberat 2 kilogram. Jadi, total keseluruhan panennya adalah 80.000 kilogram alias 80 ton. Jika harga porang per kilogram Rp 10 ribu, berarti omzet per hektarenya mencapai Rp 800 juta.

Tak hanya menghasilkan umbi yang terpendam dalam tanah, porang juga menghasilkan semacam buah yang biasa disebut "katak" atau "bulbil". Wujudnya mirip umbi tetapi berukuran kecil-kecil, muncul di cabang-cabang porang. "Katak" ini juga bisa dipanen dan dijual sebagai bibit.

Cara penanaman baru yang dipelopori Paidi dengan demikian hasilnya berlipat ganda jika dibandingkan cara lama.

Menurut Paidi, cara baru ini sangat dibutuhkan petani porang agar bisa mengejar permintaan pasar. Kebutuhan industri global atas porang saat ini sudah mencapai 200 ton per hari.

Tak hanya memelopori cara tanam baru, berkat ketekunannya memanfaatkan Internet, Paidi juga berhasil menembus pasar luar negeri dan mendapatkan importir dari Tiongkok.

"Tidak mengeri bahasanya. Saya terjemahkan pakai Google," tutur Paidi di acara Kick Andy.

Sejak berhasil membudidayakan dan memasarkan umbi gatal itu, nasib Paidi berubah total. Ia kini seorang miliarder. Paidi memanfaatkan hingga 10 hektare lahan untuk ditanami porang. Tak hanya bercocok tanam, Paidi juga menjadi pengepul porang dan mengibarkan bendera usahanya sendiri, PT Paidi Indo Porang, yang mempekerjakan puluhan karyawan.

Tak ingin sukses sendirian, Paidi pun membagikan ilmunya kepada sesama warga Desa Kepel dan sekitarnya. Ia bahkan juga rajin mengunggah video yang mengajarkan berbagai seluk-beluk budidaya porang di kanal YouTube-nya, Paidi Porang Official.

Keberhasilan Paidi bertanam porang kemudian menular ke sesama warga desa. Kesejahteraan warga jauh meningkat. Tak beda dengan Paidi sendiri, kampung halaman Paidi ini pun ikut tenar, disambangi banyak tamu dari berbagai daerah yang ingin belajar budidaya porang.

Para petani porang Desa Kepel, yang tergabung dalam Kelompok Tani Sarwo Asih, kemudian berinisiatif mendirikan pusat studi porang Indonesia yang menyediakan paket-paket pembelajaran budidaya Porang.

Sukses menjadi penghasil umbi porang yang diminati pasar global dan menyejahterakan warganya, Desa Kepel berhasil menyabet juara pertama lomba desa se-Jawa Timur tahun 2019 dan juara ketiga lomba desa tingkat nasional tahun 2019. (SJ)