Jika Anda mengisi liburan akhir tahun ini ke Semarang, jangan lupa mampir ke Curug Tujuh Bidadari. Objek wisata alam yang dibuka pada pertengahan 2010 ini terletak di Dusun Keseneng, Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Curug ini berada persis di ujung Kabupaten Semarang yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal. Curug ini memiliki keunikan yakni tiga tingkatan dan tujuh air terjun dengan ukuran yang berbeda.
Cerita yang berkembang di desa itu menyebut, konon dulu sejumlah bidadari pernah mampir untuk mandi di curug itu. Wajar saja jika bidadari itu kesengsem dengan curug ini. Airnya jernih, segar, dan udaranya sejuk.
Mitos perempuan cantik berambut panjang dari kayangan mengiringi cerita keindahan air terjun yang oleh warga sekitar disebut sebagai "Tujuh Bidadari".
Mengutip Kompas.com, cerita turun-temurun ini memang layak mewakili kesegaran air yang jatuh dari sela-sela batu Kali Banteng tersebut. Air terjun yang terletak di sebelah barat objek wisata Bandungan ini masih alami.
Jalan setapak tanah yang berada di antara rindangnya pohon bambu mengantarkan perjalanan menuju lokasi air terjun.
Baca juga: Mamak-mamak Pemantau Anggaran Desa
Air terjun tiga susun dengan ketinggian masing-masing sekitar tiga meter ini dikelilingi pohon dengan pemandangan terasering persawahan.
Tidak jauh dari tempat itu, gemericik air di pertemuan dua sungai, yaitu Kali Beringin dan Kali Banteng, memecah kesunyian. Curug ini berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (dpl).
Lokasi yang tenang tanpa bising dan polusi kendaraan atau sesaknya pedagang kaki lima membantu menghilangkan penat dari rutinitas.
Sebagian besar warga Desa Keseneng menjadi petani, baik sawah ataupun tegalan. Desa Keseneng memiliki luas sekitar 228,252 hektare dengan penduduk sekitar lebih dari 1.500 jiwa.
"Bagi kami, curug, sungai dan pemandangannya ya hal biasa karena setiap hari warga di sini bisa lihat," ujar Sekretaris Kelompok Desa Wisata Curug Tujuh Bidadari Mursalim seperti dilansir republika.co.id.
Menurut Mursalim, awalnya warga setempat tidak menyangka jika keberadaan curug itu bisa menjadi rezeki dan perubahan bagi desanya. Semangat warga untuk mengubah nasib dan memajukan desa itu didukung jajaran Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang yang memberikan pendampingan atas pemanfaatan tempat itu menjadi objek wisata.
Baca juga: Sejumlah Desa Bersiap Menyambut Kejuaraan MotoGP 2021
Desa ini sebelumnya merupakan desa tertinggal dengan pendidikan warganya yang sebagain besar hanya lulusan sekolah dasar (SD). Kekuatan untuk bangkit dari desa tertinggal itu diwujudkan warga dalam gotong royong berbagi tenaga, pikiran dan juga dana untuk mempercantik curug agar membuat banyak wisatawan semakin terpesona dengan keindahannya.
Secara mandiri warga setempat mulai mengembangkan Curug Tujuh Bidadari menjadi objek wisata alam dengan mengumpulkan modal secara kolektif. Mereka kemudian menyiapkan berbagai infrastruktur penunjang dan pembenahan jalan di sekitar curug untuk memudahkan para pengunjung.
Dengan semangat itu, warga ingin desanya makmur dan mandiri. Pemerintah desa juga membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Keseneng 2011-2015 untuk memajukan objek wisata itu.
Pengelola dan warga bahu membahu membuat sejumlah paket wisata yang menarik agar lebih banyak wisatawan yang berkunjung. Bahkan tinggal selama beberapa hari di rumah penduduk yang dijadikan homestay.
Sejak dibuka, rata-rata pengunjung yang datang mencapai sekitar 2-3 ribu orang per bulan. Harga tiket masuk seharga Rp 4.000 per orang untuk Senin-Jumat dan Rp 5.000 pada akhir pekan.
Baca juga: Ini Tiga Prioritas Penggunaan Dana Desa 2021
Hasil dari penjualan tiket itu digunakan untuk pendapatan desa yang digunakan bakti sosial, santunan anak yatim, dan uang kas masjid sebagai dana pembangunan masjid.
"Jadi ya semua warga tentu bisa merasakan, dan ini sudah berjalan dari awal sampai sekarang," Mursalim.
Ke depan mereka akan berkolaborasi dengan sejumlah tempat wisata sekitar seperti Objek Wisata Candi Gedongsongo. Rencananya, mereka akan membuat paket atau rangkaian kunjungan wisata dengan desa-desa sekitarnya.
"Kami berpegang bahwa objek wisata tidak boleh saling mematikan," kata Mursalim.