Sampah adalah petaka. Bau, mencemari lingkungan, menjijikkan, dan lainnya. Begitu setidaknya pandangan bagi kebanyakan orang. Itu tak salah. 

Benarkah demikian? Bagi warga Desa Randupitu, Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sampah justru membawa berkah. 

Mengutip mongabay.co.id, Kepala Desa Randupitu, M. Fuad menuturkan selama ini sampah selalu menjadi persoalan akut di desanya. Selain membuang secara sembarangan, warga juga kerap membakar sampah-sampah itu. Aroma tak sedap pasti muncul. “Kondisi desa kotor, sungai penuh dengan sampah,” katanya.

Fuad berpikir keras mencari solusi. Solusi itu ditemukan di 2017. Saat itu ia bertemu dengan pegiat dari Forum Komunikasi Peduli Lingkungan (FKPL) bernama Ahmad Fotoni. Kepada Fatoni, ia menyampaikan keresahannya itu.

Gayung bersambut. Fatoni mau memberi pendampingan. Fuad riang. Segera setelah itu ia ajak sejumlah warga untuk ikut menangani masalah lingkungan itu. 

Ajakan itu disambut sejumlah warga. Lalu, Fuad membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Pemuda Peduli Sampah (Pempes). Setelah mendapat pendampingan, KSM Pempes mulai bergerak mengumpulkan sampah dari rumah warga. Itu dilakukan dengan suka rela.

Mereka bergerak menggunakan mobil bak pribadi milik Fuad. Langkah itu mereka lakukan tiada henti.

Kerja keras yang dilakukan Fuad bersama KSM Pempes membawa hasil. Gerakan itu mencuri perhatian warga. Lingkungan jadi bersih.

Akhirnya Fuad berembuk dengan warga. Dalam rembuk itu, Fuad dan KSM Pempes meminta masyarakat membuang sampah di tempat yang telah disediakan dan memilahnya. 

Sebagai  gantinya, warga diminta membayar iuran Rp15.000 perbulan. Warga tak keberatan. KSM Pempes tambah semangat. 

Melihat antusiasme warga, pemerintah desa mengalokasikan anggaran khusus untuk pembelian peralatan, dan pembangunan infrastuktur. Jika dihitung, sejak 2021 hingga saat ini, anggaran yang sudah dialokasikan pemerintah desa sudah mencapai lebih dari Rp600juta.

Mengutip mongabay.co.id, Ketua KSM Pempes, Harinono menuturkan, sampah warga yang dikumpulkan itu dipilah-pilah. Sampah basah (organik) diubah menjadi kompos. Sedangkan sampah kering (anorganik) dijadikan RDF (refuse derived fuel) untuk pengganti bahan bakar batubara. RDF ini kemudian dijual ke sejumlah perusahaan.

Di sini kita bisa menyimpulkan, bahwa persoalan sampah bisa diselesaikan di level desa. (*)