Papua tak hanya Freeport. Mereka hampir punya segalanya, alam, budaya, dan adat istiadat. Budaya dan adat istiadat di Papua rata-rata masih terjaga.

Seperti yang ada di Kampung Sombokoro, sebuah desa di Distrik Wandesi, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Kampung ini berada di Taman Nasional Teluk Cendrawasih.

Ada yang menarik di kampung ini. Dari zaman leluhurnya hingga sekarang, warga kampung ini punya kearifan lokal untuk menjaga lingkungannya, terutama laut. Agar ekosistem laut tidak rusak, mereka punya aturan yang disebut sawora. Di kampung lain ada yang menyebutnya Sasi dan Kadup.

Sawora pada prinsipnya merupakan larangan pengambilan sumber daya tertentu pada waktu tertentu. Tujuannya, memberi keuntungan kepada yang membuat sawora. Sawora dalam bahasa setempat berarti sumpah tempat.

Mengutip wwf.id, dalam pengelolaan sawora di tempat ini, terdapat masa buka dan masa tutup. Masa buka diartikan sebagai masa pemanfaatan diperbolehkan dilakukan. Sedangkan masa tutup diartikan masa di mana penerapan pelarangan pada wilayah sawora dilakukan.

Di Kampung Sombokoro penerapan sawora berlangsung selama 2 tahun. Aturan ini melarang penggunaan cara/alat tangkap yang tidak ramah lingkungan serta ukuran tangkapan yang tidak diperkenankan. Seperti tidak boleh menangkap ikan yang sedang bertelur dan ikan berukuran kecil.

Sawora erat kaitannya dengan keberlangsungan ekosistem dan biota laut yang ada. Aturan sawora ini memang bertujuan untuk melindungi sumber makan mereka dan keberlanjutan ekosistem dan biota yang ada.

Keserasian hidup dengan alam memang memang sangat lekat di Kampung Sombokoro. Ada cerita tentang hidup serasi dengan alam ini. Cerita turun-temurun mengisahkan, ketika warga sakit atau terluka, tetua adat akan menggelar ritual memanggil ular. Ular inilah nantinya akan menjilati luka si sakit lalu sembuh.

Cerita itu menyiratkan makna bahwa sejak lama warga mempercayai kekuatan Tuhan dalam mengatur alam. Logika itu pula yang mendasari lahirnya sawora. "Kalau melanggar, Tuhan kasih sakit atau meninggal,” kata Samuel Urbon, salah satu warga yang mendengar cerita tentang sawora ini dari ayah dan neneknya seperti dinukil Kompas.id.

Ada cerita pendatang yang melanggar sawora ini. Karena mereka menangkap ikan yang diterapkan aturan sawora, akhirnya mereka meninggal.

Kepala Desa Sombokoro Ismael Nunuari, membenarkan cerita itu. Katanya, dulu ada beberapa warga Madura dan Buton yang mengebom ikan di kawasan sawora. Ketika hendak mengambil hasilnya, mereka menyelam, tetapi tidak pernah lagi muncul ke permukaan. Cerita itu pun menyebar di kalangan warga dan mereka meyakini nelayan tadi tewas lantaran Tuhan marah.

Karena punya potensi alam yang luar biasa, mereka tak ingin menyia-nyiakannya. Ismael mengajak warganya untuk menjadikan keindahan pemandangan biota laut sebagai nilai tambah. Ini sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga selain sebagai nelayan. Tentu tetap dengan menjaga lingkungan.

Di sini pendatang bisa menyelam atau snorkeling atau bisa juga melihat hiu paus (Rhincodon typus). Ikan terbesar di dunia yang panjangnya bisa mencapai lebih dari 12 meter.

Agar pengunjung bisa bermalam, desa ini juga menyediakan homestay yang dikelola BUMDes. Mereka juga akan mengembangkan kerajinan lokal yang nantinya bisa dibeli pengunjung.