Belajarlah kearifan lokal ke Ngata Toro. Sebuah Ngata (desa) yang ada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Desa ini berjarak sekitar 120 kilometer dari Palu, ibu kota Sulteng atau sekitar tiga jam perjalanan.

Area Ngata Toro terletak di lembah, dikelilingi pegunungan dengan hutan rimbun. Selain permukiman, area itu menampakan hamparan sawah dan kebun.

Di desa ini kita bisa menyaksikan bagaimana warga desa masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya. Warga desa ini sangat ketat memproteksi lingkungan alamnya.

Lingkungan di desa ini sangat terjaga. Aturan adat Ngata Toro, telah membagi tujuh area tradisional, dari Wana Ngkiki (zona inti) sampai Kaharua (halaman rumah, area privat).

"Kalau Wana Ngkiki terganggu, Kaharua juga terganggu. Wana Ngkiki itu di gunung, Anda bayangkan kalau gunung gundul, rumah dan persawahan kami bisa tenggelam karena banjir," kata Andreas Lagimpu, totua adat Ngata Toro seperti dilansir Lokadata.id.

Larangan menebang berlaku di Wana Ngkiki. Di area lain, haram hukumnya menebang pohon yang hidup di kemiringan 40-50 derajat.

Lembaga adat punya peran sentral dalam menjaga nilai-nilai warisan leluhur. Mereka akan memberikan sanksi kepada siapa saja yang melanggar.

Ada tiga klasifikasi denda yang bisa diterapkan. Sanksi ringan bayar denda 1 ekor kerbau, 10 dulang, dan 1 sarung; sanksi sedang mesti membayar 2 ekor kerbau, 20 dulang, dan 2 sarung; Sanksi berat harus berbalas 3 ekor kerbau, 30 dulang, dan 3 sarung.

Menurut pengakuan salah seorang tetua adat, demikian Indonesiakaya.com menulis, masyarakat Desa Toro sejak dulu sudah menggantungkan hidupnya pada dua nilai moral, yakni hintuvua dan katuvua.

Hintuvua merupakan nilai-nilai moral dalam membangun hubungan antar sesama manusia yang dibangun berlandaskan cinta, penghargaan, solidaritas, dan musyawarah. Sedangkan, katuvua merupakan nilai-nilai ideal tentang pola hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang didasari pada keselarasan pola hidup dengan alam.

Dua nilai inilah yang membuat lingkungan alam desa ini terjaga sampai sekarang. Nilai itu juga diterapkan warga di dunia pertanian. Desa ini dikenal sebagai penghasil padi. Mereka punya padi unggulan. Namanya padi Kamba dan padi Kanari.

Dua nilai, hintuvua dan katuvua, itu juga mereka terapkan saat menanam padi. Karena menerapkan nilai-nilai itu tidak salah jika Desa Toro mempunyai hasil panen yang baik sehingga menjadi lumbung padi bagi Kabupaten Sigi.

Sebagai ungkapan rasa syukur, warga Desa Toro mempunyai ritual adat. Ritual hari panen raya disebut vunja ada mpae. Ritual ini diawali dengan pembicaraan antara para tetua desa dengan orang-orang yang berwenang merancang segala kegiatan seputar pertanian (tina ngata).

Orang-orang yang tergabung dalam tina ngata adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang ilmu perbintangan, sehingga bisa menjadi pedoman dalam memutuskan berbagai hal yang berkaitan dengan pertanian, pengolahan ladang, dan sawah.

Hasil perbincangan para tetua adat dengan tina ngata kemudian disebarkan kepada masyarakat desa. Setelah berita akan dilaksanakannya perayaan vunja ada mpae menyebar, para tetua adat dan tina ngata bertemu kembali untuk menentukan hari dilaksanakannya perayaan.

Setelah hari perayaan ditentukan, dilaksanakanlah maeko. Maeko adalah acara mengundang masyarakat desa tetangga untuk turut serta dalam perayaan vunja ada mpae. Maeko merupakan salah satu implementasi dari nilai hintuvu yang diajarkan oleh para leluhur Desa Toro dalam kehidupan bermasyarakat.

Pada perayaan ini, masyarakat desa bergembira menikmati hidangan yang telah tersedia, berupa kue-kue dan hasil kebun. Perayaan vunja ada mpae juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk berbaur dengan para tetua adat –yang mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit kayu yang disebut mbesa.

Sebelum acara, tetua adat memimpin doa disusul tabuhan giam (gendang) yang dilanjutkan dengan kemunculan para penari raego. Tari raego merupakan tari sakral yang hanya dipentaskan saat perayaan vunja ada mpae.

Vunja ada mpae merupakan upacara adat yang lekat hubungannya dengan ciri masyarakat nusantara yang agraris. Perayaan hasil panen tersebut merupakan representasi dari kearifan lokal masyarakat Desa Toro terhadap alam dan sesama manusia. Selain juga ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah.

Nilai-nilai luhur itu tetap terjaga sampai sekarang. Agar nilai itu tetap lestari mereka meneruskannya ke anak-anak melalui Sekolah Alam “Tondo Lino Ngata Toro” (penjaga semesta Ngata Toro).

Sekolah yang didirikan pada 2014 itu menjadi pelengkap sekolah formal. Sekolah ini berlangung setiap Sabu-Minggu.

Pendirinya adalah Said Tolao (69), seorang pengawas hutan adat atau Tondo Ngata. Said mengaku terpanggil mengajarkan nilai adat dan konservasi lingkungan kepada anak-anak kecil.

Sekolah itu punya 40-an murid, rerata usia sekolah dasar. Sebagai pengajar, lembaga adat menunjuk beberapa tetua dan pemuda.