Kaum perempuan dan anak-anak sering kali adalah kelompok yang rentan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Di berbagai negara, kaum perempuan dan anak-anak kerap menjadi korban kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi.
Oleh sebab itu, memastikan bahwa perempuan dan anak-anak mendapatkan perhatian khusus dalam pembangunan adalah suatu keharusan sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia.
Pembangunan yang peduli kepada kelompok perempuan dan anak-anak merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa hak-hak mereka diakui dan dilindungi. Selain itu, kepedulian ini juga merupakan kunci untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Investasi dalam kesejahteraan perempuan dan anak-anak memiliki dampak jangka panjang yang luas. Perempuan yang sehat, terdidik, dan diberdayakan cenderung memiliki keluarga yang lebih sehat dan sejahtera. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang mendukung lebih mungkin untuk mencapai potensi mereka secara penuh dan menjadi kontributor positif bagi masyarakat di masa depan.
Prinsip pembangunan seperti itu itu juga berlaku dalam proses pembangunan di desa.
Kurang-lebih, dalam konteks seperti itulah, pada November 2020 silam, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mendeklarasikan program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Bekerjasama dengan Kementeruan Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kementerian Desa PDTT) dan berbagai lembaga lain, program ini masih berjalan hingga kini.
DRPPA adalah desa atau kelurahan yang berperspektif gender dan hak anak dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, berkelanjutan, sesuai dengan visi pembangunan Indonesia.
Menurut Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, sekitar dua pertiga penduduk desa adalah perempuan dan anak. Jumlah penduduk Indonesia sebesar 270 juta jiwa, di mana 43 persen tinggal di desa (BPS, 2020). Sekitar 49,5 persennya adalah perempuan, dan sekitar 30,1 persennya adalah usia anak (di bawah usia 18). Mereka dengan total 65 persen akan menjadi modal besar dalam pencapaian kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, termasuk SDGs.
Terdapat 10 indikator DRPPA, yakni:
1. Pengorganisasian perempuan dan anak agar dapat memberikan peran dalam pembangunan desa/kelurahan;
2. Penyusunan data terpilah;
3. Peraturan desa dan kebijakan kelurahan yang ramah perempuan dan anak;
4. Adanya pembiayaan dari keuangan desa dan pendayagunaan aset desa untuk mewujudkan DRPPA melalui pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di desa;
5. Keterwakilan perempuan di struktur desa/kelurahan, BPD, dan Lembaga Adat Desa;
6. Desa melakukan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif gender yang dibarengi dengan proses membangun kesadaran kritis perempuan;
7. Semua anak mendapatkan pengasuhan yang baik berbasis hak anak;
8. Tidak ada kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtPA) dan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO);
9. Tidak ada pekerja anak; dan
10. Tidak ada anak yang menikah di bawah usia 18 tahun (perkawinan usia anak).
Implementasi DRPPA dimulai pada tahun 2021 di 10 desa percontohan. Kemudian, pada tahun 2022, Kementerian PPPA mengembangkan DRPPA di 132 desa sehingga totalnya menjadi 142 desa. Terakhir, menurut laporan Antara, hingga April 2024, tercatat sebanyak 1.967 desa dan kelurahan yang telah berkomitmen serta mengimplementasikan DRPPA. (SJ)