Di tengah pandemi Covid-19, Karang Taruna Mekar Pandega Desa Gari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta membuat terobosan. Saat pagebluk Korona melanda negeri ini, mereka melakukan survei. Survei yang dilakukan secara sederhana ini ingin mengetahui tingkat konsumsi pangan warga Desa Gari.

Dari 6.000an warga, mereka mengambil 1.904 responden. Respondenya semuanya warga Gari. Ada 16 kebutuhan pangan yang dimasukkan dalam daftar barang yang disurvei.

Hasil survei yang dilakukan pada 21-23 April lalu itu cukup mengejutkan. "Ternyata kebutuhan pangan warga Desa Gari dalam setahun mencapai Rp 18.802.075.000," ujar Ketua Karang Taruna Mekar Pandega Desa Gari, Septian Nurmansah kepada Katadesa.id pekan lalu. (Baca: Ketua Karang Taruna Desa Gari, Septian Nurmansah: Kami Tidak Terlalu Berharap Adanya Bantuan).

Dari 16 jenis barang konsumsi itu, beras menempati urutan pertama yang banyak dibeli warga. Dalam setahun warga Desa Gari membutuhkan 505.040,64 kilogram dengan total nilai Rp 5 miliar lebih. Urutan kedua ada ayam. Total belanja daging ayam dalam setahun mencapai Rp 2,3 miliar lebih untuk 91.295,04 kilogram. Urutan ketiga belanja bawang merah dengan total nilai Rp 2 miliar lebih.

11 8 2020 Data Pola Konsumsi Pangan Gari edit

Menurut Septian, setelah mengetahui kebutuhan pangan itu mereka mencari solusi. Mereka lalu berembug dengan perangkat desa. Mereka usul agar dilakukan gerakan menanam sayur kebutuhan pangan yang sering dibeli itu. Dengan cara itu, kata dia, paling tidak menekan pengeluaran warga desa.

Perangkat desa sepakat. Kepala Desa kemudian memberi modal Rp 7 juta untuk membeli bibit sayuran. Bibit-bibit itu kemudian dibagikan secara gratis kepada warga yang membutuhkan. "Ada terong, cabai, kangkung, tomat," ujar Septian yang sehari-hari bekerja sebagai pengajar di sebuah SMA di Gunungkidul ini.

Masyarakat menyambut baik gerakan mereka itu. Bahkan beberapa warga menginisiasi menanam bibit di luar yang dibagikan.

"Pak Lurah bilang, 'mangan opo sing ditandur, nandur opo sing dipangan (makan apa yang ditanam, menanam apa yang dimakan)," ujar lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) jurusan Seni Rupa 2015 Yogyakarta ini.

Dengan gerakan ini, Septian berharap, setidaknya masyarakat tidak lagi mengeluarkan uang untuk membeli beberapa kebutuhan sayur itu.

Ke depan Septian berangan-angan, pihaknya bisa memetakan daerah-daerah mana saja yang bisa dijadikan sentra-sentra tamanan pangan itu. (FJR)