Namanya Maria Loretha. Ia biasa dipanggil Mama Tata. Namun, karena perjalanan hidupnya bertahun-tahun belakangan ini sangat lekat dengan sorgum, ia juga kerap dipanggil Mama Sorgum. Perempuan 51 tahun ini memang pelopor budidaya sorgum di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).   

Sorgum adalah tanaman pangan alternatif. Tanaman ini dapat menggantikan peran padi sebagai penghasil makanan pokok, di wilayah-wilayah tertentu yang tidak cocok ditanami padi. Sebagai tanaman pangan, sorgum bahkan memiliki sejumlah keunggulan dibanding padi, baik dari segi budidayanya maupun kandungan nutrisinya. 

Sorgum dapat tumbuh di lahan kritis, tandus, atau kering, seperti umumnya lahan di NTT. Membudidayakan sorgum dengan begitu juga berarti menciptakan ketahanan pangan lokal. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang lahannya kekurangan air tetap dapat memproduksi makanan pokok sendiri, tidak tergantung pada wilayah lain penghasil beras, yang telanjur dianggap makanan pokok oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

Adalah Maria Loretha yang menghidupkan kembali tradisi menanam sorgum di NTT, utamanya di Kabupaten Flores Timur. Disebut “menghidupkan kembali” karena tradisi ini tadinya hampir mati.

Sebelum era 1970an masyarakat lokal di NTT sebetulnya sudah punya tradisi menanam sorgum. Mereka bahkan juga punya sejumlah bibit sorgum varietas lokal. Namun, dominasi padi dalam kancah pangan nasional, yang penanamannya memang sangat digalakkan selama era Orde Baru, lambat laun menyisihkan sorgum dari tradisi budidaya tanaman pangan di Pulau Flores.

Maria Loretha-lah yang mengembalikan sorgum ke dalam ingatan kolektif masyarakat Flores, menghidupkan kembali tradisi menanam dan mengolah sorgum yang nyaris punah itu.

Mama Tata sebetulnya tidak punya latar belakang petani. Ayahnya seorang hakim. Mama Tata sendiri kuliah Hukum di Universitas Merdeka Malang, Jawa Timur. Usai menikah dengan Jeremias D. Letor, pasangan ini tetap tinggal di Malang. Krisis ekonomi 1998 memaksa mereka meninggalkan Malang karena kehilangan pekerjaan.  Mama Tata ikut suami pulang ke kampung halamannya di NTT.

Dilanda krisis, siapapun akan berpikir bahwa yang paling penting adalah punya sumber pangan agar bisa bertahan hidup. Di tanah kelahirannya, Jeremias kebetulan punya lahan yang bisa digarap. Mama Tata lalu mulai mencoba bertani. Jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian, ia coba tanam.

Saat mengawali hidup sebagai petani, Mama Tata belum membudidayakan sorgum. Hingga suatu hari, ia disuguhi sajian makanan berbahan sorgum oleh tetangganya. Terpincut dengan kelezatannya, Mama Tata lalu mencari tahu lebih jauh tentang sorgum. Ia berusaha menanam sorgum di lahan miliknya.

Berhasil membudidayakan sorgum, Mama Tata mulai menularkan budidaya sorgum ini ke para warga. Terlebih, setelah ia berkeliling ke berbagai daerah di NTT, ia menemukan banyak varietas sorgum lokal dan mengumpulkan bibitnya. Tanaman ini juga punya banyak sebutan lokal di berbagai daerah di NTT dan sekitarnya. Artinya, sorgum sudah dikenal lama di NTT, merupakan warisan budaya pertanian lokal, dan tentu cocok dengan kondisi alam setempat.

Dalam presentasinya di Kongres Kebudayaan Desa, webinar seri ke-7 yang membahas kedaulatan pangan, 3 Juli lalu, Mama Tata mengungkapkan bahwa keunikan kondisi lokal itulah yang harus dibaca untuk menciptakan kedaulatan pangan. Selalu ada jenis-jenis tanaman yang cocok dibudidayakan di NTT yang kondisi lahannya kering berbatu-batu.

“Bagaimana menjadikan batu bertanah itu sebagai peluang ekonomi berkelanjutan, memahami konteks lokal bahwa yang bisa tumbuh di sini ya benih-benih lokal. Jangan dibawa benih dari Jawa, suruh ditanam. Akibatnya nanti muncul isu kurang pangan, gizi buruk,” papar Maria Loretha seraya mempresentasikan sejumlah foto yang menunjukkan kebun sorgum yang luas dan hijau.

Untuk memasyarakatkan budidaya sorgum dan mendampingi para petani, Mama Tata mendirikan Yayasan Cinta Alam Pertanian pada 2007. Yayasan ini kemudian berhasil mendorong lahirnya puluhan kelompok tani pembudidaya sorgum di berbagai kabupaten di NTT.

Sejalan dengan meluasnya penanaman sorgum, meningkat pula kedaulatan pangan warga. Tak hanya itu, kesejahteraan para petani sorgum juga membaik ketika hasil budidayanya ternyata tak hanya bisa dikonsumsi sendiri namun juga diminati pasar. Perusahaan pengolah sorgum dari Jakarta dan Bali, misalnya, datang ke NTT untuk membeli sorgum langsung dari para petani.

Salah satu area yang dikembangkan Maria Loretha dan para petani menjadi kebun sorgum adalah Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur. Luas kebunnnya mencapai 40 hektare, terletak di lahan berbukit-bukit yang menghadap langsung ke laut.

Bukit-bukit itu kini tampak menghijau tertutup hamparan sorgum, sementara di sisi lain terhampar pula birunya laut lepas. Karena pemandangannya indah, Maria Loretha berniat menjadikan area ini sebagai destinasi agrowisata yang akan berdampak positif pula bagi ekonomi warga lokal. 

Tak hanya menikmati eloknya hamparan kebun sorgum dan birunya laut, wisatawan di Likotuden juga dapat menyaksikan lumba-lumba yang berenang melintasi pesisir, menikmati olahan ikan segar hasil tangkapan nelayan, yang dipadukan dengan aneka makanan hasil olahan sorgum.

“Ini menjadi ide bagi mereka yang cinta dunia wisata. Agrowisata. Landscape sorgum di tebing pinggir laut. Ini juga berarti restorasi ekosistem lahan kering menadi agrowisata sorgum,” ungkap Mama Tata dalam Kongres Kebudayaan Desa.

Menurut Mama Tata, untuk wilayah NTT, bukan hanya sorgum yang punya potensi dikembangkan dalam pertanian lokal. Masih ada jawawut, beras hitam, beras merah, dan jagung pulut yang juga layak dikembangkan dalam budidaya tanaman pangan. Ada pula potensi pohon lontar yang menghasilkan nira dan daunnya dapat dijadikan bahan baku produk anyaman. Begitu pula pohon cendana yang habitatnya yang sesuai memang di wilayah NTT.  

Berkat jasanya mengembangkan budidaya sorgum di NTT, mewujudkan kedaulatan pangan lokal, dan meningkatkan kesejahteraan warga melalui terobosan di bidang pertanian, Maria Loretha meraih banyak penghargaan, antara lain Kehati Award, Kartini Award, Ashoka Award, dll. (SJ)