Indonesia di era new normal ibarat sesosok wajah tersaput kabut di pinggiran danau Toba yang tertutup keindahannya. Wajah itu baru akan terlihat jelas saat kabut hilang namun akan kembali kabur saat kabut datang lagi esok hari. Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan. Indonesia harus berjuang menjadi sosok yang jelas di era new normal, bahkan jika tersaput kabut. Sama halnya dengan situasi pandemi, setiap manusia harus berjuang untuk tetap hidup di tengah dunia yang tersaput virus tak kasat mata.

Maka strategi kebudayaan Indonesia new normal perlu dirumuskan untuk menata peradaban baru. Pandemi mengharuskan manusia dengan segala daya, akal budi dan kreativitas untuk melakukan perlawanan dan terus berjuang. Dan perjuangan itu bisa jadi memang harus dimulai dari desa sebagai ruang pertahanan yang cukup kuat dan strategis karena dalam konteks mengeja I-n-d-o-n-e-s-i-a, desa merupakan entitas negara yang paling dekat dengan warganya. Pemerintahan desa adalah ujung tombak negara yang paling dekat dengan rakyatnya.

Namun rentang kekuasaan antara pusat dan desa, bahkan setelah lahir UU Desa, masih relatif berjarak jauh. Dalam chat saya dengan seorang politisi anggota legislatif pada suatu malam yang sumuk, kami sampai pada sebuah kesimpulan bahwa di tengah pandemi, politik di pusat kekuasaan jalan sendiri dengan nature-nya, nyaris tanpa kepekaaan pada situasi rontoknya tatanan kehidupan karena Covid-19. Nyaris tanpa visi untuk mengukuhkan keberadaan entitas bangsa Indonesia di tengah gelombang pandemi.  

Ini jelas memprihatinkan. Kekuatan-kekuatan politik tetap bergerak untuk kepentingan kelompok masing-masing. Entah itu menyusun barisan untuk merebut kekuasaan pada 2024 atau sekadar menyelamatkan diri dari serangan lawan politik dalam kasus-kasus aktual yang tengah bergulir. Sementara di banyak desa di Indonesia, berbagai inisiatif untuk mencari solusi dalam menghadapi badai pandemi banyak dilakukan oleh rakyat kecil desa-desa itu dengan kesadaran sederhana bahwa mereka harus menggali kekuatan-kekuatan kearifan lokal yang pernah mereka miliki. 

Situasi ini adalah bagian yang harus dieja ulang. Situasi ini juga yang mungkin membuat negara kita mendapat banyak catatan kritis yang intinya dianggap kurang baik dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun untuk mengeja ulang Indonesia, pertama-tama tentunya kita harus memahami peran setiap huruf yang membentuk kata I-n-d-o-n-e-s-i-a. Kebetulan ada satu huruf D yang bisa kita maknai sebagai simbol keberadaan dan eksistensi Desa dalam struktur pemerintahan negara Indonesia. Jika seluruh stake holder bangsa sepakat dengan pemaknaan ini, maka implikasinya Desa harus menjadi unsur penting dalam tatanan Indonesia era new normal.

Menurut hemat saya, inilah agenda penting bangsa Indonesia saat ini, yaitu melahirkan kesepakatan-kesepakatan bersama dari seluruh stake holder bangsa tentang posisi strategis entitas desa dalam membangun tatanan baru Indonesia yang clear and distinct di segala kondisi. Faktanya desa ada sebelum Indonesia lahir dan fakta juga bahwa sampai kini kita masih kerap terbata-bata membaca Indonesia. Kita memang masih perlu terus mengeja ulang Indonesia, terutama ketika berbagai krisis menerjang sebagai akibat gelombang perubahan besar yang tengah berlangsung dalam kehidupan umat manusia.

Jika kesepakatan-kesepakatan berhasil dicapai oleh seluruh stake holder bangsa, mulai dari desa-desa di Sabang sampai desa-desa di Merauke maka langkah-langkah selanjutnya tetap masih merupakan sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen besar untuk bersama mewujudkan tatanan baru Indonesia era new normal. Pada saat itu, barulah pembicaraan tentang entitas desa dengan segala kekuatan daya hidupnya dalam konteks mengeja ulang I-n-d-o-n-e-s-i-a akan menjadi lebih ramai dibandingkan polemik sains, filsafat dan agama.

*Penulis adalah pendiri katadesa.id (media jaringan berita desa Indonesia) dan pernah menjadi Tenaga Ahli di Kantor Staf Presiden (2015-2019).