Pengantar Redaksi

Tulisan berikut ini diolah dari materi presentasi Nissa Wargadipura di Kongres Kebudayaan Desa, Sabtu, 4 Juli 2020, Seri Webinar Kedaulatan Pangan dan Lingkungan Hidup.

Judul presentasinya, “Agroekologi Jalan Keluar Mempesona” disertai subjudul “Mewujudkan Kedaulatan dan Kemandirian Pangan di Pesantren Ekologi Ath-Thaariq pada Masa Pandemi Covid-19.”

Materi aslinya tersebut lebih lengkap dibandingkan tulisan ini karena disertai banyak foto dan keterangan foto yang memperjelas materi presentasi. Namun, untuk keperluan penayangan di situs web KataDesa, materi itu terpaksa sedikit dirombak, tanpa mengurangi bobotnya. Foto-foto ditanggalkan, hanya diambil teks presentasinya, lalu ditata ulang paragrafnya, sub-judulnya, maupun beberapa susunan kalimatnya sehingga dapat ditampilkan menjadi artikel opini.

Nissa Wargadipura adalah pendiri dan pemimpin Serikat Petani Pasundan (SPP) sampai 2008. Ia juga pendiri dan pemimpin Pesantren Ekologi Ath-Thaariq, sejak 2008 hingga saat ini. Nissa adalah siswa pada University of The Earth, Navdanya, Dehradun, India, 2016. Ia salah satu inisiator Sekolah Ekologi Indonesia (SEI) 2018 sampai saat ini. Pesantren Ekologi Ath-Thaariq berlokasi di Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat.

*****

Agroekologi adalah jalan keluar bagi krisis sosial dan ekologi di tanah air Indonesia. Kami terpanggil untuk memulihkan krisis sosial yang sedang berlangsung.

Kebun kami tidak luas, tapi semua ada. Kami bersikukuh menanam semua tanaman. Membiarkannya tumbuh sendiri dan memperkuatnya. Ciplukan, jambu batu, kunyit, telang ungu, jali-jali, temulawak, temu putih, talas lahun indung. Melahapnya tak henti-henti. Dunia begitu indah, menikmatinya. Tidak akan berputar haluan. Inilah jalan keluar bagi masa pandemi.

Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut, yang saat ini berumur 11 tahun, mempromosikan agroekologi sebagai cara memulihkan alam dan menguatkan ekonomi dengan sangat mempesona. Perjalanan tersebut dimulai dari perjuangan untuk mengembalikan lahan-lahan petani yang dirampas oleh pemerintah maupun korporasi perkebunan.

Ternyata reklaim tanah tidak cukup. Tanah-tanah yang direklaim dan sudah rusak butuh biaya tinggi dan waktu lama untuk dipulihkan. Padahal, kebutuhan ekonomi makin meningkat karena hampir semua yang diproduksi dan dimakan bergantung pemenuhannya dari luar. Hal ini kemudian menjadi titik balik yang mendorong perubahan pendekatan mereka dalam memperjuangkan reforma agraria: produksi konsumsi tanding berbasis pendidikan di pesantren.

Covid-19 dan ketahanan pangan

Pada masa kegawatan bangsa Indonesia menghadapi wabah nasional paling besar sepanjang sejarah, pandemi Covid-19, di mana pada 15 Maret 2020 seluruh negeri terkena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini istilah kekarantinaan kesehatan Indonesia yang didefinisikan sebagai "Pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga berpenyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi."

PSBB merupakan salah satu jenis penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di wilayah, selain karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah. Tujuan PSBB adalah mencegah meluasnya penyebaran penyakit, kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM) yang sedang terjadi antar-orang di suatu wilayah tertentu.

Pembatasan kegiatan yang dilakukan paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. PSBB dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota setelah mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan melalui Keputusan Menteri (https://id.wikipedia.org/wiki/Pembatasan_sosial_berskala_besar). 

Organisasi Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) menyampaikan akan adanya ancaman kelangkaan pangan di masa pandemi Covid-19. Menanggapi peringatan dari FAO, Presiden Jokowi telah memerintahkan jajarannya untuk terus mengontrol ketersediaan bahan pokok hingga ke daerah-daerah pada 13 April 2020 (katadata.co.id. 20 April 2020). Presiden juga memerintahkan jajarannya melalui video conference di Jakarta pada Kamis 30 April 2020 dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) agar meninjau kesiapan ketahanan pangan, mulai dari produksi hingga tahap distribusi (Tempo, 1 Mei 2020).

Kementerian Pertanian selaku lembaga yang memiliki tanggung jawab dalam bidang pertanian dan pangan juga telah menyiapkan berbagai strategi untuk menghadapi tantangan ketahanan pangan di tengah pandemi Corona ini. Masalah ketahanan pangan menjadi sangat penting sekaligus rentan bermasalah pada situasi bencana, termasuk bencana wabah penyakit seperti pandemi Covid-19.

Ketahanan pangan mengindikasikan ketersediaan akses terhadap sumber makanan sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar (Rosales & Mercado, 2020). Kondisi pandemi Covid-19 ini mengakibatkan ketersediaan akses terhadap makanan akan diperparah dengan semakin memburuknya pandemi itu sendiri serta larangan-larangan perpindahan penduduk yang mengikutinya. Hal ini juga sesuai dengan dengan Burgui (2020), yang menyatakan bahwa wabah suatu penyakit yang terjadi di dunia akan meningkatkan jumlah penduduk yang mengalami kelaparan dan malnutrisi.

Kekhawatiran pemerintah serta berbagai pihak mengenai kelangkaan bahan pangan ternyata tidak memudahkan petani sebagai penyedia pangan untuk masyarakat. Petani, sebagai produsen makanan, justru menjadi pihak paling terdampak dalam ancaman krisis ketahanan pangan. Padahal, petani merupakan profesi tunggal penyedia pangan yang seharusnya mampu tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19.

Ironisnya yang terjadi setiap hari adalah penurunan harga komoditas pangan hingga level yang sangat rendah di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Anjloknya harga komoditas pertanian sangat merugikan petani di tengah pandemi. Petani yang menjadi tumpuan harapan sebagai produsen penyedia pangan bagi kelangsungan hidup penduduk di tengah pandemi justru terancam mengalami kerugian yang berakibat pada ketidakmampuan membeli bibit dan memperbaharui tanaman mereka.

Padahal, masyarakat tetap membeli dengan harga yang normal dan cenderung meningkat di berbagai pasar swalayan. Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Wibawaningsih, menyatakan beberapa bahan baku melonjak, di antaranya adalah kedelai, gula pasir, bawang putih, dan cabai merah sekitar 30-50% (Warta Ekonomi, 12 April 2020).

Petani di wilayah perdesaan di beberapa wilayah Jawa seperti Yogyakarta dan Jawa Tengah mengalami penurunan harga berbagai komoditas pertanian seperti cabai merah/hijau, terong, sawi, timun, tomat, dan buah-buahan. Sebagai contoh, berdasarkan aplikasi cek harga pasar milik Kementerian Pertanian, SIHARGA, harga cabai merah keriting di berbagai pasar di Yogyakarta yang sebelumnya mencapai Rp 70.000/kg pada awal bulan Februari 2020, turun drastis menjadi Rp 17.500/kg pada April 2020. Sementara, di tingkat petani, harga cabai merah keriting hanya Rp 7.000 per kilogram per 30 April 2020.

Tentu saja hal ini berdampak pada petani di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di Jawa, karena mengalami kerugian yang cukup besar dan terancam tidak bisa menanam lagi (https://kependudukan.lipi.go.id/id/berita/53-mencatat-covid19/879-ketahanan-pangan-dan-ironi-petani-di-tengah-pandemi-covid-19). 

28 7 2020 pesantren ekologi 02

Pesantren At-Thaariq mengembangkan agroekologi

Gerakan reforma agraria sebenarnya upaya perjuangan penyelamatan dan pemulihan tanah air yang porak poranda. Namun, Peasantren Ath-Thaariq meyakini gerakan reforma agraria tak cukup hanya bicara sisi produksi lewat reklaim tanah dan bertanam. Mereka juga harus bicara tuntas tentang pangan mandiri. Mereka memilih menekuni pertanian agroekologi pada lahan seluas 0,25 hektare dan mendirikan pesantren sejak 2009.

Lahan yang rusak karena banyak terpapar bahan kimia pertanian itu lambat laun pulih dengan bantuan pupuk kandang dan hijauan. Praktek pertanian agroekologi membuat pesantren Ath-Thaariq tumbuh dan menjadi tempat belajar berbagai kelompok, mulai dari santri, pelajar, mahasiswa, NGO, politikus hingga pendeta. Belajar menyelamatkan dan memulihkan alam.

Dalam konteks ini, pesantren juga menjalankan misinya sebagai pembawa perdamaian karena menggunakan ajaran agroekologi, sebuah cara memuliakan alam untuk membangun hubungan dengan manusia lain, umat lainnya. Agroekologi sebagai jalan perjuangan tanah air untuk mewujudkan kemandirian pangan. Agroekologi menjadikannya sebagai pintu masuk dari arah/jalan manapun.

Pemulihan ekologi, telah disepakati bersama, adalah kajian saintifik dan amalan untuk memperbarui dan memulihkan ekosistem dan habitat semula. Ini dikarenakan telah terjadinya kerusakan, kemusnahan akibat campur tangan dan tindakan-tindakan manusia yang tidak memperhitungkan keselamatan ekologi. Isu pemulihan ekologi mampu menerima perbedaan, karena ekologi menghargai ekosistem yang berbeda beda namun saling menyelamatkan dan saling meghormati. Makluk lain saja, seperti tumbuhan dan binatang, sangat dihargai. Manusia ada di dalam ekosistem tersebut, yang masuk sebagai sebuah rantai makan yang tidak boleh terputus. Situasi ini mengharuskan manusia menghargainya.

Ekosistem memberikan keuntungan bagi semua yang ada di lingkarannya. Karena, bila terputus atau hilang satu di dalam rantai makan tersebut, maka akan terjadi kekacauan. Agroekologi adalah ilmu yang sangat luas, tidak saja berhubungan dengan hal-hal mendasar tentang dunia pangan dan pertanian, namun juga soal-soal filosofis, tentang kemanusiaan, tentang kebahagiaan, tentang kehidupan, dan tentang kedamaian seputar pangan dan pertanian. Ini semua dipelajari dalam konsep agroekologi.

Agroekologi telah membawa kami, bukan saja mengangkat persoalan kedaulatan pangan keluarga, namun juga menjangkau persoalan benih, tanah, air, hingga meluas lagi pada aspek kehidupan rumah tangga, regional, negara, sampai skala universal yaitu bumi. Konsep agroekologi dimaknai sebagai cara bertani yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek pemulihan ekologi hingga sosial-ekonomi masyarakat. Ini suatu mekanisme bertani yang dapat memenuhi kriteria 1) Keuntungan ekonomi; 2) Keuntungan sosial bagi keluarga dan masyarakat; dan, 3) Perlindungan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Tujuannya untuk memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya agraria. Pelaksanaan pertanian agroekologi bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin, dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan. 

Pada prakteknya, agroekologi dilihat sebagai tindakan yang meliputi: (1) Penerapan agroekologi pada desain dan pengelolaan ekosistem pertanian berkelanjutan. (2) Pendekatan menyeluruh pada pertanian dan pengembangan sistem pangan yang berbasis pada pengetahuan tradisional, pertanian alternatif, dan pengalaman sistem pangan lokal. (3) Keterkaitan ekologi, budaya, ekonomi, dan komunitas untuk keberlanjutan produksi pertanian, kesehatan lingkungan, dan kelestarian pangan dan masyarakat.

Agroekologi menjadi solusi bagi penduduk di negara agraris untuk mengenali sumber-sumber daya alam yang ada di tingkat lokal, seperti bahan baku pembuatan pupuk alami untuk menghidupkan kembali tanah dan benih lokal yang sudah teruji adaptif. Kegiatan ini harus didukung oleh pengembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. 

Satu tahun yang menentukan: sawah kami, nyawa kami

Pesantren Ekologi Ath-Thaariq berada di tengah ladang persawahan yang sangat produktif. Pada 2008, di awal menjalankan kegiatan, tanaman di kawasan pesantren hanya satu jenis/monokultur, yakni padi berjenis IR64. Dari musim ke musim, dari tahun ke tahun, hasil padi semakin menurun, bulir-bulir padi diserang ratusan tikus, tidak ada satu pun area sawah yang berhasil dipanen secara maksimal. Perkembangan tikus semakin masif menyerang pada musim padi berbuah, dan mendominasi rumah, termasuk memakan gabah yang disimpan ketika musim padi sedang tumbuh.

Tiga tahun yang melelahkan, capai, putus harapan, dan hampir meninggalkan dunia pertanian. Ratusan tikus berkembang biak sungguh sangat cepat dan menjijikkan karena hampir seperti ingin mengambil alih setiap jengkal tanah dan rumah kami. Ketika musim paceklik, pada siang hari mereka bersembunyi di liang-liang tanah, dan pada malam hari mereka datang ke rumah untuk mencari makan.

Setelah dipelajari dengan serius, kenapa hasil panen padi terus turun drastis, baru teringat bahwa tanaman monokultur akan memunculkan sebuah kekacauan. Kekacauan itu terjadi akibat terputusnya rantai makanan, bahkan lebih gawat lagi kami menyebutnya hancurnya ekosistem setempat, karena pada waktu itu kami hanya menemukan beberapa binatang, yakni tikus dengan jumlah yang begitu banyak, dan hanya beberapa kadal serta rombongan burung gereja yang datang menjelang padi berbuah.

Ketergantungan kami terhadap tanah sangat tinggi. Pada waktu itu kami telah memutuskan untuk menjadi petani, dan mendirikan pesantren dengan bekal dari hanya bertani saja. Karena banyaknya jumlah pelajar/santri di Pesantren Ath-Thaariq, serta yang paling utama adalah harus terus dijaganya kehidupan pangan keluarga kami, situasi ini membuat kami berjuang dan berpikir lebih keras lagi, mencari berbagai penyebab dari kehancuran sawah kami.

Setelah banyak bertanya, mendengar cerita, membaca literatur, serta berefleksi (jatuh bangunnya menangani hama yang tidak pernah berhasil) yang cukup panjang atas situasi sawah kami yang hancur, akhirnya kami menemukan akar masalah dari situasi tersebut, yakni perkembangbiakan tikus yang sangat massif tersebut akbat dari terputusnya rantai makanan, atau akibat ekosistem yang tidak seimbang, serta tanaman yang monokultur.

Mempelajari dengan detail bagaimana ekosistem terbentuk, maka langkah pertama yang kami ambil adalah membuat sebagian lahan garapan kami dibiarkan merimbun, tidak ditanami, tapi dibuat menjadi semak-semak. Tujuannya adalah untuk mengundang ular dengan cepat agar datang ke tempat kami, sebagai predator/pemangsa alami. 

28 7 2020 pesantren ekologi 03

Jenis padi di pesantren ekologi: sanggarung, ciherang, sarinah, raja lele,  panawuan

Hanya menunggu satu tahun untuk mendapatkan hasil yang sangat kelihatan. Indikatornya sangat jelas dan sangat kasat mata. Perlahan tapi pasti, lama-kelamaan tikus yang selama ini mendominasi dan menduduki rumah kami pada malam hari perlahan hilang dengan sendirinya, sampai saat ini. Hanya satu atau dua tikus saja yang datang. Bila datang berrombongan, Pak Kikin juru rumput kami terlalu bersih saat membersihkan semak belukar. Harusnya disisakan barang dua bidang atau tiga bidang area untuk rumah ular.

Keberadaan ular berhasil menyeimbangkan populasi tikus. Hasil maksimal yang kami rasakan usai satu tahun menumbuhkan semak-semak, rumah kami tidak lagi diduduki oleh ratusan tikus. Bebas merdeka tidur tanpa harus menjerit karena kaki kami digigitnya, dan penyimpanan padi gabah selamat dari suara suara berisik, serta aman sampai panen berikutnya.

Sebelum kampung kami sesumpek sekarang, kami berhasil mendatangkan burung hantu. Sayangnya, sekarang burung hantu hanya sesekali saja datang ke tempat kami. Keadaan kampung yang semakin sesak, semakin padat, membuat burung hantu engggan untuk datang.

Rumah-rumah ular pula yang menjadi cikal-bakal hadirnya kebun “acakadut” kami. Kebun yang ditanami berbagai macam tumbuhan pangan, obat, dan tanaman keras. Semua dihadirkan agar ekosistem yang telah terbentuk mampu menyelamatkan sawah kami. Satu tahun mengubah total pola bertanam, membuat kami semakin yakin, menjaga keseimbangan ekosistem dan menanam keanekaragaman hayati adalah prinsip utama dalam bercocok tanam. Situasi ini akan menyebabkan lebih sedikit kerusakan oleh hama dan penyakit. Tidak akan gagal panen, karena bila gagal, masih ada pengganti tanaman lain. Kini lahan telah seimbang secara ekologis, dan kami mendapatkan keuntungan yang cukup besar secara ekonomi.

Berangkat dari pemikiran yang berbeda, di saat seluruh petani menanam dengan cara konvensional, kami pun mengganti benih padi dengan varietas lokal. Benih benih yang sangat terkenal di kawasan tanah Priangan. Berangkat dari menjaga keseimbangan ekosistem dan menanam keanekaragaman hayati, kami berpikir, mungkin dengan banyaknya varietas padi yang ditanam, mereka pun bisa saling melindungi dan saling menguatkan. Lima jenis padi kami tanam sekaligus, dicampur: 1) Sanggarung; 2) Ciherang; 3) Sarinah; 4) Raja Lele; 5) Panawuan.

Di sisi lain, kami juga setiap hari menerapkan sangat kuat pada kehidupan kami, bahwa karbohidrat tidak sekadar nasi. Kami menyuguhkan singkong, ubi, jagung, talas, pisang muda, sukun. Dikenalkan kepada keluarga, kerabat, handai-taulan, dan kawan kawan yang datang.

Sistem bertanam kami semakin kuat setelah diterapkan zonasi pada 10.000 m2 lahan pesantren. Zonasi itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu Zonasi Pemukiman, Zonasi Sawah, Zonasi Seed Saving Area, Zonasi Aquakultur, Zonasi Kebun Tanaman Jangka Pendek, dan Zonasi Hutan Kecil sebagai rumah para burung.

Berdasarkan pada pengalaman paman-paman kami yang bekerja sebagai petani, padi lokal sangat spesifik lokasi, sudah ditanam di tempat kami sejak dahulu kala. Padi lokal biasanya lebih tahan terhadap kekeringan, tidak terlalu butuh banyak pupuk, tidak butuh banyak air, dan tahan cuaca, sehingga padi lokal sangat adaptif ketika perubahan iklim terjadi. Dengan menanam berjenis-jenis varietas lokal, keuntungannya berlipat-lipat. Salah satunya adalah pemeliharaan yang minimal, hasil produksinya yang maksimal.

Pada 2011, satu tahun mengubah total pola bertanam, membuat kami semakin yakin, menjaga keseimbangan ekosistem dan menanam beraneka ragam hayati, adalah prinsip utama dalam bercocok tanam. Cara ini akan menyebabkan lebih sedikit kerusakan oleh hama dan penyakit, karena lahan tersebut telah seimbang secara ekologis. Pada akhirnya, juga lebih menguntungkan secara ekonomi. Bila satu jenis sayuran kena virus, masih ada sayuran lainnya yang masih bisa dimakan, karena mereka saling menguatkan. Sampai saat ini, kami belum pernah mendapatkan kembali kegagalan panen yang berarti. 

Benih Warisan

Saat ini, untuk menghadapi masa pandemi Covid-19, Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut sedang berkolaborasi dengan EMPU, Sekar Kawung, Gita Pertiwi, membangun jejaring Inisiatif Pamong Benih Warisan. Pandemi Covid-19, menyadarkan bahwa ketahanan pangan sangat bergantung pada kemampuan di tingkat lokal untuk menanam dan membudidayakan aneka bahan pangan secara mandiri. Hal ini berlaku untuk semua kalangan, namun terlebih penting bagi kalangan yang rentan.

Khasanah budaya pangan tradisional Nusantara sangatlah kaya. Banyak sekali ragam tanaman pangan yang tersedia, namun kini sudah tidak bisa ditemukan di supermarket atau di pasar-pasar kota, padahal penting artinya untuk mewujudkan asupan gizi yang berimbang. Jenis-jenis tanaman ini perlu dibudidayakan kembali secara lebih luas.

Hal penting lainnya terkait ketahanan pangan yang kami sadari ketika didera oleh cobaan Covid-19 ini adalah fakta bahwa benih-benih sulit ditemukan. Kalaupun ada, itu mesti dibeli, dan yang tersedia di pasaran biasanya adalah benih-benih hibrida. Benih hibrida ini memang bagus hasilnya, namun sifatnya sekali tanam. Para penanam tidak akan bisa mengembangkan benih secara mandiri. Mereka harus terus kembali membeli setiap kali akan menanam. Ini kurang baik bagi ketahanan pangan, yang seyogyanya kedaulatannya dipegang oleh rakyat sendiri, bukan oleh mekanisme pasar yang bisa saja breakdown, seperti ketika terjadi guncangan Covid-19.

Dengan mempertimbangkan hal di atas itulah, Pesantren Ekologi Ath-Thaariq berkolaborasi dengan EMPU, Yayasan Gita Pertiwi, Yayasan Sekar Kawung, Sekolah Pagesangan untuk menggulirkan Inisiatif Benih Warisan. Tujuan akhirnya adalah menguatkan ketahanan pangan dan penyelamatan aneka benih tradisional pertanian Indonesia, agar anak cucu kita bisa menikmati pangan yang merefleksikan akar budayanya, dan tetap memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi ranah kuliner tradisional Indonesia. Dari tanah yang hidup, menghadirkan keluarga keluarga yang kuat, sehat dan mempunyai daya kreatifitas dan inovasi yang tinggi

Disebut Benih Warisan karena semuanya adalah benih open pollinated yang bisa dikembangbiakkan sendiri secara terus-menerus oleh para petani dan pekebun. Inventori benih ini akan tumbuh terus dan penyumbang benih warisan juga bisa terus bertambah. Benih warisan adalah tonggak dari terwujudnya agroekologi dan kedaulatan pangan yang mandiri, baik di desa maupun di kota. Kecil namun mampu memberi jawaban besar dalam menghadapi masa pandemi ini. (*)