Naluri berorganisasi sudah muncul selepas SMA. Lulus pada 1991, Nissa mulai aktif di Forum Pelajar dan Mahasiswa Garut. Di organisasi itu, bersama teman-temannya, termasuk dengan suaminya Ibang Lukman, ia kerap melakukan advokasi kasus agraria dan mendampingi petani-petani daerah setempat. “Mereka punya tanah tapi kerjahteraannya sangat rendah,” kata Nissa Wiradiguna.
Belum lagi kasus-kasus agrarianya. Dari banyak kasus agraria yang ditemui itu, akhirnya ia bersama teman-temannya menggagas pembentukan Serikat Petani Pasundan (SPP) pada 1999. Ada lima kabupaten di wilayah Jawa Barat yang menjadi wilayah kerjanya.
Namun pembentukan SPP rupanya tak memuaskan niatnya untuk mensejahterakan petani. Petani tetap saja tidak sejahtera dan kasus agraria tak kunjung tuntas. Ia gelisah. Kegelisahan makin menjadi saat ia menikah. Kegelisahannya ia utarakan kepada Ibang Lukman, suaminya sesama aktivis pergerakan. “Kita harus hijrah,” ujarnya.
Kepada suaminya, ia mengutarakan niatnya ingin mendirikan pesantren. Kebetulan keluarga besar suaminya berlatar belakang pesantren. Namun ia tak mau pesantren yang didirikannya itu seperti pesantren pada umumnya. Ia ingin pesantrennya mengejarkan tentang ekologi. Suaminya setuju. Jadilah mereka mendirikan pesantren itu pada 2008. Pesantren itu dinamakan Pesantren Ekologi At Thaariq.
Pesantren ini memang berbeda dengan pesantren kebanyakan. Di pesantren ini, selain ditanamkan ilmu agama, juga diajarkan tentang kesadaran ekologis. Santrinya yang berjumlah 30 orang diajari bagaimana menghormati lingkungan. Mulai dari cara bertani dan beternak,
Cara bertani dan beternak yang diambil juga bukan seperti pada umumnya. Di pesantrennya ini mereka mengusung konsep agroekologi. Konsep ini menarik sejumlah orang. Tak hanya kalangan Muslim tapi juga non Muslim. Mereka kerap datang ke pesantren itu untuk menimba ilmu tentang agroekologi At Thaariq.
Karena berbeda dengan konsep pesantren umumnya, mereka kerap didatangi ustaz-ustaz lokal. Kepada wartawan Katadesa.id, Sigit Djatmiko dan Fajar WH yang mewawancarai lewat aplikasi zoom, Nissa menjelaskan panjang lebar tentang bentuk protes ustaz, hingga konsep agroekologi yang diusungnya, Jumat (24/7/2020) lalu. Berikut petikannya.
Kenapa Anda memilih pesantren ekologi?
Saya ini lahir sebagai orang gerakan. Saya dan suami sama-sama aktivis zaman Orde Baru. Kami banyak melakukan advokasi kasus-kasus agraria dan pendampingan petani, terutama di Jawa Barat.
Pada 1999-2000, kami mendirikan Serikat Petani Pasundan. Saya sebagai organizer. Ada lima kabupaten waktu itu yang kami organisir.
Saat itu kami banyak tinggal bersama petani jadi tahu kehidupan mereka. Mereka punya tanah tapi kenapa kesejahteraan mereka sangat rendah. Semakin mengetahui kehidupan petani, saya makin gelisah.
Sepertinya penguasaan lahan saja tidak cukup. Mungkin mereka terjebak oleh revolusi hijau. Tanaman yang mereka tanam jadi monokultur.
Saya sempat memeriksa anggota petani lokal. Saya periksa satu persatu. Mereka itu menanam tanaman tidak lebih dari 15 tanaman. Padahal ini wilayah holtikultura. Paling mereka hanya punya dua tanaman. Kalau di daerah palawija mereka menanam palawija semua. Padi, padi semua. Ini parah banget.
Kalau di daerah pegunungan paling banter dua tanaman. Kalau tidak kentang ya cabe merah.
Kemudian saya menghitung berapa pengeluaran mereka. Jadi mereka ini rupanya berutang untuk menanam itu. Ketika panen, 1/2 dari hasil panen mereka itu mengutang. Mereka banyak yang kolaps.
Mereka banyak utang, mengkonsumsi makanan tidak sehat. Karena memang tidak berdaulat pangan. Untuk kebutuhan dapur saja mereka harus berutang.
Contohnya petani di Blitar dan Papandayan. Setengah utang mereka untuk membeli kangkung, bawang merah. Membeli untuk kehidupan sehari-hari. Jadi enggak ada kedaulatan pangan di masing-masing rumah tangga. Itu menjadikan anak-anak tidak sehat dan tidak kuat. Itu gagasan utamanya.
Apa dampaknya ketika petani tak berdaulat pangan itu?
Karena tidak berdaulat pangan, mereka akhirnya mengonsumsi makanan yang murah-murah, yang instan. Dari kesalahan bertani itu konsumsi itu jadi acak-acakan, porak poranda.
Daya imajinasi mereka terhadap pangan itu benar-benar rusak karena cara bertani mereka yang salah. Yang salah itu ya yang tadi itu yang monokultur. Kalau sudah cengkeh aja. Padahal di bawah cengkeh bisa ditanami kunyit, misalnya.
Bayangkan saja kasus Yuyun yang diperkosa 12 anak di Lampung. Kok bisa anak-anak kecil itu punya kekuatan untuk menjadi jahat. Menculik, memperkosa bergiliran kemudian membuang korbannya ke jurang. Ini kan karena daya pikir mereka lemah. Kenapa lemah? Karena pola konsumsi pangan mereka yang porak poranda.
Yang mengerikan, dari penelitian saya, bayi-bayi setelah dilahirkan balik lagi ke rumah sakit karena sakit kuning (bilirubin), kegagalan ginjal. Hampir 80 persen. Ternyata ini dari pola konsumsi yang porak poranda.
Kedua, setelah melahirkan ibu-ibu tak bisa menyusui karena ASInya hilang. Ini karena makanannya mie instan.
Makanan instan itu salah satu penyebab autis. Banyak sekali down syndrome. Ternyata penyebabnya sperma laki-lakinya tidak berkualitas. Ini bukan hanya di kota, di desa juga banyak.
Saya melakukan penelitian di Riau di Kepulauan Meranti. Di sini 90 persen anak-anak yang masuk sekolah luar biasa (SLB) itu ternyata anak-anak autis dan down syndrome. Padahal itu di daerah pesisir yang banyak ikannya. Tapi mereka tidak banyak mengkonsumsi sayuran dan ikan. Konsumsi mereka itu makanan instan.
Imajinasi anak-anak itu kan tergantung makanan apa yang diserap oleh tubuh mereka.
Melihat seperti itu, saya kemudian membalikkan keadaan. Kami ingin punya tempat yang mengajarkan keanekaragaman pangan. Kami ingin petani berdaulat, anak-anak punya daya imajinasi tentang pangan yang beragam.
Kemudian kami di SPP mengajukan ide agar serikat tidak hanya berperan berhadapan dengan perkebunan. Tapi banyak yang menolak karena dianggap kabulabak (tak terlalu penting). Daripada saya gelisah terus, saya mengalah.
Dari situ kami memutuskan untuk hijrah. Kalau tidak hijrah itu dosa besar yang tak bisa diampuni (tertawa).
Mengapa pilihannya pesantren?
Saya menikah 1997 waktu saya masih Serikat Petani Pasundan (SPP). Pada 2008 itu saya harus hijrah. Saya bilang ke suami, saya perlu mendirikan pesantren. Tapi pesantrennya harus berbeda.
Anda atau keluarga Anda punya latar belakang pesantren?
Suami saya itu kan anaknya kiai di Garut. Keluarga besarnya punya pesantren.
Menurut saya pesantren itu sangat strategis. Kiainya masih mau didengar masyarakat. Cocok dengan kultur lokal.
Sedangkan keluarga saya berlatar belakang petani. Saya dibesarkan orang tua dengan ajaran mencintai lingkungan.
Kenapa memilih nama At Thaariq?
At Thaariq itu artinya yang datang pada malam hari. Ide-ide saya ini kebetulan kok datangnya di malam hari. Karena gelisah sehabis salat tahajud saya merenung. Apakah kami harus di SPP atau hijrah. Saat itu paman dari suami menasehati agar kami membaca surat at thaariq.
Saat tahajud itu sambil menangis. Saya meminta-minta sama Allah SWT agar diberikan jalan.
Ternyata jalan keluarnya itu ya mendirikan lembaga pendidikan yang mampu melakukan kritik dan otokritik. Kami sampai saat ini berdiri sebagai lembaga pendidikan kritik dan otokritik terhadap lembaga pendidikan yang ada. Karena pendikan kontektualnya kan sudah hilang. Di pesantren ini tidak ada sekat. Kalau sekolah kan jendelanya tinggi.
Ruang belajar para santri ini terbuka, menghadap kebun.
Di sini ada sistem piket memasak, menutup pintu. Anak-anak kami ajarkan di pesantren itu semua harus nyaman.
Pesantren Anda kan beda dengan pesantren umumnya. Bagaimana respons dari kiai-kiai setempat?
Kami banyak dimusuhi ustaz-uztaz. Karena dianggapnya ekologi itu menjadi rumah bagi siapa saja. Mereka bertanya sebenarnya ideologi pesantren ini apa. Karena kan orang dari latar belakang apapun bisa datang mendalami ilmu di sini.
Banyak sekali ustaz yang protes tapi tidak mampu karena mungkin dianggapnya kami punya basis massa di SPP. Belum lagi jaringan pesantren keluarga suami saya (tertawa).
Permusuhannya bentuknya seperti apa?
Di Garut ini kan intoleransinya kuat. Meski sebenarnya kebencian mereka itu bukan secara lembaga. Mereka menganggap kami ini pesantren kafir. Dianggap nyeleneh. Ada banyak Romo yang belajar di sini. Ada dari teman-teman dari Sunda Wiwitan. Ya bagaimana namanya juga ekologi.
Padahal ekologi itu sebuah prinsip yang rahmatan lil alamin. Ekologi itu kalau dalam agama itu kan rahmatan lil alamin.
Agroekologi itu jangankan manusia, ular, burung hantu saja diberi rumah. Masa kalau ada manusia datang tidak diterima.
Agroekologi itu diakui sebagai pertanian masa depan.
Pada 2019 kami mengadakan Jambore kebangsaan. Judulnya "Jambore Kebangsaan Ekologi untuk Indonesia." Ini program pesantren. Acara ini mempertemukan sekitar 7 lembaga. Ada Katolik, HKBP, Konghucu dari berbagai daerah.
Dengan jambore itu kami ingin menggaungkan tentang pemulihan ekologi. Karena basis kita ini pesantren ekologi. Rahmatan lil alamin ini yang diangkat ya harus toleransi.
Bagaimana tanggpan pemerintah setempat?
Mereka tahu kami lahir dari dunia aktivis jadi enggak ada yang mengganggu. Jadi dibiarin saja. Mereka tahu banget tentang kami. Kami kan di pergerakan sejak 1994.
Pejabat-pejabat pemerintah juga tahu track record kami. Mereka tahu kelakuan kami berdua.
Pemerintah desa malah berterima kasih karena desa ini menjadi tempat belajar banyak orang. Karena dengan adanya pesantren ini wilayah ini terangkat. Tempat ini malah menjadi tempat rujukan banyak orang karena dianggap pesantren yang berpretasi. Banyak media yang meliput. Tempat ini juga jadi tempat penelitian. Ada dari UGM, UIN.
Anda atau suami punya latar belakang ilmu pertanian?
Kami semua otodidak. Tetapi waktu kecil, kami berdua kan dibesarkan oleh keluarga petani.
Saya selalu mengikuti apa kata guru. Guru saya itu paman saya. Saya membaca buku. Saya juga punya jejaring.
Latar belakang pertanian itu yang paling kuat itu dari ayah dan ibu. Agroekologi itu sebenarnya pertanian berbasis kasih sayang. Mereka tidak mau anak-anaknya memakan-makanan pertanian yang banyak pestisidanya.
Orang Sunda kan pengetahuan lalapannya bagus. Mereka dilepas di kebun satu minggu saja bisa selamat.
Kalau santrinya dari mana awalnya?
Waktu di SPP itu kan rumah saya itu sering jadi markas anak-anak SPP. Selain itu juga ada jejaring dari pesantren keluarga besar Pak Kiai (suami).
Lahan itu milik Anda?
Ini reclaim. Ini ada jalur rel kereta api lama yang tidak aktif. Dan ada tanah carik desa yang kami sewa. Terus saya mengajukan untuk menggarap lahan itu seluas 8.500 meter persegi itu.
Tadi Anda menyebut melakukan penelitian di Riau....
Saya punya Sekolah Ekologi Indonesia. Markasnya di Kuta Cane, di hutan Lauser. Saya mendirikan tahun 2018. Jadi ini antitesis. Saya ditantang untuk membuat gerakan ekologi naik, ekonomi naik.
Pendirian Sekolah Ekologi Indonesia itu karena saya gelisah dan kebetulan saya mendapat pelajaran penting tentang ekologi. Dari situ akhirnya saya membangun gagasan baru. Kebetulan saya waktu itu mendapat penghargaan 72 ikon Indonesia dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP. Saya juga jadi duta revolusi mental dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).
Saya ditantang apakah gagasan ekologi itu bisa menguatkan ekonomi.
Dari mana uang membangun sekolah ekologi?
Dari jualan teh herbal, pegagan.
Apa bedanya Sekolah Ekologi itu dengan pesantren Ekologi?
Kalau pesantren itu laboratorium agroekologi. Jadi semua tanaman ditanam di pesantren. Saya ingin menunjukkan ke masyarakat bahwa hidup ini tak repot-repot dengan berbagai macam tanaman.
Agroekologi itu sebenarnya pertanian tradisional. Saya waktu kecil tak mengenal sayuran populer. Yang saya kenal itu sayuran non populer. Yang non populer itu selalu imunbuster. Dia sangat demokratis, populis. Contoh bligo, oyong, binahong, jambu batu, markisa, kersen, jarak pagar, ciplukan, bumbu bumbuan.
Di pesantren yang luasnya 8.500 meter persegi itu dibagi per zonasi. Ada zonasi dalam, zonasi luar. Zonasi dalam itu untuk pemukiman. Zonasi 1 ada rumah utama, ada musala, ada asrama.
Di Sunda ada namanya buruan bumi (pekarangan rumah). Jadi ini kebun pekarangan. Buruan itu bisa disebut pekarangan, bisa disebut juga memburu. Memburu itu misalnya pulang sekolah lalu mencari tanaman di pekarangan.
Zonasi kedua, yang dekat dengan pintu itu makanan yang siap lahap. Di sini ada tanaman bligo, oyong.
Zona ketiga, safe saving area itu benih. Benih yang terus-terusan bisa diambil. Kami menyebutnya benih warisan karena ditanam terus menerus.
Zonasi keempat, tanaman padi. Pematang-pematangnya rada luas sedikit yang bisa ditanami singkong, talas. Jadi kami tidak melulu makan nasi. Bisa makan singkong atau talas.
Zona kelima, rumah-rumah burung berupa pohon-pohon. Hutan setaman.
Jadi kami benar-benar berdaulat pangan. Ketika tidak berdaulat pangan nanti mereka akan mengkonsumsi yang murah-murah dan tidak bergizi.
Kapan santri-santri itu diajadi pendidikan ekologi?
Kami ini kan ada yang live in. Ada yang reguler. Ada yang tinggal, ada yang ingin belajar setahun.
Kami kan membatasi hanya untuk 30 orang yang bisa tinggal di sini. Itu karena tanaman padi yang luasnya 1 hektar itu hanya bisa untuk 30 santri.
Mereka belajar di sini gratis. Belajar ekologinya itu belajar penanaman, pengenalan keaneragaman tanaman, memelihara dan mengolah. Materi keagamaan ada di diskusi satu minggu sekali.
Apakah mereka dipungut SPP?
Kami sudah keluar dari SPP pada 2008. Semua independen.
Dari mana uang operasional pesantrennya?Seluruh dana operasional pesantren itu dari hasil wirausaha pesantren. Kalau panen padi itu kami memang benar-benar panen besar. Kami tidak mengelurkan pupuk, tenaga kerja.
Wirausaha ini perjalanannya cukup panjang. Namanya wirausaha hijau. Karena kami melindungi kehidupan, hasil panennya besar.
Produk-produk pesantren dijual ke mana?
Jaringan pertemanan dan organisasi. Gerai-gerai WALHI, teras mitra. Kami juga online. Bisa via WA.
Seberapa banyak hasil dari panen padi itu?
(Nissa menghidupkan videonya lalu memperlihatkan tumpukan padi hasil panen yang ada di salah satu rumanya. Karung-karung padi terlihat bertumpuk). Itu untuk kebutuhan kami.
Agroekologi bisa disebut juga pertanian organik ya?
Agroekologi itu beyond dari pertanian organik. Pertanian organik itu hanya bagian terkecil dari agroekologi. Organik itu tidak memasukkan serangga terhadap sistem tanahnya. Yang memakai green house itu kan tidak memasukkan serangga.
Agroekologi ini kan pertanian kuno yang sangat radikal. Dia benar-benar menghormati semua makhluk hidup. Kalau kami hama itu adalah teman.
Benih kami dalam satu area itu ada lima jenis. Kalau 1 jenis sama juga dengan monokultur.
Dalam menanam padi itu kami mertelu (1/3). 1/3 buat saya, 2/3 buat mereka (pengelola). Mereka lebih beruntung dari saya. Mereka itu yang ikut mengelola sawah. Biarkan mereka untung. Kami tidak mau jadi setan desa (tertawa).
Padi yang menumpuk tadi itu mau dijual?
Tidak. Beras tidak boleh dijual. Lebih baik diberikan. Beras kami aman, jagung juga ada, sayuran ada.
Berapa kebutuhan pengeluaran perbulan untuk para santri itu?
Untuk kebutuhan dapur paling banter ya Rp 100 ribu perhari untuk 30 orang. Jadi Rp 3 juta perbulan.
Pesantren masih membajak sawah?
Kami tidak membajak sawah. Kami menyimpan jerami-jerami padi itu. Setelah panen jerami-jerami itu kami ratakan di sawah. Lalu dibusukkan. Sambil menunggu busuk dibajak sama bebek sehingga mikroba-mikrobanya tidak mati.
Apakah pesantren juga melibatkan warga sekitar?
Yang utama buat kami itu transfer pengetahuan. Kami transfer pengetahuan ke warga sekitar kami. Kami juga melibatkan keluarga petani yang ada di sekitar kami. Dari 30 orang santri itu ada dua keluarga yang terlibat, satu keluarga 5 orang.
Kami melindungi ular, burung hantu itu kan berdampak juga pada sawah-sawah tetangga kami.
Di kami itu kan petaninya hanya di blok kami saja. Tetapi yang mentransfer pengetahuan kami itu kebanyakan rumah-rumah yang ada kebun pekarangannya. Di gang-gang kami itu banyak yang menanam di pekarangan.
Anda juga pernah mendapat beasiswa ke India. Bagaiama ceritanya?
Saya membaca buku buku terjemahan Vandana Shiva. Ee, kok berjodoh. Ada 11 orang dari Indonesia yang berangkat ke sana.